KEMARAHAN itu mereka lampiaskan lewat api. Bendera Soviet tiruan dibakar di Washington, sementara di New Delhi sebuah patung Konstantin Chernenko telah pula dihanguskan. Itulah puncak unjuk perasaan yang dipamerkan orang-orang Afghanistan di depan kedutaan Uni Soviet, pekan lalu. Kamis, 27 Desember silam, genap limatahun tentara Uni Soviet menduduki Afghanistan. Agresi ini, waktu itu, dikecam lebih dari separuh negara di dunia, dan, tujuh bulan kemudian, Amerika Serikat dan sekutunya sengaja memboikot Olimpiade Moskow. Tapi dengan segenap risiko, sampai kini 115.000 tentara Rusia tetap saja bertahan di sana. "Tipis harapan untuk mendapatkan penyelesaian politik bagi Afghanistan," begitu penilaian menlu Inggris Geoffrey Howe lewat wawancara dengan BBC. Mungkin, karena menyadari kenyataan pahit ini, maka tekanan moral lebih giat dilancarkan. Diperkirakan ribuan demonstran ikut ambil bagian dalam aksi protes, 27 Desember, di seantero negara Eropa Barat, Iran, India, Bangladesh, dan Muangthai. "Hentikan kekejaman Soviet di Afghanistan", bunyi sebuah slogan. "Bantulah sekarang, besok terlambat", tulis yang lain. Tapi Moskow tetap tidak peduli. Berbagai tuduhan ditepiskan begitu saja, sebaliknya kemajuan yarlg dicapai Afghanistan selama lima tahun dibesar-besarkan. Untuk menangkis serangan besar Mujahiddin, yang tiap tahun dilancarkan tepat 27 Desember, tentara Soviet meningkatkan pertahanan di seantero ibu kota Kabul. Beberapa pos penjagaan diperkuat. Apakah gerilyawan Afghan dapat menembusnya? Radio Kabul membantah adanya serangan gerilya, sedangkan sumber Mujahiddin belum melaporkan apa-apa. Yang pasti, sejak awal 1983, tentara Soviet tak putus-putusnya melancarkan operasi sapu bersih terhadap kaum gerilyawan. Tapi sebegitu jauh aksi perlawanan belum seluruhnya bisa ditumpas. Berita yang dikutip Los Angeles Times Service dari surat kabar Soviet Izvestia menyebutkan bahwa gempuran senapan mesin telah menghantam sebuah pesawat militer Soviet yang bermaksud mendarat di Chaghcharan, Afghanistan Tenah. Perbukitan sekitarnya masih dikuasai gerilya, kata Izvestia, dan kota kecil Akran Garan dikepung mereka. Tapi laporan itu tidaklah mewakili gambaran suram perjuangan Afghan, yang diakui sepenuhnya oleh para pemimpin mereka. Prof. Burhariuddin Rabbani, pemimpin Jamiati-islami, baru-baru ini mengeluh tentang berkurangnya bahan pangan. "Ekonomi rakyat berantakan, karena mereka dihalau dari ladang-ladang pertanian. Ini tidak menguntungkan bagi perjuangan jangka panjang," ucapnya setelah lebih dulu membeberkan sepak terjang tentara Soviet. Dengan carpet bombing, yakni pengeboman tuntas secara besar-besaran, serdadu tak berTuhan, demikianlah orang Afghan mengejek tentara Rusia, telah menghancurkan pertahanan gerilya, sekaligus memporakperandakan penduduk. Rakyat kocar-kacir, hingga untuk suplai pangan, para pejuang sudah tidak mungkin mengandalkan mereka. Untuk menyukseskan taktik ofensif, Soviet melancarkan dua macam pengeboman: tinggi dan rendah. Dari ketinggian 5-6.000 m mereka gunakan pesawat tempur, sedangkan untuk pengeboman jarak rendah, Soviet mengoperasikan Su-25 dan Mi-24, sejenis helikopter tempur. Menghadapi pemboman yang sangat berbahaya itu, pejuang Afghan sama sekali tidak punya senjata penangkis. Pada mereka ada beberapa SAM-7, sejenis penangkis ringan, tapi jelas tidak memadai. Belum lagi mesti berhadapan dengan pasukan komando, yang jumlahnya mencapai 70.000 orang, di samping 40.000 tentara cadangan. Aksi-aksi gerilya kian mudah dipatahkan, begitu pula jalur suplai antara ibu kota Kabul dan Kandahar di selatan. Akibatnya, mobilitas pejuang Mujahiddin semakin terancam. Di samping itu, bencana lain juga mengintai: Gulbuddin Hikmatyar, pemimpin organisasi Hizbe Islami, menyatakan bahwa musibah kurang pangan sudah meluas ke enam provinsi di tenggara Afghanistan. Komite Bantuan di London menyebutkan, dua juta penduduk berstatus pengungsi lokal, yang tidak berhasil menyeberang ke Pakistan, kini mulai digerogoti wabah kelaparan. Untuk diketahui, sepertiga dari 18 juta penduduk Afghan hidup dalam pelarian - dua juta di antaranya di Pakistan, sejuta lagi di Iran. Untuk mereka, tiap tahun badan PBB, UNHCR, menghabiskan US$ 400 juta, tapi pengungsi di Iran kebagian hanya US$ 7,5 juta. Negara-negara Arab penghasil minyak kabarnya menyumbang US$ 100 juta tiap tahun, dan CIA, dinas rahasia AS, menyediakan US$ 50 juta untuk suplai senjata. Di pihak lain, Uni Soviet rata-rata menghabiskan US$ 2,7 milyar tiap tahun, di samping mengoperasikan sebanyak 350.000 tentara. Selama lima tahun terlibat petualangan militer "membantu" rezim Babrak Karmal, 8.500 tentara Soviet tewas, 16.500 luka-luka. Semua kerugian itu tidak mencegah Moskow untuk terus bercokol di Afghanistan, hingga tercapai apa yang di sebut kemenangan mutlak. Mundur sama sekali tidak mungkin. Sebab, tindakan itu akan merusakkan citra, lagi pula waktu 10 tahun untuk menumpas pemberontakan Muslim bagi Kremlin dianggap lumrah. Karena itu pula upaya penyelesaian secara damai, yang diprakarsai tokoh PBB Diego Cordovez, tampaknya akan sia-sia. Sesudah perundingan putaran ketiga Agustus lalu, Cordovez menyebut adanya kemajuan, tapi terhambat "rintangan serius di perjalanan". Kalau sudah begitu, pejuang Afghanistan harus bagaimana? Perlawanan mesti terus ditingkatkan, begitu saran para pengamat Barat. Dengan suplai senjata yang lebih banyak, siapa tahu tentara Soviet, akhirnya bisa dibikin kewalahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini