PERJUANGAN separatis Moro MNLF (Moro National Liberation Front) di Filipina Selatan tampaknya memasuki tahap baru. Tidak puas dengan janji otonomi yang tercantum dalam UUD 1986 -- yang secara mutlak diterima rakyat lewat referendum Februari lalu - MNLF kembali mengencangkan otot-otot militcrnya. Pada saat yang sama, Libya. sekutu lama MNLF, ikut "berjuang", bahkan kalau tidak salah sampai ke pusat Kota Manila. Pekan lalu sekitar 150 demonstran Muslim Filipina menyerang-kantor atase militer Amerika Serikat di pinggiran Manila. Mereka yang menamakan diri Brigade Jihad memprotes intimidasi yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Lybia, khususnya serangan udara tahun 1986. Ini demonstrasi kedua dari kelompok yang sama. Seminggu sebelumnya sekitar 1.000 demonstran membuat huru-hara di tempat yang sama - kala itu belum menyerang secara agresif. Tak lama setelah demonstran berlalu sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi di muka gedung atase militer AS itu. Sejumlah granat dilemparkan dari mobil, tapi hanya satu yang meledak di pool kendaraan pasukan AS Jusmag - satuan khusus seberang lautan yang ditempatkan di Filipina. Beberapa jam kemudian sebuah telepon masuk ke markas Jusmag. Suara dari seberang terdengar, "Kami, Brigade Jihad. Kami menggranat markas Jusmag pada pukul 7.00 - 7.30." Suara menggumam dalam bahasa Inggris yang tidak beraksen Tagalog. Karena itu, para penyelidik Jusmag yakin, agen-agen asing - Libya barangkali - telah turun mengacau di Manila. Pekan lalu pemimpin front perjuangan MNLF (Moro National Liberation Front) Nur Misuari menyatakan rasa pesimistis akan tercapainya kesepakatan antara MNLF dan pemerintahan Filipina. "Perundingan yang kini sedang berlangsung tidak lebih dari sebuah sirkus," katanya. Yang lebih mengejutkan ialah kerja sama yang disepakati antara MNLF dan geriyawan berseniatan komunis NPA (New People Army). Kedua pasukan pemberontak ini sama-sama menghadapi pertahanan ketat yang dibangun angkatan bersenjata Filipina di selatan selain pasukan reguler juga ada pertahanan rakyat bersenjata. Situasi terakhir di Kota Zamboanga, Mindanao, menunjukkan adanya evakuasi besar-besaran. Penduduk Muslim tcrpaksa meninggalkan tempat tinggalnya karena kota itu sudah dikuasai pasukan pemerintah dan pertahanan sipil yang menamakan diri Pasukan Kristen. Di sela situasi yang mulai meruncing, Kamis pekan lalu NPA dan MNLF bersamasama menyelenggarakan jumpa pers di sebuah perkampungan Muslim di Mindanao Selatan. Dalam pertemuan itu Nur Misuari menyatakan, NPA dan MNLF akan melancarkan serangan terpadu ke semua sektor pemerintahan di Filipina Selatan. Sementara itu, NPA menyatakan bila perundingan MNLF dan pemerintah gagal, NPA akan mengerahkan pasukan khususnya The Sparrow Units ke ibu kota Manila untuk melancarkan teror. Khawatir perundingan gagal - padahal batas waktu 9 Mei hampir berakhir pemerintahan Cory Sabtu pekan lalu mundur selangkah dengan menyetujui pemberian otonomi 23 provinsi seperti yang dituntut MNLF. Tentu saja dengan syarat: bila rakyat di wilayah itu menyetujuinya. Pada perundingan sebelumnya, pemerintah menetapkan 10 provmsi dengan otonomi terbatas, sementara MNLF menuntut 23 provinsi dengan otonom penuh. Emanuel Pelaez, perunding di pihak pemerintah, menyatakan bahwa hasil referendum akan menentukan berapa provinsi nanti yang akan beroleh otonomi. Semua provinsi di mana suara "ya" menang akan masuk wilayah Muslim dengan otonomi penuh. Cory memperkenankan pihak ketiga ikut mengawasi pemungutan suara - mungkin sekali Organisasi Konperensi Islam (OKI). Anggota MNLF juga berhak mengawasi semua TPS. Tawaran ini toh belum akan menyelesaikan masalah. Nur Misuari menolak referendum, karena tak berani menghadapi risiko kalah. Soalnya, peta demografi di Filipina Selatan telah berubah jauh dari ketika Perjanjian Tripoli tentang otonomi itu disepakati Desember 1976. Bila referendum dilaksanakan, paling banyak Nur Misuari bisa menang di enam provinsi saja. Tapi Cory tetap mengutus adik iparnya Margarita Cojuangco ke Mindanao. Maksudnya menjajaki kemungkinan gencatan senjata. Sebelumnya Margarita pernah salah langkah dengan mendekati MILF (Moro Islamic Liberation Front), sempalan gerakan separatis Moro yang lebih kecil dari MNLF. Pendekatan ini membuat Nur Misuari marah, dan sejak itu perundingan berlangsung lamban. Namun, kali ini Misuari - yang sepakat bekerja sama dengan komunis itu - memberikan tanggapan positif. "Saya sudah menyampaikan pada saudara-saudara saya, jangan menyerang bila tidak ada provokasi," katanya. Mungkinkah ada babak baru perjanjian gencatan senjata? Sulit dijawab. Bangkitnya pertahanan sipil bersenjata yang menggunakan predikat "Kristen" telah mengipas-ngipas bentrok fisik. Kedua pihak, Kristen dan Muslim, kini dengan gencar mengembuskan kebencian antaragama untuk membangun semangat bertahan. Yang tumbuh dan situ tentu bukan sekadar semangat, tapi juga keinginan berperang. Jim Supangkat, Laporan kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini