Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ade Firmansyah Sugiharto memimpin tim autopsi kedua untuk menentukan penyebab kematian Brigadir Yosua.
Pemeriksaan lebih sulit karena jenazah sudah pernah diautopsi dan diformalin.
Bagaimana cara tim Ade untuk mengatasi berbagai masalah ini?
SEBAGAI Kepala Instalasi Forensik dan Pemulasaraan Jenazah Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo, Ade Firmansyah Sugiharto sangat akrab dengan mayat. Ruang kerjanya berada di dalam gedung rumah duka di rumah sakit tersebut. Dalam setahun, 900-1.000 mayat diautopsi di rumah sakit pemerintah ini untuk kepentingan proses hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia ini kini menjadi pusat perhatian publik karena diminta Kepolisian RI untuk melakukan autopsi ulang terhadap jenazah Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, yang diduga meninggal akibat tembakan di rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo di Jakarta, Jumat, 8 Juli lalu. Kasus ini berujung pada pencopotan sejumlah petinggi Polri, termasuk Ferdy Sambo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Autopsi adalah pekerjaan rutin Ade. Namun mengautopsi mayat yang sudah pernah diautopsi adalah pengalaman pertamanya. “Kalau jenazah pernah diautopsi, organ-organ sudah pasti tidak pada tempatnya,” katanya dalam wawancara dengan wartawan Tempo, Abdul Manan, Linda Trianita, dan Riky Ferdiansyah, di kantornya, Rabu, 3 Agustus lalu.
Dalam wawancara itu, Ade membahas kesulitan yang dihadapi tim dan berbagai masalah teknis autopsi. Dia juga memastikan timnya bekerja secara independen.
Kapan permintaan autopsi ulang itu datang? Apa yang diharapkan?
Sebelumnya kami sudah dengar bahwa Polri menyetujui autopsi ulang. Ini bukan suatu hal yang lumrah. Kami juga tidak tahu apakah autopsi yang pertama ada masalah, ada kekurangan, atau tidak sesuai, atau bagaimana. Pada 21 Juli lalu ada surat ke Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia dari Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri agar kami melakukan ekshumasi (penggalian mayat yang telah dikubur). Kami segera mengadakan rapat dan membentuk tim. Sebagai penasihat ada tiga guru besar forensik, yaitu Agus Muhadianto, Ahmad Yudianto, dan Dede.
Bagaimana Anda memilih anggota tim? Bagaimana dengan keluarga yang ingin melibatkan dokter dari TNI AD, AL, dan AU?
Namanya perhimpunan, ya, kami lihat kompetensi. Saya dengar juga info dari penasihat hukum (keluarga) yang minta ada dokter dari RSCM, Tentara Nasional Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara itu. Dari RSCM ada dokter Yudi, dokter Ika Susanti dari Universitas Andalas, dokter Sofiana dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, dan dokter Ida Bagus Putu Alit dari Universitas Udayana. Sipil semua. Selasa, kami bisa berangkat. Senin sebelumnya saya minta agar pada Selasa itu kami bertemu dulu dengan keluarga. Soal teknis medis sebetulnya tidak membutuhkan persetujuan keluarga. Kewenangan untuk memerintahkan autopsi adalah kewenangan penyidik. Saat Selasa tiba, kami bisa bertemu keluarga.
Di mana bertemu dengan keluarga Yosua?
Di penginapan kami. Pertama kali memang kami tekankan bahwa hubungan dokter dengan pasien sama dengan dokter dengan keluarga. Dalam hal ini hubungan kepercayaan. Kalau, misalnya, waktu itu keluarga tidak percaya, ya, sudah. Ngapain juga kami harus capek-capek mengerjakan? Ada pertanyaan dari keluarga yang minta dokter dari AD, AL, dan AU. Saya sampaikan bahwa dari Perhimpunan, pertimbangan pertama adalah kompetensinya, kemampuannya, dan setelah itu bisa kerja sama.
Reaksi keluarga?
Alhamdulillah, mereka mengerti, meskipun awalnya ada pertanyaan.
Apakah keluarga menyampaikan info tentang sejumlah luka di tubuh Yosua?
Memang diceritakan kejanggalan versi mereka.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia, Ade Firmansyah, saat wawancara dengan Tempo di RSCM, Jakarta, 3 Agustus 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Dalam surat Polri, apakah disebutkan ihwal alasan autopsi ulang?
Konsiderannya ada permintaan dari keluarga melalui penasihat hukumnya. Dari situ kami lihat, pertama, jenazah sudah diautopsi. Kedua, jenazah sudah di-embalming, diawetkan, diformalin. Ketiga, ini sudah sekian hari (pemakaman). Embalming bukan menghentikan, tapi hanya menghambat pembusukan. Tapi harapan kami memang kontaminasi dari luar minimal karena jenazah dikubur di dalam peti sehingga efek dari dalam tanah tidak ada. Banyak media menanyakan—ada foto-foto juga—tentang ada memar, jeratan, dan sayatan (di tubuh Yosua). Saya minta maaf, tidak mau mengomentari foto-foto itu.
Apakah mendapatkan informasi hasil autopsi pertama?
Enggak. Memang secara hukum itu punya mereka. Ya, sudah, kami persiapkan apa adanya saja. Kami berangkat dengan membayangkan bagaimana kami melakukan ekshumasi dan mencari luka-luka. Memang dari awal kami melihat, pertama, kalau sudah diautopsi, ketika organnya (ada yang) dilepas, saluran luka akan sulit dicari. Kami tidak akan ketemu jejak anak peluru dari mana ke mana, menembus apa, ke mana. Pasti akan sulit ditentukan. Mungkin bisa ketemu, mungkin saja enggak sama sekali. Kedua, kalau jenazah sudah diformalin, pasca-autopsi, semua tindakan pasca-autopsi pasti direkonstruksi, dirapikan. Kalau enggak, pasti darah atau cairan formalin bocor ke mana-mana. Kami pikir pasti ada luka-luka yang tidak bisa ditentukan langsung karena mengalami perubahan bentuk atau warna. Jadi kami tidak bisa tentukan langsung ini luka apa.
Ihwal luka-luka lain ataupun luka yang ada pasti ditanyakan apakah itu sebelum kematian atau sesudah kematian. Makanya kami persiapkan pemeriksaan jaringan. Waktu kami sampai ke sana, kami jelaskan ke keluarga, plus-minusnya. Saya juga enggak mau mengatakan janji-janji surga. Jangankan kami (yang melakukan) ekshumasi, kami autopsi pertama pun atau organnya tidak lengkap atau hal-hal lain, tidak selalu ketemu penyebab kematian itu. Jenazah masih segar pun bisa jadi enggak ketemu (penyebab kematiannya).
Harapan apa yang disampaikan keluarga?
Ekspektasi keluarga yang utama adalah kami independen. Kami apa adanya. Itu berani kami berikan jaminan. Apa pun hasil yang akan kami temukan, itu yang kami sampaikan. Kami sampaikan (bahwa) kami akan independen dan tidak ada titipan. Demi transparansi, kami diawasi Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Kami mempersilakan pengamat dari pihak keluarga untuk masuk (mengikuti autopsi). Kami persilakan pengamat yang orang medis (masuk) karena autopsi pasti akan cukup mengerikan. Dalam autopsi atau bedah mayat kami melakukan penyayatan di beberapa tempat, baik itu di bagian ada lukanya maupun tidak. Pemotongan organ kan cukup mengerikan. Makanya kami minta (perwakilan) medis. Mereka melihat saja, ya. Kami bilang tidak boleh memfoto. Mereka mendokumentasikan, mencatat.
Kenapa tak boleh memotret?
Itu barang bukti. Kami berpikir bahwa itu seharusnya kami perlakukan sebagai rahasia. Keluarga juga meminta apakah setelah autopsi ada yang bisa disampaikan. Seperti saya sampaikan di awal, ada hal-hal yang bisa kami sampaikan, ada hal-hal yang bila disampaikan akan mengganggu penyidikan. Itu termasuk hal yang dikecualikan untuk dibuka.
Kondisi mayat sesuai dengan perkiraan Anda?
Persis. Memang ada luka-luka yang enggak bisa diyakini betul itu luka apa. Tanda-tandanya jelas sekali jenazah ini sudah diautopsi. Ada luka yang memang saluran lukanya tidak bisa kami tentukan. Ada yang bisa kami tentukan juga, tapi masih didalami lebih lanjut karena jalannya anak peluru di dalam tubuh manusia berbeda. Tidak bisa kita bayangkan kayak garis lurus. Kalau anak peluru masuk ke bagian tertentu bakal garis lurus tembusnya, tidak akan begitu. Anak peluru, ketika keluar dari ujung senjata, kan pasti berputar, baik ke kanan maupun ke kiri. Ketika mengenai tubuh manusia, jaringan tubuh, baik yang lunak maupun keras, peluru bisa mengalami perubahan arah. Apalagi kena tulang. Misalnya, ia berputar ke sisi lain atau bisa juga anak peluru pecah sehingga menimbulkan dua luka yang berbeda di dalam. Saya pernah memeriksa luka tembak di dada, pelurunya ketemu di perut. Makanya dalam autopsi kami mencari saluran luka tersebut.
Kalau ada peluru menembus dada, apakah bisa dipastikan akan keluar di bagian mana?
Bisa. Tapi, ya, itu tadi, yang paling sahih autopsi pertama yang menentukan itu. Autopsi kedua ini kan organ di dalam sudah pasti mengalami perubahan posisi.
Apa perbedaan mencolok luka karena autopsi, luka dari luar, dan luka karena memasukkan formalin?
Itu pasti kelihatan tanda-tandanya. Makanya kami memeriksa sampel jaringannya. Kami mau lihat ini ada tanda-tanda intravital atau tidak. Jika intravital, bila tubuh mengalami luka, pasti pembuluh darahnya ada yang pecah dan terjadi pengeluaran darah di jaringan itu. Itu tanda-tanda itu yang kami cari. Namun, pada kondisi ini tentunya, apalagi sudah 19 hari, vitamin dan serotonin tak mungkin bisa kami periksa. Sudah tidak ada. Pasti sudah hilang.
Anda mengatakan ihwal pemeriksaan mikroskopis. Apa yang ingin diketahui?
Ada 45 slide (mikroskopis) yang akan kami periksa. Tujuan utamanya pastinya menemukan intravital, tanda-tanda pelebaran pembuluh darah di daerah tersebut. Atau, misalnya, kalau di dalam tubuh manusia organ-organnya mengalami kematian sel. Kemudian, kalau, misalnya, mengalami kekurangan darah, pasti organ dalam, seperti jantung, paru, dan otak, merespons kekurangan darah, kekurangan oksigen. Itu seperti apa. Itu yang (akan) kami lihat.
Slide itu diambil dari sampel mana saja?
Dari 20 jaringan tadi. Itu terdiri atas jaringan organ dalam, seperti otak, jantung, dan paru. Kemudian juga di jaringan kulit. Jaringan kulit yang kami lihat ada perlukaan ataupun menurut informasi keluarga diduga ada perlukaan di sana. Itu yang kami periksa apakah betul di situ ada luka atau tidak. Kalau memang ada luka, semestinya menimbulkan tanda-tanda intravital.
Apakah autopsi kedua ini pasti lebih sulit?
Kalau jenazah pernah diautopsi, organ-organ sudah pasti tidak pada tempatnya karena sudah sempat dikeluarkan. Kedua, kalau ada darah, pasti sudah dievakuasi dan diukur. Jadi, kalaupun kami menemukan cairan di dalam tubuh, itu sudah pasti tidak representatif apakah cairan itu betul darah atau bercampur formalin. Volumenya sudah tidak representatif lagi.
Orang yang mendapatkan lima luka tembak ditemukan darah 760 cc di luar dan pembekuan di dalam 150 cc, apakah itu normal?
Darah dalam tubuh manusia total rumusnya 700 cc per kilogram berat badan. Kalau berat badan 70 kilogram, (darahnya) rata-rata 4.900 cc atau plus-minus lima liter. Kehilangan 20 persen, bisa mati orang. Jadi, kalau kehilangan satu liter, pasti mati. Mungkin enggak di bawah itu bisa mati juga? Bisa saja. Tapi kami lihat tanda-tanda di dalam tubuhnya, apakah memang betul efek kekerasan menimbulkan perdarahan atau mungkin akibat yang lain. Sama-sama luka tembak, mekanisme kematiannya bisa beragam. Ada yang mekanisme kematiannya karena kehabisan darah, ada yang karena kerusakan organ.
Apa beda bekas luka autopsi, luka formalin, dan luka luar?
Kalau luka akibat autopsi dan luka akibat tindakan formalin, pasti di jaringan tersebut tidak ada tanda intravital.
Pengacara keluarga menyebut ihwal bagian otak korban yang ditemukan di perut, seperti apa penjelasannya?
Saya enggak mau komentari itu. Apakah otak ada di perut, ada di mana, itu adalah apa yang saya lihat pada saat autopsi.
Apa peran tiga penasihat bagi tim ini?
Kalau kami menggunakan langkah seperti ini, secara keilmuan sudah cocok atau enggak? Sudah benar atau enggak? Apakah tingkat pembuktiannya nanti sudah baik atau enggak? Nanti termasuk juga ketika kami menentukan penyebab kematian dengan bukti-bukti seperti ini, gambarannya ini, apakah cukup adekuat (memenuhi syarat) atau tidak. Karena, untuk bisa kita sampai pada kesimpulan penyebab kematian, secara forensik kami perlu mencapai tingkat pembuktian beyond reasonable doubt, tidak ada lagi keraguan beralasan, bahwa penyebab kematian orang ini tak lain dan tidak bukan adalah hal tersebut. Entah kekerasan entah penyakit. Untuk bisa sampai ke sana, pertama, kami mengumpulkan bukti-bukti yang relevan.
Apakah ada mekanisme rapat khusus dalam membuat kesimpulan?
Sama seperti pembahasan ini. Pembahasan kesimpulan saja. Setelah semua disepakati oke, semua slide kami sepakati. Setelah itu baru akan kami sampaikan memang itulah kesimpulannya. Ya, itu tadi, cukup adekuat atau tidak untuk kami sampai pada kesimpulan itu.
Dengan sampel jaringan saat ini, apakah yakin bisa menghasilkan kesimpulan tentang penyebab kematian?
Kami sudah ambil semua sampel yang representatif.
Ade Firmansyah Sugiharto
Tempat dan tanggal lahir: Surabaya, 27 Agustus 1981
Pendidikan dan Kursus
• Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999-2003
• Fakultas Kedokteran UI (Profesi Kedokteran), 2003-2005
• Fakultas Kedokteran UI (Dokter Spesialis), 2006-2009
• Fellowship on Bioethics, Social Justice, and Health, School of Law University of Washington, Amerika Serikat, 2009-2010
• Fakultas Kedokteran UI (S-3), 2011-2017
Karier
• Ketua Divisi Bioetika dan Humaniora Departemen Pendidikan Kedokteran FKUI, 2011-2015
• Sekretaris Komite Medik Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo, 2016-2019
• Kepala Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI-RSCM, 2017-sekarang
• Ketua Kelompok Staf Medis Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSCM, 2020-sekarang
• Kepala Instalasi Forensik dan Pemulasaraan Jenazah RSCM, 2021-sekarang
Organisasi
• Anggota Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, 2006-2015
• Anggota MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta, 2012-2015
• Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) Pusat, 2010-2013
• Wakil Ketua PDFI Pusat, 2013-2016
• Anggota Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit Indonesia Ikatan Rumah Sakit, 2017-2020
• Ketua Umum PDFI Pusat, 2016-sekarang
Hasil autopsi pertama menyatakan korban meninggal karena luka tembak. Apakah mungkin temuan autopsi kedua ini berbeda?
Kami tak ada tendensi apakah akan berbeda atau tidak. Apa adanya yang kami periksa dalam ekshumasi, itu yang kita sampaikan, kami laporkan. Apakah mungkin berbeda? Kalau memang apa adanya di sini, itu yang disampaikan.
Pernah melakukan autopsi yang lebih menantang?
Kesulitan pada kasus ini memang karena sudah pernah diautopsi sebelumnya. Rata-rata yang kami ekshumasi belum pernah diautopsi sehingga kami sangat enak (mencari) karena letak organ masih pada tempatnya.
Ada kasus yang lebih sulit dari ini?
Kasus sulit secara forensik adalah yang tidak ada luka di luar, seperti almarhum Mirna. (Wayan Mirna Salihin meninggal setelah menenggak kopi yang ternyata berisi racun sianida pada 6 Januari 2016).
Spekulasi publik yang beredar tentang penyebab kematian apakah juga berpengaruh terhadap tim?
Saya pribadi, dan saya rasa tim juga sama, (pendapat publik) tidak pernah jadi pertimbangan.
Apakah hasil autopsi baru selesai delapan minggu mendatang alias September atau bisa lebih cepat?
Ya. Sampai laporan.
Polisi tak memberi tenggat kapan autopsi kedua ini harus selesai?
Bukan hanya polisi. Maunya masyarakat lebih cepat, lebih baik, kan. Maunya polisi lebih cepat, lebih baik. Waktu itu saya sampaikan, saya tak mau obral janji. (Saya pastikan) tak ada intervensi, tidak ada titipan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo