TAHUN Baru 1985 disambut dengan suasana muram di Istana Fontenoy, Paris. Di gedung megah markas besar UNESCO itu, musim dingin terasa lebih menggigit oleh peristiwa pahit bertubi-tubi. Mula-mula Amerika Serikat mengumumkan kata putus keluar dari organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan PBB itu, sejak 31 Desember lalu. Inggris akan menyusul, 12 bulan kemudian. Terakhir, Singapura juga sudah mengirimkan nota pengunduran, pekan lalu. Apa sebetulnya yang terjadi? "Lembaga itu sudah menjadi statis dan anti Amerika," ujar seorang pejabat tinggi Washington. "Boros dan memerlukan perombakan besar," kata seoran pejabat Inggris. Sedangkan David Marshal, duta besar Singapura di Prancis, hanya berucap "Kami sebuah negara kecil dengan sasaran yang diprioritaskan, karena keterbatasan sumber penghasilan." Dengan pengunduran AS dan Inggris, UNESCO akan kehilangan 29,61% sumber dana untuk anggaran belanjanya yang mencapai sekitar US$ 374 juta per tahun. Dalam pada itu, Jepang dan Belanda tampaknya sedang berpikir untuk mengikuti langkah tiga rekannya terdahulu. Selama ini, Jepang menyumbangkan 10,19% dana per tahun - hanya 0,22% lebih kecil dari iuran Uni Soviet yang dituduh lebih banyak memanfaatkan organisasi yang sudah berusia 38 tahun itu. AS, yang menunjang seperempat belanja UNESCO, memang sudah lama risau melihat lembaga yang turut didirikannya itu. Dulu, AS memang berkibar-kibar menghadapi persoalan antarbangsa dengan semangat "Wilsonian", khususnya setelah 1917. Menurut semangat itu, yang juga mendorong AS ikut mendirikan PBB, dunia secara menyeluruh sedang bergerak ke arah demokrasi, dan secara hakiki ke nilai-nilai politik Barat. Ternyata, tidak. Atau begitulah menurut penilaian AS. Perkembangan menunjukkan, makin banyak saja parlemen yang tidak berfungsi, pemilu yang tidak bebas, dan koran yang dikekang. Dan UNESCO, seperti dikatakan Gregory J. Newell, asisten menteri luar negeri AS, "Sudah terlalu dipolitikkan, dan tindakannya tidak bermanfaat." Kelompok negara Eropa Barat bukannya tidak melihat cacat UNESCO. Menurut sebuah sumber, Belgia, Belanda, Kanada, Italia, negara-negara Skandinavia, kemudian diikuti Jepang, sudah mengirim surat kepada direktur jenderal UNESCO, Amadou Mahtar M'Bow, agar memperhatikan kritik yang belakangan ini banyak dilontarkan. Terutama yang menyangkut tuduhan bahwa lembaga itu terlalu banyak bermain politik, anti demokrasi, dan salah urus. Tetapi M'Bow, yang masa jabatannya baru akan berakhir 1987 nanti, juga menjadi sasaran kecaman. Tokoh dari Senegal ini dianggap "terlalu otokratis", dan membelanjakan 80% dana untuk 80% staf UNESCO yang bergerombol di Paris. Ia dikecam karena campur tangan UNESCO yang sumbang dalam peran Iran-Irak, perang Sahara Barat, dan beberapa kejadian di Amerika Tengah. UNESCO, yang beranggotakan 161 negara itu, dinilai terlalu menguntungkan blok Soviet. Anggota blok ini dianggap terlalu banyak mempengaruhi keputusan badan internasional itu, sementara Barat menuduh mereka "tidak demokratis, bahkan banyak diantaranya yang antidemokrasi." Pers AS serta-merta mendukung tindakan Washington. Mereka tersentuh oleh keterangan pers Newell, yang menyatakan bahwa UNESCO, "Membahayakan lembaga masyarakat bebas, khususnya lembaga yang melindungi kebebasan pers, pasar bebas, dan hak asasi manusia." Selama hampir satu dasawarsa terakhir, pers Barat memang asyik memperdebatkan keadilan arus berita internasional, terutama yang menyangkut pemerintahan di Dunia Ketiga. M'Bow merencanakan konperensi lima kelompok wartawan nonpemerintah di Kota Meksiko, Maret nanti. Di situ, ia menjanjikan, antara lain, pembahasan mengenai "perlindungan terhadap wartawan". Istilah ini makin mencurigakan pers Barat. "Perlindungan", di telinga mereka, "lebih mengandung arti pembatasan izin, pengawasan, dan penghukuman terhadap wartawan." Di Indonesia, langkah AS disambut dengan perasaan kecewa. "Tindakan yang menunjukkan AS negara adikuasa, kuat, dan berwibawa," ujar Jusuf Wanandi, direktur CSIS, kepada Kompas. Kepada koran yang sama, anggota Komisi I DPR-RI Amin Iskandar mengatakan, "Sikap ekstrem AS ini tidak akan menimbulkan simpati." Amadou Mahtar M'Bow, sementara itu, tak. banyak berkomentar. Tetapi, bulan ini juga ia berniat menyelenggarakan sidang darurat dewan eksekutif, yang beranggotakan 51 orang. Setelah itu, mungkin sekali lembaga yang sedang mengalami guncangan ini membuka sidang umum darurat, sekitar Maret atau April. Sidang umum ini direncanakan di Sofia, Bulgaria, pilihan yang oleh para diplomat Barat dinilai tidak bijaksana. Karena itu, agaknya, makin santer saja isu yang mengatakan, Barat sedang mempersiapkan organisasi tandingan UNESCO. Paling tidak, kampanye untuk mengganti M'Bow bertambah ramai, antara lain secara terang-terangan di lancarkan oleh pers Inggris. Calon yang banyak disebut-sebut adalah bekas perdana menteri Kanada Pierre Trudeau, bekas kanselir Jerman Barat Helmut Schmidt, dan duta besar Singapura di Washington Tommy Koh. Tanpa organisasi tandingan pun, keuangan UNESCO sudah morat-marit. Bila langkah AS betul-betul diikuti Inggris, Singapura, apalagi Jepang dan beberapa negara Eropa Barat, lembaga ini akan makm tergantung pada pundi-pundi Soviet. Atau pada negara-negara Arab kaya, seperti yang lebih diharapkan para peninjau Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini