Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Masyarakat Jerman berusaha menghemat energi akibat seretnya pasokan gas Rusia.
Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menekan penggunaan energi.
Energi nuklir dan batu bara kembali dilirik sebagai alternatif sementara.
BELAKANGAN ini menjadi hari yang sibuk bagi warga Jerman. Mereka berusaha menghemat gas atau mengganti gas dengan sumber energi lain sejak krisis gas melanda setelah perang Rusia-Ukraina pecah. Pemerintah Jerman telah memperingatkan bahwa pasokan gas yang biasanya berasal dari Rusia melalui pipa Nord Stream 1 akan turun menjadi sekitar 40 persen dari kapasitasnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Agresi Rusia terhadap Ukraina telah menempatkan Jerman dalam krisis energi yang sengaja disebabkan oleh agresor (Presiden Rusia) Vladimir Putin,” kata Menteri Ekonomi dan Aksi Iklim Jerman Robert Habeck dalam pernyataannya pada akhir Juli lalu. “Pemanfaatan kapasitas yang rendah, sekitar 40 persen, adalah bahasa politik yang jelas dan menegaskan bahwa kita tidak dapat mengandalkan gas yang dikirim (Rusia).”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama ini, lebih dari 50 persen impor gas Jerman berasal dari Rusia, 30 persen dari Norwegia, dan sisanya dari negara Uni Eropa lain. Data 2021 menunjukkan sekitar 20 juta apartemen dan rumah dihangatkan dengan mesin bertenaga gas. Sebanyak 1,8 juta perusahaan dan industri juga memerlukan gas untuk berproduksi.
Pemerintah kini berusaha menekan konsumsi gas, terutama untuk memperkuat cadangan gas pada musim dingin mendatang. Kementerian Ekonomi telah menerbitkan sejumlah aturan untuk memangkas energi, seperti konservasi energi bagi perusahaan besar dan pengurangan penggunaan pemanas ruangan di rumah tangga. Pemerintah juga menerbitkan aturan yang akan membuat harga gas naik pada Oktober nanti.
Werner G., warga negara Jerman, telah bersiap-siap menghadapi kenaikan harga gas dengan menghemat energi. Dia memastikan semua lampu di apartemennya sudah diganti dengan lampu light-emitting diode yang hemat energi. Dia memeriksa kembali apakah jendela-jendelanya sudah terisolasi dengan baik untuk meminimalkan masuknya udara dingin.
Werner juga berencana mengganti kepala shower dengan model yang lebih hemat air seperti anjuran Menteri Habeck. “Saya dan keluarga juga siap mengenakan jaket di dalam rumah kalau situasi di musim dingin nanti memaksa kami melakukan itu,” tutur Werner, Kamis, 28 Juli lalu.
Kanselir Jerman OIaf Scholz berdiri di sebelah turbin gas yang akan diangkut ke stasiun kompresor pipa gas Nord Stream 1 di Rusia selama kunjungannya ke Siemens Energy di Muelheim an der Ruhr, Jerman, 3 Agustus 2022. REUTERS/Wolfgang Rattay
Penyewa apartemen juga sudah mendapat pemberitahuan dari pengelola tentang kemungkinan kenaikan iuran gas dan energi lain. Isuri Ranasinghe, perempuan asal Sri Lanka yang tinggal di Berlin, mendapatkan pengumuman itu dan kemudian mengambil sejumlah langkah penghematan, seperti memasak dalam porsi besar untuk konsumsi beberapa hari sekaligus dan menjalankan mesin cuci pakaian sejarang mungkin. Padahal, “Dengan pakaian tiga anak, suami, dan saya sendiri, kami harus mengoperasikan mesin cuci setidaknya sekali sehari,” ujarnya. Ia juga berusaha sesering mungkin menggunakan sarana transportasi umum daripada mobil karena harga bensin juga naik sejak perang di Ukraina dimulai.
Antje Ehmann, pekerja film dan kurator seni Jerman, mengaku mendukung seruan pemerintah untuk mulai hemat energi sejak sekarang. Ia kini lebih sering menggunakan oven bertenaga listrik daripada kompor yang menggunakan gas. Dia juga berusaha untuk tidak lagi berendam dengan air hangat di bak mandi, tapi mandi dengan shower. “Saya akan merindukan mandi berendam kala musim dingin tiba. Tapi saya harus menahan diri,” tuturnya.
Antje, yang tinggal sendirian di sebuah apartemen di wilayah bekas Berlin Timur, juga berencana mengurangi penggunaan pemanas ruangan dengan menurunkan suhu umum dan mematikan pemanas di sejumlah kamar. “Mungkin saya hanya akan menyalakan pemanas di ruang kerja saya dan juga sedikit di dapur,” ucapnya. “Kita di Jerman sekarang belum pernah mengalami situasi krisis seperti ini. Ini adalah hal yang sangat baru buat kita semua.”
Antje bahkan tengah mempertimbangkan untuk “mengungsi” ke India, Yunani, atau daerah hangat lain selama musim dingin. “Dugaan saya, harga tiket pergi-pulang dan biaya hidup di India atau Yunani akan tetap lebih murah dibanding iuran listrik dan gas yang harus saya bayar kalau tetap di Berlin,” ujarnya.
Alternatif penghangat ruangan yang banyak diburu warga Jerman adalah radiator listrik, kipas udara hangat, dan penghangat dengan kayu bakar. Permintaan mesin penghangat bertenaga pompa air hangat dan panas bumi juga meningkat. Ivan Maulana, warga Indonesia yang bermukim di Bonn, akan beralih ke pompa air hangat dan panas bumi. Dia sudah menelepon perusahaan jasa sistem penghangat langganannya untuk mengganti sistem penghangatnya.
Pada 2021, Ivan merogoh kocek 150 euro atau sekitar Rp 2,25 juta per bulan untuk membayar iuran gas. Untuk mengantisipasi kenaikan gas tahun ini, Ivan menaikkan iuran gasnya menjadi 300 euro. Di Jerman, pelanggan dapat menaikkan atau menurunkan iuran gas bulanan. Di akhir tahun, perusahaan gas akan menghitung penggunaan riil gas dan mengembalikan kelebihan iuran mereka.
Ivan biasanya menyalakan penghangat ruangan di musim dingin. Namun, November lalu, suhu udara di Kota Bonn cukup hangat sehingga penghangat ruangan tidak perlu dinyalakan. “Jika suhu di dalam rumah cukup dingin, kami menggunakan selimut tipis ketika duduk-duduk di ruang keluarga,” kata pria yang menetap di Jerman sejak usia 19 tahun itu.
Ivan juga mewanti-wanti anggota keluarganya agar mengurangi penggunaan penghangat ruangan. “Terutama anak saya yang selalu mandi air hangat berlama-lama. Saya harus lebih sering menggedor pintu kamar mandi supaya dia cepat selesai mandi,” tuturnya, berkelakar.
Menurut Antje, dampak penghematan yang signifikan justru pada level kebijakan yang diambil pemerintah. Senat Berlin, misalnya, memutuskan secara bertahap memadamkan penerangan bangunan dan landmark pada malam hari. “Mengingat perang melawan Ukraina dan ancaman kebijakan energi Rusia, penting bagi kita untuk menggunakan energi kita secermat mungkin,” kata Bettina Jarasch, Senator untuk Lingkungan Hidup, Mobilitas, Konsumen, dan Perlindungan Iklim Berlin, dalam pernyataannya.
Ada 200 bangunan yang akan terkena dampak kebijakan ini, seperti Balai Kota Berlin, Istana Charlottenburg, dan Katedral Berlin. Total 1.400 lampu sorot yang digunakan semua bangunan tersebut menelan biaya listrik sebesar 40 ribu euro atau Rp 609 juta lebih per tahun. Sebelumnya pemerintah Berlin telah menurunkan suhu di fasilitas-fasilitas publik, seperti kolam renang dalam ruangan.
Werner melihat dampak positif penghematan energi ini untuk jangka panjang. Dia memperkirakan bahwa empat-lima tahun ke depan akan penuh tantangan karena masyarakat harus banyak berkorban dengan berhemat energi dan membayar gas lebih tinggi, terutama pada bulan-bulan musim dingin.
Pada saat yang sama, ujar Werner, dorongan untuk mencari sumber energi pengganti yang lebih ramah lingkungan akan lebih mendesak dan nanti orang tidak lagi butuh terlalu banyak gas dan minyak. “Sesudah itu, toh kita akan menggunakan sumber energi baru untuk pemanasan rumah-rumah kita,” katanya.
Pemerintah Jerman memang sedang menjalankan tahap-tahap transisi ke energi hijau. Pemerintah menargetkan sebagian besar sumber energi akan bebas dari efek gas rumah kaca pada 2045. Minimal 80 persen listrik dan 60 persen dari semua energi akan berasal dari sumber energi terbarukan.
Semua pembangkit listrik tenaga nuklir rencananya akan dipadamkan pada 2022. Nuklir menjadi sumber 13,3 persen tenaga listrik pada 2021. Tiga dari enam pembangkit nuklir telah dimatikan pada akhir tahun lalu. Namun, menimbang situasi krisis energi akibat perang di Ukraina, Kanselir Jerman Olaf Scholz melontarkan kemungkinan memperpanjang masa aktif pembangkit nuklir. Sebelumnya pemerintah mengatakan akan menyalakan pembangkit listrik tenaga batu bara dan minyak untuk sementara.
NELDEN DJAKABABA GERICKE (BERLIN), LUKY SETYARINI (BONN)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo