SKANDAL penjualan senjata AS ke Iran telah menelan beberapa korban. Peristiwa yang mirip skandal Watergate ini diungkap oleh majalah berita mingguan Ash Shiraa terbitan Libanon. Bermula pada Senin pagi 27 Oktober 1986. Kala itu, dua orang Iran datang ke kantor Ash Shiraa di perkampungan Museitbeh -- di daerah Muslim di Beirut. Kedua orang yang mengaku sebagai utusan Ayatullah Hossein Ali Montazeri itu ingin bertemu dengan Hassan Sabra, salah seorang redaktur dan pemilik majalah itu. Ternyata, kedua orang yang tak disebut namanya itu dikenal Sabra, ketika sering berkunjung ke tempat pengasingan Khomeini di Paris pada 1975. "Kami duduk selama tiga jam di belakang pintu tertutup dan membahas soal Iran," kata Sabra kepada Washington Post. Kedua orang Iran itu ingin agar kunjungan rahasia bekas Penasihat Keamanan Nasional AS, Robert C. McFarlane, ke Iran diberitakan, dengan syarat berita itu tak merugikan Iran. Sabra tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Tiga hari setelah itu, ia mulai menyusun berita itu. "Ini pekerjaan jurnalistik yang paling berat," kata Sabra. Setelah berdebat dengan redaktur lainnya, dan mengesampingkan imbauan istrinya untuk membatalkan tulisannya, Sabra akhirnya menurunkan berita "skandal penjualan senjata AS" itu di halaman dalam majalah Ash Shiraa pada hari Sabtu. Semula tak seorang pun menghiraukan berita kecil itu. Namun, pada hari Senin sehari setelah orang-orang Syiah membebaskan seorang sandera AS bernama David Jacobsen, barulah berita itu menarik perhatian dunia, dan 25.000 eksemplar majalah Ash Shiraa habis terjual. Amerika Serikat dan dunia pun heboh. Hassan Sabra, yang dikenal sebagai kawan dekat Montazeri, mengakui, "Pembocoran berita itu sebagai bagian dari adu kekuatan yang sedang terjadi di Iran." Berita itu, kabarnya, sengaja dibocorkan Montazeri yang secara resmi telah diangkat menjadi calon pengganti Khomeini -- karena merasa dilangkahi saingannya, Ali Akbar Rafsanjani, yang melakukan kontak dengan AS tanpa memberitahukannya lebih dulu. Pembongkaran skandal tersebut memang merupakan bagian dari sikut-sikutan di antara penguasa Iran. Pertentangan juga terjadi di lingkungan "Pengawal Revolusi" yang selama ini taat pada Khomeini. Hal itu tampak ketika Mehdi Hashemi, seorang bekas anggota komando "Pengawal Revolusi", bersama 40 orang lainnya dituduh melakukan makar dengan menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Hashemi kedapatan menyimpan dua truk senjata, dokumen, dan bom waktu di dalam rumahnya. Hashemi sering disebut sebagai "keponakan" Montazeri -- yang dibantah Montazeri. Ternyata, Khomeini sangat prihatin dengan kasus itu. Sang imam sendiri, kabarnya, ikut mengedit pengakuan Hashemi yang akan disiarkan televisi. Tujuan AS diam-diam menjual senjata pada Iran adalah untuk membebaskan sandera AS serta membuka hubungan dengan penguasa Iran sepeninggal Khomeini. Ternyata, pendekatan serupa dilakukan juga oleh Prancis, Inggris, juga oleh Uni Soviet. Meski Soviet masih dianggap "iblis" oleh kalangan fundamentalis Iran, tidak berarti negara itu tak bisa berkawan dengan para pemimpin Iran. Buktinya, sebuah perjanjian kerja sama di bidang perdagangan, transportasi, dan teknologi ditandatangani oleh Ketua Komite Hubungan Ekonomi Luar Negeri Soviet, Konstantin Katushev, dengan Menteri Ekonomi Iran, Javad Iravani, pekan silam. "Ini sebuah sukses besar," ujar Katushev sebelum kembali ke Moskow, Jumat pekan lalu. D.P. Laporan P. Nasution
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini