Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Keluhan "mat soleh", dengan hak ... keluhan "mat soleh", dengan hak...

Kaum melayu belum puas dengan kebijaksanaan ekonomi baru (nep). masih ada ketimpangan dalam pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan ada kecemburuan sosial antara orang cina dan melayu yang diberi hak istimewa.

7 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Penang, orang tidak tenang. Pulau ini separuh dari 500 ribu penduduknya berdarah dan berhubungan tradisi dengan Cina Selatan. Tapi akhir pekan lalu mereka tak bisa merayakan pesta bulan kesembilan (disebut jiu yue) semeriah tahun sebelumnya. Polisi siaga penuh di pusat kegiatan upacara orang-orang keturunan Cina ltu. Kali ini, upacara hanya dilakukan di depan kelenteng di Jalan Satu saja. Arak-arakan ke laut dilarang. Maksudnya jelas: mencegah pengumpulan massa. Petugas keamanan khawatir bakal terjadi huru-hara. Dua pekan lalu, golongan Cina memprotes. Mereka menentang keputusan Menteri Pendidikan Anwar Ibrahim, yang menyatakan bahwa kepala sekolah yang tidak berbahasa Mandarin bisa dibenum di sekolah-sekolah Cina -- semacam usaha untuk melonggarkan ikatan golongan ini dengan kebudayaan dari tanah asal leluhur mereka. Ada kemungkinan, protes akan berulang di hari jiu yue itu. Bagi orang Melayu, protes itu hanya semacam kerewelan. Golongan yang secara resmi disebut sebagai bumiputra ini menganggap, kelompok Cina suka mempersoalkan dan mengungkit-ungkit hak orang Melayu. Sebagai misal, perhatian istimewa pemerintah terhadap mereka dalam NEP atau DEB atau Dasar Ekonomi Baru (lihat Boks). Ini dikecam orang Cina sebagai beleid pemerintah yang diskriminatif. Orang Melayu merasa punya alasan untuk cemas. Golongan Cina, yang berjumlah sekitar 36% -- bagian yang cukup besar dari penduduk Malaysia yang 16 juta -- menguasai beberapa sektor ekonomi yang penting. Orang bumiputra, yang 51% dari penduduk, menurut catatan mutakhir, hanya ikut memiliki sekitar 19% perusahaan swasta dalam bentuk perseroan terbatas. Ketimpangan dan ketidakpuasan lama ini akhir-akhir ini diperburuk oleh lambatnya pertumbuhan ekonomi. DEB yang hendak dijalankan pemerintah Mahathir terbentur oleh terbatasnya ekspansi ekonomi, hingga kue nasional tak bisa diperbesar secepat dalam periode 1976-1982, yang pertumbuhannya rata-rata lebih dari 8% setahun. Dalam kesempitan itu, ketidakpuasan terbit, baik di kalangan Cina maupun Melayu sendiri. Partai Gerakan, misalnya, yang bersama-sama UMNO berada dalam Barisan Nasional, mengecam DEB. Kata Alex Lee, anggota Komite Sentral Gerakan, DEB, "Terlalu memberi kekuasaan kepada birokrasi, yang membawa mereka ke tindak korupsi." DEB dengan demikian harus disetop. Apalagi, konon menurut kalangan Gerakan, berkat DEB saham orang Melayu dalam perekonomian telah mencapai 30%. Pihak Melayu tentu saja belum puas. "Kalau menurut perkiraan orang Melayu," kata Datuk Abdullah Ahmad, tokoh UMNO dan anggota parlemen dari Kelantan, "yah, hanya baru tercapai 10%." Sebab, menurut Abdullah Ahmad, porsi yang selebihnya, "dimiliki pemerintah atas nama Melayu." Tokoh seperti Abdullah Ahmad juga menghendaki agar tak kalah penting dari persentase adalah kualitas apa yang dimiliki orang Melayu itu. "Tak ada gunanya punya saham 30%, bahkan 50% sekalipun, kalau semuanya hanya mendapatkan warung." Pemerintah, secara nasional, memang bisa menekan tingkat kemiskinan dari 49,3% pada 1970 menjadi 18,4% tahun 1984. Khusus untuk rakyat pedesaan, orang Melayu miskin bisa ditekan dari 58,7% menjadi 24,7% pada periode sama. Tapi jumlah orang Melayu miskin itu terasa masih saja besar. Menurut beberapa pengamat, yang kini sudah menikmati DEB cenderung hanya kelompok elite bumiputra pula. "Para juragan pribumi dan Cina justru menggalang kerja sama," kata sumber TEMPO di UMNO. Kombinasi itu cenderung menjadi "Ali-Baba". Beberapa veteran polisi dan militer yang terjun di dunia usaha dan menguasai sektor ekonomi cenderung mengibarkan bendera "Ali-Baba" itu. Mungkin, ini akan mengundang pula kekecewaan Melayu baik terhadap Cina maupun terhadap Melayu kaya. Ada dugaan bahwa pemerintahan Mahathir, menghadapi ketidakpuasan di sisi ini, melangkah memberi perhatian istimewa kepada orang Melayu dengan hal-hal lain, misalnya pendidikan. Sementara itu, generasi baru kalangan Cina tumbuh, yang -- lebih dari orangtua mereka -- merasa diri warga Malaysia yang lahir dan tumbuh di sana, dan merasa punya hak sama dengan orang bumiputra. Tak mengherankan, dalam setahun terakhir, masalah yang diungkit kelompok Cina dianggap semakin memancing perasaan marah Melayu, yang di pihaknya merasa masih terpojok. "Mereka mempersoalkan pribuminya Melayu, bahasa, pendidikan, dan agama," kata Menteri Pendidikan Anwar Ibrahim. "Kali ini kami memilih bertindak tegas," kata Anwar Ibrahim, melukiskan betapa kesalnya ia menghadapi protes kelompok Cina. Orang Melayu, dengan rasa yang tampak tak pernah aman, memang punya akar ketidaksenangan menghadapi kaum Cina yang umumnya pedagang. Perkawinan campuran Melayu-Cina sangat jarang terjadi. "Bagi seorang Melayu, mengawini orang Cina bagaikan makan gulai tanpa sambal," kata seorang Melayu, mengutip perumpamaan yang sudah lama beredar dan melukiskan betapa renggangnya hubungan kedua ras itu: enak, sih, enak, tapi tak terlalu sedap. Hubungan tambah rengang karena orang Melayu selalu merasa dianggap lebih rendah dari Cina. Sementara orang Cina hidup di pesisir, daerah perdagangan dengan tata cara kehidupan yang asing bagi masyarakat Melayu, orang bumiputra biasanya tinggal di kampung-kampung. Umumnya, mereka masyarakat kelas bawah, yang bertani, jadi buruh, nelayan,pegawai negeri. Mereka lebih menonjolkan adat-istiadat, warisan, dan hak atas tanah air. Kelompok Melayu sebagai bumiputra dikukuhkan oleh Inggris, yang berkuasa di kawasan negara itu sebelum merdeka. Jepang kemudian mengipas lebih jauh pertentangan yang sudah terpendam. Di zaman pendudukan Nippon, 1942-1945, Jepang dengan terang-terangan membangkitkan kebencian Melayu terhadap Cina. Kedua kelompok memang sama-sama menderita. Tetapi, akibat perang Jepang-Cina sejak 1937, posisi sosial orang Cina ditekan oleh pemerintahan pendudukan. Kemudian Inggris merumuskan draf Kesatuan Malaya atau Malayan Union. Tapi rancangan untuk mempersatukan segenap rumpun ras itu ditentang oleh kelompok Melayu. Alasannya, konsep Kesatuan Malaya itu sangat menguntungkan orang bukan Melayu, karena hak yang bukan bumiputra itu dianggap sama dengan yang dipunyai Melayu. Inggris mengalah, dan menggantinya dengan Perjanjian Persekutuan Tanah Melayu. Isinya, semua hak istimewa orang Melayu dikembalikan, kedaulatan para sultan diakui, dan Persatuan Tanah Melayu dianggap sama dengan negara Melayu. Sikap Inggris yang lebih condong ke Melayu bukan tanpa alasan. Orang Melayu dianggap tidak suka menghina atau bersikap angkuh seperti orang Cina terhadap orang asing. Orang Barat, ketika itu, menjuluki si Melayu dengan "Mat Soleh" yang sopan, yang tak pernah memaki orang Inggris dengan ang mo (Hokkien) atau hung mo kai (Kanton) -- yang berarti "setan berambut pirang". Maka, Inggris memberikan keleluasaan dan hak istimewa kepada kaum Melayu. Karena hak istimewa itu, awal 1950-an si Melayu diprotes kaum Cina. Orang Melayu, yang diuntungkan dengan pengukuhan Melayu sebagai bahasa kebangsaan, jadi sasaran kemarahan Cina. Untuk mengurangi "iri sosial" itu, di tahun 1956 para pimpinan UMNO dan MCA merumuskan kesepakatan. MCA, yang mewakili kelompok Cina, setuju dengan hak istimewa kaum Melayu. Setelah merdeka, 1957, hak istimewa si Melayu diperkukuh. Bahasa, agama, politik, dengan kedaulatan penguasa tradisional, yaitu para sultan, di tangan orang Melayu. Ada juga prioritas bagi orang Melayu untuk masuk pegawai negeri, pejabat peradilan, pabean, polisi, dan militer. Kelihatannya, yang menjadi masalah laten adalah soal iri sosial. Ini, sekali lagi, karena hak-hak istimewa yang diberikan kepada "Mat Soleh". Bahasa, agama, dan politik memang sudah di tangan. Tapi, secara ekonomi, mayoritas Melayu tetap merasa jauh dari sasaran untuk menjadi "bumiputra" di bidang ekonomi. Artinya, mereka masih tetap saja belum bebas dari keresahan. A. Margana (Jakarta), Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur), dan Mohamad Cholid (Penang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus