DI Yordania, perempuan tak boleh ikut pemilu tak boleh memilih dan dipilih perempuan mengalami kesulitan dalam perceraian dan situasi amat represif. Itulah yang disadari Fadia Faqir ketika menjadi wartawan Jerusalem Star, setelah lulus dari Jurusan Sastra Inggris Universitas Yordania. Maka, ia menulis novel berjudul Nisanit dan puluhan esai yang memaparkan persoalan perempuan di negara-negara Arab, dalam bahasa Inggris. Perempuan Yordania yang kini tinggal di London itu pekan lalu berada di Jakarta, memberikan berbagai ceramah, atas undangan British Council, bekerja sama dengan Yayasan Lontar, yayasan yang menerjemahkan sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Faqir, 37 tahun kini, memang belum setenar penulis Mesir Nawal El-Sadawi atau sastrawan Libanon Hanan Al-Shaykh, tapi pandangannya tentang wanita Arab dan masalah sosial menarik. Berikut wawancara Leila S. Chudori dari TEMPO dengan perempuan yang fasih mengutip ayat-ayat Quran itu. Dalam salah satu esai, Anda menulis sebuah negara fiktif yang perempuannya tertindas. Bagaimana sebenarnya kedudukan perempuan di negara-negara Arab? Secara legal, di Yordania, perempuan diizinkan ikut memilih dan dipilih dalam pemilu sejak tahun 1984. Konstitusi Yordania memang lebih simpatik terhadap perempuan karena berdasarkan berbagai sumber: Jerman, Islam, Inggris. Karena begitu banyak sumber, terjadi kesenjangan antara sistem legal dan pelaksanaannya. Kesenjangan inilah yang biasa disalahgunakan oleh para lelaki yang memegang otoritas. Secara sosial, terjadi jaringan yang kompleks yang menindas perempuan. Jaringan ini terdiri dari institusi agama, sosial, tradisi, norma yang berkolaborasi dan menghasilkan represi bagi kaum perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Tentang kedudukan wanita dalam Islam? Islam adalah sebuah agama yang luwes. Seharusnya tak ada problem jika kita bisa bersikap lebih elastis. Islam agama yang benar, yang kaku itu selalu manusianya, institusinya. Orang selalu meributkan soal ayat dalam surat An-nisa yang mengatakan bahwa suami diperkenankan memukul jika istri menolak berhubungan. Interpretasi yang menggunakan pendekatan sejarah mengatakan, sebelum Islam turun, kekejaman terhadap wanita begitu hebatnya, sehingga perlakuan itu harus dihilangkan sedikit demi sedikit. Interpretasi lain mengatakan bahwa kata muhunna dalam ayat itu bukan berarti ''pukullah mereka'', tapi ''bercintalah dengan mereka''. Soal pendidikan buat wanita? Kini tak ada diskriminasi dalam pendidikan. Bahkan kini mayoritas jumlah wanita di universitas lebih tinggi daripada lelaki. Tapi meraih pendidikan tinggi adalah satu hal, meraih kebebasan adalah hal lain. Meraih kebebasan bukan sekadar mencapai jenjang yang tinggi dalam pendidikan. Mendapatkan gelar adalah sesuatu yang terhormat, tapi mendapatkan hak atas kehidupan kita sendiri adalah hal lain. Di Barat, kebebasan perempuan sudah diinstitusikan dengan baik. Dari segi legal, hak perempuan sama dengan lelaki. Tapi dalam kehidupan sosial dan kebudayaan, sebagian perempuan Barat adalah budak media karena media menciptakan citra. Mereka merasa harus memenuhi kriteria perempuan masa kini sesuai dengan citra dari itu, dan jika tidak, Anda merasa tidak terpandang. Menurut saya, ini adalah penindasan dalam bentuk lain. Apakah karena penindasan terhadap perempuan, Anda meninggalkan Yordania? Ya. Pada awalnya itulah alasan saya meninggalkan Yordania. Apakah Inggris memperlakukan Anda dengan lebih baik? Pada akhirnya saya melihat bahwa kehidupan di Barat tidak membebaskan imigran seperti saya untuk merasa aman atau tenteram. Misalnya, ketika Krisis Teluk dan Perang Teluk, sebagai seorang wanita Arab, saya tidak diperlakukan dengan baik. Bahkan beberapa kawan saya dipenjarakan di Inggris meski sebelumnya di Irak mereka pun dipenjarakan. Lalu kami diserang, diperlakukan seperti orang-orang asing yang tolol dan idiot, dan mereka berbicara sambil merendahkan. Dan ini terjadi bahkan di antara kaum akademisi dan intelektual. Mengapa di Timur Tengah dan Magribi tumbuh Islam militan? Ada beberapa alasan. Antara lain, mereka merasa kebudayaannya diserang Barat. Di Iran, Syah ingin memodernisasi dan mengimpor seluruh teknologi Barat. Teknologi yang diimpor itu sekaligus merupakan invasi kebudayaan. Hasilnya adalah kebingungan dan rasa tidak aman karena serangan dari sesuatu yang asing. Lalu, selama ini mereka menderita secara ekonomi. Sementara Islam adalah agama yang menentang korupsi, penjajahan, perbedaan kelas, eksploitasi ini cocok dengan impiannya. Kemudian, kebanyakan masyarakat ini, di mana terdapat kelompok Islam militan, biasanya adalah masyarakat yang tertindas secara politis dan tak boleh bersuara. Apakah Anda melihat suatu hari Islam militan akan tumbuh di Yordania? Tidak. Yordania sedang dalam proses demokratisasi. Jadi, mereka tak perlu menjadi militan, karena suara Islam didengarkan. Apa pendapat Anda tentang kasus Salman Rushdie? Saya sudah membaca Ayat-Ayat Setan, dan saya anggap itu novel yang menarik. Saya menentang pembakaran buku itu karena itu membuat citra buruk bagi kaum muslim dan Islam. Seolah-olah kami kaum yang antibuku. Saya lebih suka kita membalasnya dengan cara menulis buku yang menentang buku tersebut. Tapi, kita di negara berkembang memang lebih senang jalan pintas. Bukannya dengan riset, membaca, dan membuat kontra-argumentasi untuk melawan buku Rushdie, tapi malah membakar buku itu. Menurut saya, kebebasan berekspresi itu sakral dan penting. Hanya 50 halaman dalam buku itu yang menyentuh Islam, selebihnya, terdiri sekitar 400 halaman, lebih bercerita tentang imigran di Inggris. Buku itu harus dilihat secara keseluruhan. Bapak saya seorang muslim yang taat. Dia juga sakit hati karena buku tersebut. Namun, dia tidak mempedulikan buku itu. Islam tidak akan terluka hanya karena satu buku itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini