Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amerika akan menyerang Iran? Isu yang santer berembus sejak akhir tahun lalu kini menguat kembali setelah Presiden Mahmud Ahmadinejad menabrak tenggat yang dipatok Dewan Keamanan PBB agar Iran menghentikan pengayaan nuklir, Rabu pekan lalu. Pada 23 Desember tahun lalu Dewan Keamanan PBB yang disponsori Amerika Serikat dan Uni Eropa menjatuhkan sanksi terbatas pada Iran dengan memberi kesempatan selama 60 hari agar Iran kembali ke jalur perundingan dengan menghentikan program nuklirnya.
Anehnya, tenggat berlalu, tapi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice dengan kata-kata manis meminta Iran kembali ke meja perundingan. ”Amerika Serikat tak berhasrat berkonfrontasi dengan Iran,” ujar Rice. Bahkan Perdana Menteri Tony Blair, pendukung kebijakan Presiden George Bush paling loyal, menjamin tak ada seorang pun di Washington yang sedang merencanakan aksi militer terhadap Iran.
Tapi justru kata-kata manis Rice dan jaminan Blair itu bertentangan dengan fakta lain yang menakutkan. Penangkapan diplomat Iran di Bagdad oleh pasukan Amerika dan tuduhan Amerika bahwa Iran memasok bom untuk Syiah militan di Irak yang telah membunuh sekitar 100 personel militer Amerika, dan tuduhan bahwa Iran telah mengobarkan perang sektarian di Irak, diyakini akan melapangkan jalan serangan Amerika ke Iran. ”Iran tak punya pilihan selain menyetujui permintaan Amerika atau menghadapi serangan militer,” ujar Patrick Clawson, ahli Iran yang menjadi Wakil Direktur Penelitian Institut Washington untuk Kebijakan Timur Dekat.
Selain itu, sumber di kalangan diplomat membisikkan kepada BBC, justru kini pejabat senior Sentral Komando militer di Florida sudah menetapkan sasaran serangan militer Amerika di Iran. Dalam daftar mereka termasuk pabrik pengayaan uranium Iran di Natanz, fasilitas nuklir di Isfahan, Arak, Bushehr, pangkalan angkatan udara, pangkalan angkatan laut, fasilitas rudal, dan pusat kontrol dan komando.
Sejumlah operasi yang ditujukan mengintimidasi Iran telah berlangsung. Pesawat taktis angkatan laut Amerika melakukan penerbangan simulasi membawa senjata nuklir di atas Laut Arabia sejak Agustus tahun lalu. Sesuatu yang tentunya di dalam jangkauan radar pantai Iran, ujar seorang bekas pejabat Pentagon.
Seorang analis militer, Kolonel Sam Gardiner, dalam makalah yang disampaikan dalam konferensi tentang keamanan Timur Tengah di Berlin, Maret 2006, mengkalkulasi kebutuhan Amerika agar berhasil menghancurkan program nuklir Iran. Gardiner yang juga dosen pada Akademi Perang Nasional ini memperkirakan sekitar 400 target di Iran harus diserang.
Gardiner memperkirakan, Amerika akan menyerang rudal balistik jarak menengah yang baru-baru ini dipindahkan lebih dekat ke perbatasan dengan Irak. Dalam hitungan Gardiner, ada 14 pangkalan angkatan udara tempat parkir pesawat tempur Iran yang harus diserang. ”Amerika ingin menghantam aset yang dapat digunakan mengancam pengapalan minyak dari Teluk,” ujar Gardiner. Itu artinya Amerika akan melibas rudal laut dan kapal selam diesel Iran.
Menurut Gardiner, sejumlah fasilitas mungkin terlalu sulit dijadikan target, meski dengan penetrasi senjata. Misalnya situs nuklir utama Iran di Natanz, yang terletak 124 kilometer di selatan Ibu Kota Teheran. Masalahnya, Natanz, yang sudah tidak lagi berada di bawah pelototan kamera pengawas IAEA, diduga memiliki ruang di bawah tanah untuk menyimpan 50 ribu mesin pemutar dan laboratorium dan ruang kerja. Semuanya terkubur 25 meter di bawah permukaan tanah. Jumlah mesin pemutar itu dapat memperkaya uranium untuk sekitar 20 kepala nuklir per tahun.
Tapi senjata konvensional Amerika belum tentu mampu menghancurkan fasilitas nuklir di kedalaman 25 meter, dalam perut bumi dan di antara bebatuan, khususnya jika bangunan bunker itu dari beton. Maka, kata Gardiner, Amerika harus menggunakan unit Operasi Khusus. Salah satu pilihan rencana awal militer sebagaimana yang sudah dipaparkan Gedung Putih pada akhir tahun lalu, Amerika akan menggunakan pesawat pengebom jarak jauh B2 yang akan memuntahkan senjata nuklir B61-11 untuk menghancurkan situs nuklir di bawah tanah semacam Natanz.
Salah satu pertengkaran soal ambisi nuklir Iran, ada debat yang intensif tentang seberapa cepat Iran dapat membuat bom nuklir, dan apa yang harus dilakukan untuk itu. Menurut Robert Galluci, bekas ahli pemerintah tentang nonproliferasi yang sekarang menjadi dekan Sekolah Dinas Luar Negeri di Georgetown, delapan hingga sepuluh tahun ke depan barulah Iran sanggup memproduksi senjata nuklir. ”Jika Iran punya program nuklir terbuka dan dapat dibuktikan, dan kita tak dapat menghentikannya lewat negosiasi, diplomasi, atau ancaman sanksi, saya lebih suka melenyapkannya,” ujar Galluci.
Jika Amerika berhasil menghancurkan Natanz, ambisi nuklir Iran akan berkurang. Seorang bekas pejabat tinggi Departemen Pertahanan Amerika mengatakan, pengeboman terbatas sekalipun bisa meloloskan pemerintah Amerika masuk ke Iran dan membuat kerusakan yang cukup untuk memperlambat infrastruktur nuklir. ”Iran tak punya kawan, dan kami dapat mengatakan pada mereka jika perlu kami akan tetap menggedor infrastruktur mereka. Amerika harus bertindak dengan menunjukkan kita siap menyerang Iran,” kata pejabat itu.
Tapi seorang bekas pejabat intelijen Amerika memperingatkan dampak serangan nuklir. ”Ini bukan tes nuklir di daratan. Kita bicara tentang awan cendawan, radiasi, korban massal, dan kontaminasi bertahun-tahun,” katanya. Apalagi, katanya, jika Anda mengebom Iran tanpa mampu menunjukkan ada program rahasia, Anda dalam bahaya. Ah, menjadi pecundang di Irak rupanya masih belum cukup bagi Presiden Bush.
Raihul Fadjri (BBC, Reuters, The New Yorker)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo