Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mandat untuk cucu nehru

Kongres (i) yang dipimpin rajiv gandhi, 40, memperoleh suara mayoritas pada pemilu india. diduga dari simpati lantaran kematian indira gandhi. pemungutan suara tidak dilakukan di punjab & assam. (ln)

5 Januari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGHITUNGAN suara belum lagi usai, tapi kemenangan Kongres (I), partai yang dipimpin Rajiv Gandhi, sudah bisa dipastikan, Sabtu berselang. Maka, rasa sukacita pun meletup di mana-mana. Orang-orang Kongres (I) berpesta di jalan raya, menabuh genderang, bersorak-sorai, dan menari-nari menyambut sukses kepemimpinan generasi ketiga PM pertama India, Yawaharlal Nehru, menjadi tokoh Nomor I di negeri berpenduduk 800 juta itu. Kegembiraan spontan ini tampak seperti melepaskan belenggu duka, yang mencekik India sejak penembakan Perdana Menteri Indira Gandhi dan tragedi gas beracun Bhopal. Figur Rajiv, 40, sebagai pemimpin muda agaknya sangat berperan ketimbang potensi Kongres (I) sebagai parpol. Rakyat tanpa ragu menumpahkan kepercayaan padanya suatu sikap yang diduga terbit dari rasa simpati lantaran kematian Indira, ibunya. Rakyat di anak benua itu agaknya cenderung merasa bahwa masa depan India sedang dipertaruhkan. Sebab itu, tongkat kepemimpinan sudah seharusnya berpindah dari Indira kepada putranya, Rajiv, betapapun hijaunya dia sebagai pemimpin bangsa. Kalau tidak, India bisa terancam perpecahan. Yang pasti, pada saat-saat paling menentukan dalam percaturan politik di negara itu, untuk kesekian kalinya tidak terlihat seorang pemimpin yang cukup besar, yang bisa diterima pelbagai lapisan rakyat di sana dengan bermacam agama dan beragam masalah. Di negeri dengan 360 juta pemilih, separuhnya buta huruf, popularitas tokoh sangat menentukan. Bekas bintang film Rama Rao, terakhir menteri besar Andhra Pradesh, memang cukup populer, tapi cuma bisa diterima penduduk selatan. Begitu pula Charan Singh, mantap hanya di utara. Tinggal Rajiv, yang namanya mencuat sejak dua bulan lalu, tatkala dilantik sebagai perdana menteri beberapa jam sesudah sang ibu meninggal, 31 Oktober 1984. Pemilu ini dengan sendirinya hanya prosedur mahal, dan berdarah pula, yang harus dilalui sekadar untuk mengukuhkan kepemimpinan Rajiv Kemantapan posisi putra sulung Indira ini sudah lebih dulu tecerminkan dalam polling yang diselenggarakan majalah India Today. Menurut poll. Kongres (I) akan merenggut 351 dari 50E kursi yang diperebutkan di Lok Sabha Majelis Rendah Parlemen India. Suara melimpah ini dipastikan jauh melebihi suara yang pernah dikumpulkan Indira dalam kemenangannya terbesar pada 1980. Waktu itu, Partai Kongres (I) hanya berhasil mengumpulkan mayoritas 42%, sementara di bawah Rajiv diperkirakan mengantungi suara lebih dari 50%. Pertama-tama harus dicatat, Rajiv memenangkan 90% suara di daerah pemilihannya sendiri, Amethi, Uttar Pradesh. Dengan demikian, lawan utamanya, Maneka Gandhi, adik iparnya sendiri, kalah telak. Kemenangan berikutnya diraih Kongres (I) di kawasan "sabuk Hindu", mencakup semua negara bagian di utara, seperti Uttar Pradesh, Bihar, Madya Pradesh Rajashtan, Himachal Pradesh, dan wilayah Delhi. Di wilayah yang mayoritasnya beragama Hindu ini, partai oposisi dengan mudah dirontokkan. Kemenangan Kongres (I) di New Delhi dan Calcutta juga cukup mengejutkan, mengingat ibu kota India itu baru saja dilanda kerusuhan anti-Sikh, hingga jatuh korban sampai 600 orang lebih. Dan Calcutta, kota besar yang penuh sesak dengan gelandangan, sejak dulu adalah milik orang komunis. Kemenangan Kongres (I) di kota ini benar-benar di luar perhitungan. Tapi bukan di kawasan utara saja Kongres (I) mengejutkan. Dua negara bagian di selatan, Karnataka dan Kerala, juga mereka "taklukkan". Agaknya, hanya dua partai oposisi yang tidak tergilas: Telugu Desam di Andhra Pradesh dan Partai Dalit Mazdoor Kisan di Uttar Prades. Karena kedua partai itu cuma berjaya di daerah pemilihan sendiri, jumlah kursi yang diperoleh juga amat terbatas. Sementara itu, partai oposisi sayap kanan mengalami kekalahan lebih parah. Partai Bharatiya Janata dengan tokohnya yang cukup tangguh, Atal Behari Vajpayee, kehilangan tiga kursi di kubu sendiri, Madya Pradesh. Suaranya dicuri calon dari Kongres (I). Agak pahit Vajpayee mengakui kekalahan ini. "Sebagai seorang demokrat saya mcnerima pilihan rakyat. Namun, harus saya tambahkan, kemenangan lawan adalah karena kekuasaan uang, kekuatan otot, dan kekuasaan menteri," katanya. Dia menyindir kecurangan Kongres (I) tanpa menyebutkan contoh. Tapi bisa juga Vajpayee sekadar mcncari-cari alasan, karena sebegitu jauh tidak ada protes lain dari pihak oposisi. Sebuah pemilu raksasa di negara demokrasi terbesar di dunia, seperti acap kali dipujikan para analis Barat, tidaklah mungkin dijamin bersih. Kenyataan bahwa rakyat India, yang sebagian besar miskin dan buta huruf itu, dapat memilih dengan bebas tanpa rasa takut, bagaimanapun, tetaplah satu hal langka di lingkungan Dunia Ketiga. Betapapun bodohnya warga pemilih di India, tapi hak pilihnya diakui, hampir-hampir tanpa intimidasi. Terbukti dalam dua pemilu sebelumnya, partal yang berkuasa sempat mereka tumbangkan. Yang pertama, Kongres (I) pada 1977, dan kedua, Partai Janata pada 1980. Selama delapan pemilu, sejak India merdeka, jumlah pemilih terus bertambah. Pemilu terakhir ini mengikutsertakan 360 juta pemilih (pada pemilu pertama, 1958, baru mencatat 178 juta pemilih) yang dapat menggunakan haknya lewat 479.205 buah stasiun pemilihan dengan tidak kurang dari satu juta kotak suara. Kabarnya, sebanyak 1.500 metrik ton kertas dihabiskan untuk keperluan pemilu, sedangkan biaya seluruhnya mencapai US$ 200 juta. SELURUH India terbagi atas 542 daerah pemilihan, tapi dalam pemilu kedelapan ini pemungutan suara tidak dilakukan di negara bagian Punjab dan Assam. Alasannya, kedua daerah itu masih sangat rawan, hingga pemilu dikhawatirkan bisa memancing kerusuhan. Memang, demi ketertiban ratusan ribu petugas keamanan dikerahkan, toh berbagai insiden terjadi, berupa ledakan, penusukan, tembakan. Sampai pemilu tiga tahap itu dimulai, 24 Desember, diperkirakan 300 orang luka-luka dan 29 tewas. Bahkan M. Omkar, pemimpin Partai Komunis Marxis, ditembak tatkala sedang berkampanye, tiga pemimpin buruh juga ditembak. Kekerasan, demikian pula kebodohan bukanlah barang baru di pentas politik India. Buktinya, jumlah pemilih buta huruf masih lebih besar ketimbang pemilih yang berpendidikan. Untuk mereka, tiap partai menampilkan lambang sederhana. Tangan adalah lambang Kongres (I), palu arit dan bintang untuk Partai Komunis, Janata tampil dengan simbol pembajak dan roda. Beberapa partai kecil memilih sepeda, gerobak, unta, lokomotif, singa, dan matahari. Untuk menjangkau masyarakat bawah, aktivis partai juga mesti lihai menerjemahkan pesan-pesan mereka. Kongres (I) menjual gagasan perlunya sebuah pemerintah pusat yang stabil dan kuat, bisa bertahan terhadap ancaman dari luar dan dalam negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus