KETIKA Bill Hayden menjejakkan kakinya Minggu petang lalu, di Bandara Soekarno-Hatta, sebuah harapan layak digantungkan. Kunjungan singkat selama dua hari itu diharapkan bisa merekatkan kembali hubungan Australia-Indonesia yang belakangan ini terguncang-guncang. Harapan itu tampaknya terpenuhn Setldaknya itulah kesan yang diperoleh setelah menlu Australia itu berbicara pada wartawan seusai pertemuan 40 menitnya dengan Presiden Soeharto di Bina Graha Senin pagi lalu. "Tampaknya, tidak ada masalah lagi antara kedua negara," ujarnya. Semua masalah yang timbul di masa lalu, menurut dia, telah dapat diatasi. Ini, tentu saja, merupakan berita baik. Sejumlah masalah, yang selama ini mengganjal, agaknya telah bisa dipecahkan. Misalnya tentang pelarangan wartawan Australia untuk melakukan kegiatan peliputan di wilayah RI, sejak April tahun lalu. Renggangnya hubungan kedua negara ini disebabkan oleh tulisan David Jenkins yang dimuat di harian The Sydney Morning Herald, April 1986. Artikel itu oleh Jakarta dinilai sangat menghina Kepala Negara RI. Akibatnya, hubungan langsung retak. Beberapa pejabat tinggi RI yang merencanakan berkunjung ke Australia, antara lain Menristek B.J. Habibie, langsung membatalkan kunjungannya. Sejumlah turis Australia juga sempat dilarang masuk Indonesia karena mendadak berlakunya ketentuan wajib visa bagi wisatawan negeri itu, yang segera dicabut kembali. Pihak Australia tampaknya lebih agresif dalam upaya perbaikan hubungan ini, meski uluran itu tak selalu disambut dengan semangat yang setimpal oleh Indonesia. Berulang kali Canberra melakukan manuver dalam upaya mengambil hati Jakarta. Antara lain, pada akhir Januari lalu, melalui bintang cantik pujaan banyak penonton TV di sini, Rebecca Gilling. Menlu Bill Hayden sendiri, sebelum ini, sudah dua kali bertandang ke Jakarta, 1985 dan 1986. Kedatangannya yang ketiga ini memang bukan kuniungan resmi, tapi agaknya yang paling berhasil. Rupanya, setelah tiga tahun, hati panas mulai mendingin. Maka, bila yang muncul setelah pertemuan antara Hayden dan Menlu Mochtar Senin lalu adalah wajah-wajah yang tersenyum, tampaknya itu pertanda mulai membaiknya kembali hubungan kedua negara. Tidak dengan serta-merta, tentu saja. Itu terlihat dari penjelasan Menlu Mochtar tentang kapan wartawan Australia diiinkan kembali masuk Indonesia. "Itu wewenang Menteri Penerangan untuk memutuskan," ujarnya diplomatis, meski diakuinya belakangan ini wartawan Australia "sudah mulai menjaga tindak-tanduknya". Mochtar juga menegaskan perlunya hubungan kedua negara ditingkatkan dengan mengirimkan lebih banyak pejabat tinggi Indonesia ke Australia, untuk mengimbangi kunjungan pejabat-pejabat tinggi Australia ke Indonesia. Meski belum memperoleh jawaban pasti, Hayden tampaknya cukup puas dengan kemajuan ini. Sebelum tiba di Jakarta, ia rupanya sudah memperhitungkan sikap Jakarta yang masih ogahogahan. Ia tidak menganggap Indonesia terlalu menahan diri. "Tidak ada sikap hati-hati yang berlebihan," kata Hayden, menjelang keberangkatannya ke Jakarta kepada pembantu TEMPO di Melbourne, Dewi Anggraeni. Ia tidak menutup-nutupi, "Saya juga masygul atas ketegangan yang terjadi April tahun lalu itu. Sebab, kejadian tersebut bukanlah perbuatan pemerintah kami dan ini satu hal yang harus dimengerti." Pintu yang dulu tertutup kini telah mulai terbuka. Memang perlu waktu untuk membentangkannya penuh seperti di masa silam Yang penting, kehormatan dan harga din kedua negara bisa dipulihkan. Australia sendiri juga punya sikap itu. Seperti yang dikatakan Bill Hayden kepada TEMPO, "Pemerintah Australia telah berusaha memelihara hubungan yang produktif dan berimbang dengan Indonesia. Tentu saja, tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar masyarakat kami dalam soal kebebasan pers." A.K. Seriawidjaja & M. Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini