Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Darah dan api 13 mei 1969

Kerusuhan rasial yang mengerikan di malaysia terjadi pada 13 mei 1969 seusai pemungutan suara pemilihan umum. pemerintah mengumumkan keadaan darurat, penangkapan dan pembekuan beberapa media massa.

7 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RASA cemas dan takut di Malaysia kini punya dasar: sebuah kejadian berdarah yang pahit hampir 20 tahun yang lalu. Bentrokan antar "kaum" atau golongan -- khususnya Cina dan Melayu -- sering terjadi, tapi yang paling mengerikan meledak 13 Mei 1969. Peristiwa itu menewaskan 196 jiwa, sementra 1.019 orang dinyatakan hilang dan 9.143 orang dibekap dalam penjara. Kejadian itu berawal di Kuala Lumpur, Malaysia. Hari Sabtu, 10 Mei 1969 itu, lebih dari 500 ribu penduduk memadati tempat-tempat pemungutan suara, untuk memilih para calon dari 7 partai yang akan menduduki 144 kursi di Dewan Ra'ayat. Di hari penghitungan suara keesokan harinya, sekelompok pendukung partai oposisi, DAP dan Gerakan, merayakan kemenangannya. Sebetulnya belum dipastikan mereka unggul suara dari Barisan Nasional, tapi angin kemenangan memang sudah terasa. Sambil melambaikan bendera partai dan membunyikan klakson kendaraan, mereka berparade di jalan-jalan utama Kuala Lumpur. Mereka, dari golongan Cina, meneriakkan yel-yel yang panas ke arah golongan Melayu. Barisan Nasional tak tinggal diam. Pada 13 Mei 1969, rencana parade tandingan -- dipimpin Menteri Besar Selangor, Dato Harun bin Idris -- disusun. Ratusan pendukung Barisan Nasionai berduyun-duyun menuju ke kediaman Ketua UMNO Selangor itu. Namun, sebuah berita buruk datang dari Kuala Lumpur. Serombongan pemuda Melayu yang akan bergabung dengan mereka dilempari botol dan batu oleh kelompok Cina dan India di Setapak utara Malaysia. Mendengar hal itu, kelompok Barisan Nasional yang sudah berkumpul di Selangor panas hati. Sambil memabawa batu, pisau, bom api, pipa, dan bambu runcing, mereka menjalar ke Jalan Raja Muda dan Jalan Hale, menuju perkampungan Cina. Bentrokan rasial pun meledak di seantero Malaysia, ketika serombongan pemuda itu dihadang orang-orang Cina bersenjata dari kawasan Chow Kit, Kuala Lumpur. Kaum Melayu -- mengenakan ikat kepala merah atau putih -- menjadi beringas dan membantai penduduk Cina serta membakar tempat tinggalnya. Sementara itu, lawannya, bersenjatakan pistol dan senjata laras pendek, mendatangi rumah-rumah Melayu dan bertindak sama. Malahan puluhan penonton tak berdosa kedapatan mati di tempat duduk beberapa gedung bioskop, malam itu. "Kuala Lumpur menjadi lautan api," tulis Teunku Abdul Rahman, ketika "Bapak Bangsa" Malaysia ini (waktu itu Perdana Menteri) mengenang kejadian tragis itu dalam sebuah bukunya. Walau jam malam diberlakukan pada pukul 20.00, kerusuhan komunal secara sporadis terus berlangsung di beberapa tempat. Situasi yang semakin memburuk menyebabkan Diputi Perdana Menteri Tun Abdul Razak menurunkan sekitar 2.000 personel militer plus 3.600 polisi ke Kampong Bahru dan Chow Kit pada pukul 22.00. Tanpa koordinasi yang rapi -- hanya berbekal "perintah tembak", tentara yang umumnya berasal dari Serawak menembak siapa saja yang tampak dalam kegelapan malam di Kuala Lumpur secara membabi buta. Korban jiwa pun terus meningkat dalam beberapa hari. Kerusuhan rasial yang berkepanjangan itu akhirnya dibendung dengan mengumumkan negara dalam keadaan darurat". Sebuah komite khusus beranggota 8 orang dibentuk Tunku Abdul Rahman. Dengan Tun Abdul Razak sebagai ketuanya, komit bernama National Operations Council (NOC) diberi wewenang menangani kerusuhan rasial lewat dekrit yang dikeluarkan. Serangkaian penangkapan dan pembekuan media massa dilakukan untuk memadamkan panasnya situasi politik dalam negeri. Seminggu kemudian, jam malam di beberapa daerah dicabut dan media massa diizinkan terbit melalui sensor ketat. Kegiatan sehari-hari pun berangur pulih di antara beberapa penangkapan masal yang masih dilakukan pihak pemerintah. Sementara itu, NOC mengeluarkan dua keputusan penting. Yakni: "Essential Goodwill Regulations" (politik) dan "New Economic Strategy" (ekonomi), yang masing-masing bertujuan mewujudkan persatuan multirasial dan "memberi kesan baru dalam rencana pembangunan Malaysia". Belum lagi 20 tahun kemudian, di tahun 1987 ini, persatuan multirasial yang memang selalu oleng di Semenanjung itu tampaknya terancam lagi. D.P.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus