Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jawad Yussef al-Muslima masih mengingat dengan jelas unjuk rasa di sebuah sekolah dasar di Daraa, Suriah barat daya, pada 15 Maret 2011. Sebulan setelah Presiden Mesir Husni Mubarak mundur, beberapa siswa mencoreti pagar tembok sekolahnya dengan empat kata bahasa Arab, "Ijak al-dour, ya doktour" ("Giliranmu telah tiba, Dokter"). Pria mantan guru sekolah dasar di lingkungan Daraa al-Balad ini mengatakan grafiti berwarna merah darah itu ditujukan kepada Presiden Suriah Bashar al-Assad-dokter lulusan Damascus University dan Western Eye Hospital, London, Inggris.
Beberapa hari kemudian, polisi menahan lebih dari selusin bocah yang ambil bagian dalam unjuk rasa. Ribuan warga marah dan turun ke jalan memprotes penangkapan itu. Tuntutan mereka tak macam-macam, cuma pembebasan para tahanan dan pembatalan undang-undang darurat. "Grafiti itu hasil dari 40 tahun penindasan serta akumulasi dari tekanan dan penderitaan rakyat Suriah," kata Al-Muslima, 33 tahun, kepada situs berita Syria Direct pada Ahad pekan lalu.
Unjuk rasa pun menyebar ke seantero negeri. Menurut Al-Muslima, awalnya mereka menuntut Gubernur Daraa mundur, lalu berkembang menjadi gerakan perlawanan karena rezim Al-Assad mengerahkan pasukan keamanan untuk menghalau pengunjuk rasa. Belakangan, gerakan perlawanan berubah menjadi pemberontakan bersenjata. "Lebih baik mati ketimbang dipermalukan," ujar Al-Muslima.
Sabtu dua pekan lalu, konflik di Suriah sudah berlangsung selama tiga tahun. Tapi, sejauh ini, tidak ada tanda-tanda konflik akan segera berakhir. Perang antara pasukan pemerintah dan kelompok pemberontak bersenjata masih berkecamuk di sejumlah wilayah. Lebih dari 140 ribu orang tewas dalam tiga tahun terakhir. Konflik telah memaksa 9 juta penduduk meninggalkan rumahnya. Sebanyak 2,5 juta di antaranya tinggal di negara-negara tetangga, seperti Turki, Libanon, dan Yordania. Perundingan ronde pertama dan kedua Jenewa II, yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada Januari dan Februari lalu, juga tak menghasilkan solusi untuk mengakhiri pertikaian.
Pasukan pemerintah masih menguasai wilayah barat negara itu, dari Ibu Kota Damaskus hingga kota pelabuhan Latakia, kota kelahiran Al-Assad. Secara perlahan, tentara pemerintah juga merebut sejumlah kota dari tangan pemberontak. Beberapa waktu lalu, pasukan pemerintah menguasai Kota Yabroud dan sejumlah wilayah barat yang berbatasan dengan Libanon.
Sejumlah pengamat menilai posisi Al-Assad sedang menguat, sebagian disebabkan oleh perpecahan di kelompok oposisi. Aktivis mahasiswa asal Homs, Abu Emad, mengatakan cita-cita perlawanan tiga tahun silam sepertinya bakal sulit terwujud. "Tidak ada harapan. Tidak di medan perang, tidak pula secara politis. Butuh keajaiban agar pemberontak menang," ujarnya seperti dikutip The Washington Post.
Perpecahan di kelompok pemberontak membuat Al-Assad lebih percaya diri. Untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir, ia mengunjungi para pengungsi di Adra, wilayah pinggiran di timur laut Damaskus, pada Rabu dua pekan lalu. Ia berjanji memberikan bantuan kepada pengungsi dan melanjutkan perjuangan. Di sisi lain, kelompok pemberontak tak membuat kemajuan berarti. Mereka tak berhasil merebut wilayah yang dikuasai pemerintah sejak pertengahan tahun lalu.
Jeffry White, analis pertahanan di Washington Institute for Near East Policy, mengatakan tidak ada indikasi masuknya persenjataan baru ke Suriah, yang dapat digunakan pemberontak. Al-Assad berpeluang mempertahankan cengkeramannya dan meraih kemenangan. "Bergantung pada banyak faktor, rezim terus mendapat bantuan dari Hizbullah dan Iran, dan pemberontak tidak memperoleh senjata baru serta tak mengatur kelompoknya dengan lebih baik," ujarnya.
Komando Tertinggi Militer, yang didukung Amerika Serikat dan negara-negara Teluk, pecah menjadi dua kubu setelah komandannya, Jenderal Salim Idriss, dipecat. Perpecahan itu melemahkan Komando. Menurut Syrian Observatory for Human Rights-organisasi yang berbasis di London-sejak Januari lalu 3.000 gerilyawan dari kedua kubu terbunuh.
Meski posisi pemerintah dinilai menguat, kelompok pemberontak bersenjata masih menguasai sebagian besar wilayah negara berpenduduk sekitar 22,4 juta jiwa itu. Seperti dilansir Foreign Policy pada Rabu pekan lalu, sebagian wilayah utara yang berbatasan dengan Turki telah dikuasai Islamic State of Iraq and the Levant (ISIS). Bendera hitam kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaidah itu tampak berkibar di mana-mana. "Tuntutan akan demokrasi adalah musuh Islam," demikian bunyi salah satu spanduk yang terbentang di sebuah bangunan di wilayah itu.
ISIS, kelompok jihad yang dibentuk di Irak pada 2003, merebut bagian utara Provinsi Idlib dan Aleppo pada akhir 2013, ketika kelompok oposisi yang lebih moderat sedang sibuk memerangi rezim. Kelompok yang beranggotakan mayoritas gerilyawan asing ini segera menebarkan jejaringnya ke arah selatan. Dengan pasukan mencapai 7.000 personel, kelompok ini hampir menyamai kelompok-kelompok yang ada sebelumnya, seperti Jabhat al-Nusra, Front Revolusioner Suriah, dan Tentara Mujahidin.
ISIS telah hadir di Suriah sejak April 2013. Namun penduduk dan kelompok bersenjata lainnya-termasuk Jabhat al-Nusra (Front Al-Nusra), yang juga berafiliasi dengan Al-Qaidah-tak menyukai kehadirannya karena kelompok ini memaksakan syariat Islam. Jabhat al-Nusra adalah kelompok jihad gabungan pemberontak Suriah dan gerilyawan asing. Anggota pasukannya diperkirakan mencapai 7.000. Bersama Tentara Mujahidin dan Front Revolusioner Suriah, yang merupakan persekutuan unit non-ideologis yang dibentuk pada Desember 2013, Al-Nusra memerangi ISIS. Front ini ditopang Brigade Para Martir Suriah yang dipimpin Jamal Maarouf.
Meski jumlah anggota pasukannya masih kalah dari Jabhat al-Islamiyya atau Front Islam-kelompok pemberontak terbesar di Suriah dengan 45-50 ribu gerilyawan-ISIS merupakan salah satu kelompok yang ditakuti. Kelompok ini berusaha mencegah kelompok lain mendapatkan pasokan persenjataan dan amunisi dari Turki.
Tapi upaya ISIS tak berjalan mulus karena aliansi pemberontak di utara bersatu melawan mereka. Pada Natal tahun lalu, 17 komandan Tentara Pembebasan Suriah-salah satu kelompok bersenjata-bertemu di pegunungan Al-Zawiyah di wilayah utara yang dikuasai pemberontak moderat. Pertemuan itu membicarakan ekspansi ISIS dan dampaknya bagi perjuangan melawan rezim.
Para komandan sepakat mengalahkan ISIS karena mereka khawatir kelompok itu berupaya menguasai Al-Atareb, kota kecil di perbatasan Turki dan Aleppo. Kota ini sangat penting bagi kelompok moderat karena menjadi penghubung provinsi-provinsi di utara. Bagi Tentara Pembebasan Suriah, kehilangan kota itu berarti kekalahan ganda, karena pasokan dari wilayah perbatasan akan terputus serta pasukan mereka terperangkap di antara pasukan ISIS di utara dan pasukan pemerintah di selatan.
Pertemuan itu berakhir dengan pembentukan Front Revolusioner Suriah (SRF), aliansi pemberontak moderat yang terdiri atas 17 faksi. Jamal Maarouf terpilih sebagai pemimpinnya. Maarouf berniat membentuk tentara nasional untuk mengamankan negara setelah rezim Al-Assad tumbang. SRF kini sedang melatih 3.000-4.000 orang, yang akan disebar untuk memerangi ISIS.
"ISIS merecoki pertempuran kami. Sementara pasukan kami di garis depan memerangi pasukan pemerintah, mereka datang dan menguasai wilayah kami," kata Maarouf seperti dikutip Foreign Policy.
Meski demikian, ISIS masih bercokol di Al-Atareb. Mereka mencari simpati penduduk dengan berbagai kegiatan. Secara berkala mereka mengorganisasi penduduk untuk menghadiri rapat umum dan menyelenggarakan lomba menghafal Al-Quran untuk anak-anak. Pemenangnya mendapat hadiah sekitar Rp 572 ribu.
Menurut salah seorang pemimpin Divisi Kesembilan yang berafiliasi dengan SRF, Letnan Hazem, ISIS mendapat dukungan penduduk dengan menggunakan Islam sebagai pemikat. "Kami harus bekerja cepat menghentikan mereka, atau mereka akan membuat penduduk melawan kami."
Kekuatan lain yang menguasai sebagian wilayah timur laut adalah suku Kurdi, yang berjumlah 15 persen dari populasi Suriah. Mereka telah mendeklarasikan wilayah otonomi. Seperti dikutip The Telegraph, mereka sedang menyiapkan pemerintahan sendiri. Selama ini, pemerintahan di wilayah Kurdi di Suriah dikendalikan Komite Tertinggi Kurdi. Dengan 45-50 ribu personel, pasukan Kurdi merupakan salah satu kelompok besar yang berseberangan dengan rezim.
Sapto Yunus
Pemain Kunci Perang Sipil Suriah
Saat perang sipil dimulai pada 2011, hanya ada dua kubu yang berseteru: pemerintah dan oposisi. Setelah konflik berjalan tiga tahun, pemainnya bertambah banyak. Selain ada pasukan pemerintah dan oposisi, kekuatan yang harus diperhitungkan adalah front Islamis-yang terus menguat-dan Kurdi.
Pasukan Pemerintah
Pemerintah Bashar al-Assad mendapat dukungan kuat dari sekutu Syiah-nya di Libanon dan Iran, juga kelompok Hizbullah.
Pasukan Oposisi
Komando Tertinggi Militer.
Front Revolusioner Suriah.
Tentara Mujahidin.
Front Militan Islam
Front Islam.
Front Al-Nusra.
Islamic State of Iraq and the Levant (ISIS).
Pasukan Kurdi
Abdul Manan (diolah dari Graphic News, Wikipedia, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo