Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang warga Tatar ditemukan tewas oleh polisi dengan tanda-tanda kekerasan pada tubuhnya di Belogorsk, 45 kilometer ke arah timur laut dari Simferopol, ibu kota Crimea, Senin pekan lalu. Mayat yang kemudian diketahui bernama Reshat Ametov itu diyakini tewas akibat disiksa. "Tanda di tubuhnya menunjukkan Ametov mungkin disiksa sebelum tewas, dengan pita transparan melilit di kepala dan tangannya," kata istri Ametov.
Ametov, 39 tahun, dikenal sebagai aktivis hak asasi manusia. Warga muslim Tatar Crimea ini ikut memprotes pasukan Rusia memasuki wilayah semenanjung di Laut Hitam itu. Dua minggu sebelum jenazahnya ditemukan, ia ikut menghadiri aksi protes di Alun-alun Lenin, Simferopol. Di sanalah rekan-rekannya melihat ia diseret paksa oleh tiga lelaki berjaket militer.
Organisasi hak asasi manusia menyebut tewasnya Ametov sebagai penghilangan paksa dan pembunuhan terencana. "Hilang dan terbunuhnya Reshat Ametov menggambarkan iklim tanpa hukum yang telah meresap di Crimea selama seminggu terakhir. Otoritas Crimea harus menyelidiki kasus ini dan menghukum mereka yang bertanggung jawab," kata Rachel Denber, Direktur Human Rights Watch perwakilan Eropa dan Asia Tengah, kepada The Huffington Post.
Etnis Tatar, yang berbicara dalam bahasa Turki, adalah penduduk asli Crimea. Mereka pernah mengalami masa-masa buruk ketika Uni Soviet diperintah Joseph Stalin. Pada 1944, etnis Tatar dideportasi ke Asia Tengah karena dituding sebagai simpatisan Nazi. Setelah Uni Soviet runtuh, mereka meninggalkan sejumlah negara di Asia Tengah, kembali ke Crimea. Tapi kali ini mereka hanya menjadi minoritas di Crimea: mereka hidup berdampingan dengan warga yang menggunakan bahasa Rusia dan kerap terlibat bentrok karena masalah tanah.
Situasi di Crimea, yang sampai Sabtu dua pekan lalu menjadi bagian dari wilayah Ukraina, memanas setelah Rusia memprotes pelengseran Presiden Viktor Yanukovych pada akhir Februari lalu oleh parlemen Ukraina. Untuk menggantikan Yanukovych, parlemen Ukraina mengangkat presiden dan membentuk kabinet pemerintahan sementara.
Rusia, melalui Perdana Menteri Dmitry Medvedev, menepis legitimasi pemerintah baru Ukraina. Medvedev mengatakan mereka yang berkuasa di Ukraina saat ini telah melakukan "pemberontakan bersenjata".
Tak lama kemudian ribuan personel militer tanpa identitas membanjiri Crimea untuk menduduki gedung-gedung pemerintahan dan basis militer. Presiden Rusia Vladimir Putin dituding menggerakkan 6.000 anggota pasukan di pangkalan Armada Laut Hitam di Sevastopol untuk menguasai dua bandara dan pelabuhan.
Crimea dihuni sekitar 2,3 juta penduduk, sebagian besar etnis Rusia dan berbicara dalam bahasa Rusia. Berdasarkan sensus penduduk, etnis Tatar hanya 12,1 persen dari total populasi Crimea, sedangkan 58 persennya adalah etnis Rusia dan etnis Ukraina berjumlah 24 persen.
Intervensi Rusia di Crimea telah menjadikan konflik Ukraina sebagai kekhawatiran internasional. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa mengecam Rusia. Uni Eropa bahkan mengancam akan memberikan sanksi ekonomi dan politik kepada Rusia jika ikut campur mengambil alih Crimea.
Secara administratif, Crimea merupakan bagian dari Ukraina. Sebelumnya, Rusia berjanji menjunjung tinggi integritas wilayah Ukraina dalam sebuah memorandum yang ditandatangani juga oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis pada 1994. Dalam memorandum disebutkan Crimea merupakan republik otonom di Ukrainadan memiliki hak memilih parlemen sendiri. Tapi jabatan Presiden Crimea sudah dihapus pada 1995. Sejak saat itu, sebagai gantinya, pemerintah Ukraina menunjuk perdana menteri khusus dari Crimea.
Atas situasi yang terus memanas di Ukraina akibat pertentangan antara yang pro-Rusia dan pro-Uni Eropa, pemerintah lokal Crimea mengusulkan digelar referendum. Rusia tentu saja mendukung. Referendum akhirnya digelar pada Minggu dua pekan lalu.
Etnis muslim Tatar sangat khawatir terhadap intervensi Rusia di Crimea dan mengecam keras pendudukan fasilitas pemerintahan di sana. Alasannya, selama berada di bawah kekuasaan Rusia, ekonomi Tatar Crimea terpinggirkan, banyak muncul kota kumuh, hingga ketegangan antarwarga yang tak pernah berhenti. Karena alasan sejarah pula muslim Tatar Crimea sangat membenci Rusia.
Sebelum referendum digelar, etnis Tatar Crimea sudah menyeru akan memboikot pelaksanaannya. "Saya sudah memberi tahu semua warga Tatar Crimea agar tidak memilih," kata warga senior Tatar, Mustafa Dzhemilev.
Seorang tokoh penting Tatar, Refat Chubarov, menyatakan referendum di Crimea ilegal. "Nasib negeri ini tidak dapat diputuskan dengan referendum di bawah moncong senjata," katanya. Ia bahkan meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirim pasukan penjaga perdamaian ke Semenanjung Crimea untuk mencegah bentrokan.
Meski etnis Tatar sudah menyatakan penolakan dan boikot terhadap referendum, mayoritas warga Crimea mendukung referendum. Hasil pemungutan suara menunjukkan 96,7 persen dari 1,5 juta pemilih menyatakan mendukung Crimea bergabung dengan Federasi Rusia, setelah 60 tahun menjadi bagian dari Ukraina. Lembaga-lembaga internasional yang memantau referendum di Crimea melaporkan tak ada kekerasan atau tekanan selama proses pemilihan hingga penghitungan suara.
"Warga Republik (Crimea) telah menyatakan pilihannya secara demokratis sesuai dengan hukum internasional dan Pakta PBB yang bisa diterima dan mendapat tanggapan dari Rusia," kata Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov.
Mustafa Dzhemilev kembali menegaskan kepada Presiden Vladimir Putin bahwa keluarnya Crimea dari Ukraina untuk bergabung dengan Rusia akan melanggar perjanjian internasional. Menurut dia, Rusia, Inggris, dan Amerika pernah berkomitmen mempertahankan kesatuan Ukraina. "Kami telah memberi tahu pemimpin Rusia bahwa suku Tatar sangat menentang aneksasi wilayah Ukraina oleh negara lain," katanya.
Seperti dilansir The Guardian, muslim Tatar Crimea telah terorganisasi dengan baik sejak 1960-an. Mereka memiliki perwakilan secara proporsional dalam kabinet. Namun, dengan adanya referendum, muslim Crimea takut organisasi mereka akan ditekan dan dikendalikan oleh Rusia.
Dengan semakin kuatnya pengaruh Rusia di Crimea, kelompok masyarakat muslim Tatar mulai khawatir terhadap keselamatan mereka. Dzhemilev di Simferopol mengatakan, saat Moskow sekali lagi berusaha mengontrol Semenanjung Crimea, masyarakat Tatar menjadi kelompok yang paling rentan. "Karena kami mendukung pemerintahan interim Ukraina dan integritas teritorial Ukraina," katanya kepada Los Angeles Times.
Perdana menteri pemerintah Crimea, Sergei Aksyonov, menjanjikan adanya pemerataan hak bagi semua etnis. Ia juga berjanji tak ada diskriminasi etnis ataupun agama setelah Crimea menjadi bagian dari Federasi Rusia. "Setiap orang akan memiliki hak yang sama," katanya dalam sebuah wawancara dengan kantor berita Rusia, Ria Novosti.
Selain itu, jika warga Tatar bisa menyetujui hasil referendum, mereka akan diberi posisi untuk terlibat dalam pemerintahan yang baru.
Namun muslim Tatar ragu terhadap semua janji itu dan kukuh menolak Rusia di tanah Crimea. "Rusia hidup di tanah air sejarah saya. Bagaimana mungkin mereka ingin memutuskan nasib saya? Saya tidak akan membiarkan itu," kata Zair Smedlyayev, 51 tahun, yang seperempat abad lalu meninggalkan Tajikistan untuk pulang.
Rosalina (Reuters, Al-Jazeera, BBC, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo