Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Menanti kehadiran bangsa Singapura

Pm lee kuan yew mengecam kaum melayu-singapura tidak lagi bertindak sebagai bangsa singapura. gara-gara hasil poll pendapat kaum muslim (melayu) tidak setuju kunjungan presiden israel herzog. (ln)

20 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH kekhawatiran baru muncul di Singapura, setelah Presiden Israel Chaim Herzog pergi. Dalam ceramahnya di Universitas Nasional Singapura, Jumat pekan silam, Perdana Menteri Lee Kuan Yew berucap getir, "Kaum Melayu-Singapura tidak lagi bertindak sebagai bangsa Singapura." Mengapa? Lee lalu mengungkapkan hasil pengumpulan pendapat yang membuatnya gundah. Seminggu sebelum kedatangan Presiden Herzog, tepatnya 8-11 November, disebarkanlah sejumlah kuesioner. Pertanyaannya sederhana, "Setujukah Anda dengan kunjungan kepala negara Israel ke Singapura?" Sepekan setelah kunjungan yang banyak mendapat kecaman, 19-26 November, pertanyaan yang sama diajukan kembali. Hasil pengumpulan pendapat pertama menunjukkan, 51 persen kaum Muslim di negeri berpenduduk 2,5 juta jiwa ini tak menolak kehadiran Herzog. Sementara itu, di antara kaum pemeluk kepercayaan lainnya, sikap yang sama mendapat porsi lebih tinggi, 76 persen. Namun, hasil pengumpulan pendapat berikutnya menunjukkan kecenderungan sebaliknya bagi responden pemeluk agama Islam. Mereka yang bersikap setuju ternyata tinggal 22 persen. Kecenderungan ini memang tidak terdapat di antara kaum non-Muslim. Justru untuk kelompok terakhir ini terlihat kenaikan satu persen, menjadi 77 persen. Perbedaan persepsi di antara kaum Muslim-Singapura, yang notabene berasal dari puak Melayu, menurut Lee, merupakan hasil protes dan agitasi antikunjungan tersebut terutama yang berkembang di tetangga terdekat, Malaysia. Namun, ada dua hal yang sedikitnya bisa dicatat dari perubahan persepsi tersebut. Pertama, perubahan persepsi tersebut tidak bisa dilepaskan dari hasil bombardemen peliputan media massa. Kedua, proses integrasi nasional di Singapura ternyata masih belum menemukan bentuknya. Di antara kedua hal tersebut, masih ada lagi faktor pemacu: ikatan primordial sesama keturunan (Melayu) dan solidaritas sesama agama (Islam). Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa berbagai hal, yang sesungguhnya berasal dari luar, itu dengan mudah dapat melalui batas teritorial sebuah negara. Karena itu, tidaklah mengherankan jika PM Lee bertanya dengan masygul, "Ketika negara menghadapi krisis, apakah semua bangsa Singapura akan bersatu?" Lalu, dalam bagian lain ceramahnya ia pun bertanya lagi, "Sampai kapankah bangsa Singapura akan berwujud?" Lee sebenarnya sudah menyediakan jawaban atas pertanyaannya sendiri, "Saya sendiri tak tahu." Sebuah pengakuan yang jujur. Adalah Lee Kuan Yew yang telah meletackan fondasi bagi kehadiran sebuah bangsa baru bernama Singapura, di tahun 1965. Maka, pantaslah jika ia kecewa di saat-saat akhir kekuasaannya. Tidak mudah memang merangkul tiga komunitas (Cina, Melayu, dan India) ke dalam sebuah kesatuan baru yang mengakui adanya kebersamaan, tanpa mengecilkan arti pihak lainnya. Tetapi dari segi jumlah saja harus diakui, keturunan Cina memegang mayoritas terbesar (76 persen), disusul puak Melayu (15 persen), dan terakhir India. Berbagai masalah pelik muncul karenanya, ketika Lee mencanangkan tekadnya hengkang dari Persekutuan Malaysia, 1965. Dan salah seorang yang sangat menentang niatnya kala itu adalah anggota parlemen bernama Mahathir Mohamad. "Siapa pun tahu, kami selalu bersilang pendapat. Bahkan semasa 1964-1965, hubungan kami diliputi pertengkaran tak habis-habisnya. Namun, sembilan tahun terakhir ini hubungan kami kami begitu erat dan mesra," kata Lee. Karena itu, Lee merasa sangat prihatin terhadap kecaman-kecaman atas kunjungan Herzog, yang muncul dari negara di seberang jembatan. "Saya tak ingin meremehkannya. Namun, kunjungan Herzog telah diumumkan, tak mungkin kami membatalkannya hanya karena adanya unjuk rasa di Malaysia." Entah disengaja atau tidak, pada saat bersamaan dengan ceramah PM Lee, harian propemerintah The Straits Times memuat kecaman Persatuan Wartawan Melayu (PWM) terhadap S. Rajaratnam, bekas menteri luar negeri yang sekarang menjabat menteri tanpa portofolio pada kantor Perdana Menteri. Melalui surat tertanggal 22 November, yang ditandatangani oleh Ketua Umum Saadon Ismail, mereka mengecam pernyataan Rajaratnam sehari sebelumnya, "We are not Muslim. Egypt is Muslim and so are Morocco and Jordan." Singkat kata, mereka merasa tersinggung oleh kalimat tersebut. Karena, dalam anggapan mereka, pernyataan tersebut berarti tidak mengakui kehadiran kaum Muslim di Negara Singa ini. Sebuah hal yang, menurut mereka, "sangat menusuk perasaan puak Melayu dan kaum Muslim di sini sebagai bagian tak terpisahkan dalam bangsa Singapura". Rajaratnam sendiri menolak sanggahan tersebut. Dalam suratnya yang dimuat bersamaan, ia menganggap mereka telah salah mengartikan pernyataannya. Ditekankannya bahwa mereka mencoba menunjukkan kebersamaan dengan "The Crowd" -- julukan Rajaratnam bagi kelompok pemrotes kunjungan Presiden Herzog di Malaysia. Maka, ia lalu menceritakan latar belakang hubungan Singapura-Israel. Satu hal terpenting adalah pengakuannya bahwa angkatan bersenjata Singapura merupakan hasil binaan Israel selama 17 tahun terakhir ini melalui kehadiran penasihat-penasihat militer mereka. Namun, di bagian lain Rajaratnam mengungkapkan bahwa hubungannya dengan Israel tidak berarti menutup pintu bagi kehadiran wakil Palestina, PLO. Bahkan menurut dia Singapura pernah diminta sebagai tempat perwakilan PLO. Bekas dubes Singapura di Mesir, Haji Ya'acob Mohamed, mengecam pernyataan Rajaratnam. Buat tokoh yang berperan penting mengalihkan dukungan puak Melayu ke dalam PAP di tahun 1960-an, pernyataan Rajaratnam mengingatkannya kepada sikap Menlu AS McCharty, yang selalu membungkam mereka yang menggugat kebijaksanaannya dengan sebutan "kaum komunis". Sembari tidak ingin digolongkan sebagai pengikut "The Crowd", Haji Ya'acob lantas berkata, "Setiap warga negara di negara yang menjalankan sistem demokrasi berhak melontarkan kritik membangun terhadap kebijaksanaan pemerintah. Dan adalah tugas pemerintah menjawab serta menjelaskan masalah yang ada, tanpa menakut-nakuti mereka. Pernyataan itu agaknya benar. Perbedaan pendapat dalam demokrasi merupakan hal yang wajar, dan tak perlu ditakut-takuti dan dimatikan. Tampaknya, para pemimpin Singapura di masa depan punya tugas berat: menuntaskan integrasi bangsa, tidak hanya dengan mewajibkan rakyatnya menyanyikan lagu kebangsaan sambil menghormat bendera serta mengiyakan semua tindakan pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus