Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Susan Foster bukan tukang ramal, bukan pula orang yang diberkati kemampuan "melihat masa depan". Dia hanya ibu rumah tangga biasa dengan dua anak yang tengah bertumbuh. Berdiam di Charleston, Carolina Utara, Fosterdia pendukung George W. Bushmengaku telah merasa dari jauh-jauh hari bahwa Bush akan menang pemilu dan kembali lagi ke Gedung Putih. Bersama jutaan pendukung Bush dari seantero Amerika, Foster, 42 tahun, mengikuti berita penghitungan final suara, selepas pemilu di Amerika Serikat (AS) pada 2 November. Seperti yang telah kita ketahui, Bush menang, dan kembali lagi ke Gedung Putih hingga 2009.
Kepada Tempo Foster membagikan perasaannya yang tumpah-ruah karena gembira: "Tuhan Yesus menempatkan Bush di tempat yang utama untuk memimpin kami." Para penentang Bush yang patah hati oleh kekalahan jago mereka dari Partai Demokrat, John F. Kerry, boleh jadi menilai ucapan Foster terlalu berlebihan. Tapi tidak bagi rata-rata penganut "Evangelis Putih" yang menjadi penentu kemenangan Bush. Jumlah mereka sekitar 23 persen di seluruh negeri. Dan lebih dari tiga perempatnya mendukung Bush pada pemilu 2004.
Di Ohio, kemenangan Bush juga membikin Cary Leslie, 29 tahun, tak hentinya bersujud. Bersama istrinya Tara Leslie, dia begadang mengikuti penghitungan suara di televisi. "Terima kasih, Tuhan," ujar Leslie berkali-kali setelah Bush terpilih kembali. Leslie dan jutaan Evangelis Putih adalah kelompok yang menentukan kemenangan Bush untuk kedua kalinya. Mereka mengklaim diri sebagai pengusung "nilai-nilai moral" dan menyetor 77 persen suara untuk Bush di Ohio.
Sukses Bush, harus diakui, menjadi kemenangan kaum Evangelis yang diterima dengan kekecewaan dari berbagai belahan dunia. Media-media utama di Inggris bahkan menyebut mereka sebagai "orang-orang bodoh". Tapi siapa peduli? Simaklah acara makan siang untuk mencari dana bagi tim sepak bola Kota Williams di Arizona. Begitu kubu Bush unggul, acara itu mendadak berubah menjadi "pesta kemenangan". Ken Edes, wali kota setempat, langsung berpidato. "Nilai-nilai keluarga dan moral selalu penting di Williams," ujarnya seperti yang dikutip oleh Arizona Daily.
Menurut Ken Edes, warga setempat menggelar misa dan berbagai upacara doa sehari sebelum pencoblosan agar Bush kembali menang. Roberta Combs, Presiden Koalisi Nasrani Amerika, juga menyambut kemenangan Bush dengan ucapan yang berapi-api. Harian bergengsi Washington Post memuat ucapannya ini: "Kemenangan ini pertanda Amerika seharusnya kembali ke dasar iman." Urusan iman yang melejitkan perolehan suara Bush tak bisa dipisahkan dari peran Karl Rove (lihat Tempo, 15 November 2004, Sang Arsitek dari Colorado).
Si jenius kesayangan Bush ini berhasil mendongkrak suara melalui "paket iman". Rove adalah otak di belakang upaya agresif Partai Republik untuk "menyegarkan" kembali basis pendukung mereka yang notabene konservatif. Dia merangkul kelompok Evangelis yang terkonsentrasi di "Jalur Injil" (Selatan). Rove juga berhasil mendekati kelompok Katolik konservatif yang tersebar di seantero negeri.
Alhasil, kendati Kerry unggul dalam mendulang suara dari umat Katolik secara nasional, Bush memperoleh dukungan mereka di tempat-tempat yang menentukan secara elektoral. Tepatnya, di negara bagian yang dikategorikan masih ragu seperti Ohio, Iowa, dan Wisconsin. Selama masa kampanye, merekaEvangelis dan Katolik konservatifdipanasi oleh perdebatan mengenai perkawinan sejenis, aborsi, dan riset stem cell. Ketiganya, menurut mereka, menyalahi ajaran agama dan tak bisa ditawar-tawar. Maka, John Kerry, silakan "ke laut saja".
Tiga hal yang diusung Kerry dalam kampanyenya melawan Bushterorisme, Perang Irak, atau penganggurandianggap "pepesan basi" di kalangan konservatif. "Berperang adalah hal patriotis tanpa harus mempertanyakan tujuan perang itu sendiri," kata Dennis Wall kepada Arizona Daily. Warga Williams ini gemas karena Kerry selalu menggunakan soal perang untuk menjatuhkan Bush. Singkat kata, nilai-nilai moral adalah alasan utama mereka menyokong kembalinya Bush ke Gedung Putih.
Orang-orang macam Dennis Wall inilah yang digarap secara maksimal oleh Karl Rove. Dia tahu bahwa pada pemilu 2000, ada empat juta kaum Evangelis yang ogah mencoblos, menjadi calon pemilih tak bertuan. Tapi, "Isu aborsi dan perkawinan gay jelas akan laris manis dibeli mereka, karena itu yang memang kemudian dijual oleh Bush," tulis opini Rachel Clarke, wartawan senior BBC.
Hingga hari pemilihan lalu, Rove berhasil mengumpulkan 1,2 juta sukarelawan untuk menggarap misinya itu. Merekalah yang merangkul kelompok Evangelis dan membujuk ke bilik suara untuk mencoblos gambar Bush. Langkah serupa diterapkan Karl Rove pada pemeluk Katolik konservatif.
Bahkan gereja yang dilarang oleh undang-undang untuk menyokong kandidat tertentu tak bisa dibendung. Pendeta Marshall Blalock dari Gereja First Baptist di Charleston berkata kepada Tempo, "Bukan afiliasi kepada partai yang menentukan suara umat Kristiani, tapi isu-isu terpenting di mata Tuhan."
Urusan pemilu memang menyeret "perpecahan" pada umat Kristiani dari berbagai aliran di Amerika. Di Charleston, Carolina Selatan, misalnya, Don Obrien, yang mendukung John Kerry, merasa kesal. Dia tersinggung oleh ucapan Susan Foster yang menyangsikan iman Kristen 55 juta pendukung Kerry. "Itulah sikap orang-orang fanatik. Merasa berhak mendefinisikan iman hanya dengan cara mereka," Obrien meluapkan rasa kesalnya kepada Susan Foster.
Apa pun pertentangannya, fakta pada 2 November menunjukkan gereja ternyata menjadi perekat kuat untuk memenangkan Bush, terutama di kawasan Selatan. Maka kemenangan Bush, lagi-lagi, menjadi kemenangan kaum Evangelis dan Kristen konservatif Amerika. Bush bagi mereka adalah tokoh yang ditakdirkan untuk memikul "mandat dari langit". Setidaknya itu yang diyakini Cary Leslie dari Ohio dan Ken Edes dari Arizona. Dan, suka tidak suka, Susan Foster, si ibu rumah tangga dari Charleston itu, bahkan menyebut Bush sebagai "a Godly man".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo