DINDING kampus Universitas Sains dan Teknologi Hefei, Selasa pekan silam, dipenuhi poster yang menagih janji demokrasi pada pemerintah. Salah satu di antaranya berbunyi: "Beri aku kebebasan atau beri aku maut". Nada tuntutan itu cukup provokatif, tapi segalanya berlangsung mulus. Sejumlah 2.000-3.000 mahasiswa turun ke jalan tanpa dihalangi petugas keamanan. Ada kesan aksi protes di Hefei dan Wuhan lebih dulu dikoordinasikan lewat Federasi Mahasiswa Seluruh Cina. Tidak jelas benar mengapa tuntutan demokrasi meletup di dua kota yang terletak di provinsi bagian tengah Cina itu. Padahal, selama ini hanya Beijing yang dikenal sebagai pusat gerakan mahasiswa. Poster pertama di Hefei ditandatangani para "pejuang demokrasi" -- satu nama yang cukup menantang, sekalipun oleh pejabat setempat dianggap ekspresi normal dari semangat reformasi. Dipasang Selasa siang, poster itu sudah lenyap keesokan harinya. Tapi mahasiswa tidak protes. Mereka cuma menyesalkan media massa yang tidak meliput aksi demokrasi sebagaimana mestinya. Poster yang lain berbunyi: "Republik Rakyat Cina dibentuk untuk melayani rakyat, tidak cuma segelintir orang" "Adalah demokrasi yang diinginkan rakyat. Tapi sebagian besar warga Cina hanya bisa marah tanpa berani menyuarakannya" "Cina kini bagaikan setumpuk sekam yang kehilangan apinya. Bangkitlah, Kamrad, jadikan dirimu kobaran api". Poster di Universitas Beijing ternyata lebih galak: "Ayo turun ke jalan, majukan demokrasi. Kita penuh semangat dan percaya diri. Hanya dengan berjuang kita jaya". Dipasang Jumat, poster ini sudah tidak kelihatan pada malam harinya. Esoknya muncul lagi dua poster. Poster pertama menandaskan, demokrasi harus dimulai dari desa, karena 80 persen rakyat Cina berdiam di sana. Poster yang lain mengecam pers yang cuma berfungsi sebagai trompet Partai Komunis, tapi gagal membersitkan kebenaran dari kenyataan. Seirama dengan tuduhan itu, pers Cina memang sama sekali tidak memberitakan ekspresi kegelisahan mahasiswa Beijing. Apalagi para pejabat Cina condong meremehkan soal-soal demokrasi itu, seraya menilai tuntutan mahasiswa cuma masalah lokal. Tidak ada satu pernyataan resmi yang bisa menjelaskan kebangkitan mahasiswa yang begitu tiba-tiba itu. Pengamat politik di Beijing cuma bisa mengaitkan persoalan. Aksi di Wuhan, misalnya, dihubungkan dengan satu insiden yang menimpa seorang mahasiswa tingkat sarjana di sana. Ceritanya, sarjana itu mencalonkan diri untuk pemilihan NPC (Kongres Rakyat Nasional) dan mempropagandakannya lewat sebuah poster dinding yang cukup besar. Karena tindakannya itu ia diperingatkan, tapi banyak rekannya merasa terhina. Maka, poster pun dipasang, dan demonstrasi dilancarkan. Adapun protes mahasiswa Beijing, konon, ditujukan pada Komisi Pendidikan Nasional Cina tanpa sebab yang jelas. Yang menarik adalah reaksi pejabat pemerintah: begitu tenang, bahkan berusaha keras menghindari bentrok dengan mahasiswa. Di pihak lain, mahasiswa juga tampak berusaha menahan diri. Benturan fisik memang tak bisa dihindarkan, tapi cuma kecil-kecilan. Tidak ada yang ditahan, bahkan tidak ada campur tangan pemerintah setempat. Mengapa? Kuat dugaan karena para tokoh reformis diam-diam menyetujui aksi mahasiswa itu. Hal ini juga dihubungkan dengan peluang yang diciptakan pemimpin Cina Deng Xiaoping, yang jelas menjurus ke arah pembaruan bidang politik dan ekonomi. Katakanlah ada kelonggaran untuk menyatakan pendapat, kebolehan untuk sedikit berkeluh kesah, peluang untuk melancarkan kritik. Setelah Deng menjalankan politik pintu terbuka pada 1979, mahasiswa memang sempat mengenyam kebebasan bersuara lewat Dinding Demokrasi, yang terkenal itu. Maka, masuk akal andai kata "eksperimen" serupa terulang, kendati dalam frekuensi lebih rendah. Tapi, banyak juga orang menafsirkan aksi mahasiswa itu sebagai gejala frustrasi. Konon, akibat pemerintah terlalu mengobral janji, sementara tuntutan meningkat karena tingkat hidup juga meningkat. Tidak heran jika muncul ketidaksabaran menghadapi situasi yang serba tanggung itu. Soalnya, di satu pihak, kelompok Deng berteguh mewujudkan reformasi politik, tapi kelompok garis keras PKC (Partai Komunis Cina) menentangnya. Maka, koran terkemuka Harian Rakyat memperingatkan bahwa "reformasi politik terlalu kompleks, dan perlu waktu sedikitnya lima tahun". Penolakan alot kelompok garis keras terhadap gagasan reformasi terbatas Deng juga terlihat dalam sidang istimewa PKC, Agustus lalu. Tampaknya, terjadi kemunduran. Tapi jago tua Deng belum mau menyerah. Pekan lalu, Deng bicara tentang reformasi struktural yang sukar diterapkan, karena terhambat "kebiasaan yang kuat sekali". Sekalipun begitu, Deng bertekad bisa menyaksikan reformasi itu terwujud selagi ia masih hidup. Tak pelak lagi, penegasan itu ditujukannya pada tokoh garis keras Chen Yun banyak yang meramalkannya sebagai tanda pertarungan masih akan terus berlanjut. Apalagi reformasi politik terbatas, yang kelak menjurus pada pemisahan antara peran pemerintah dan PKC, tetap digalakkan Deng, sekalipun secara sangat hati-hati. Seorang pengamat menyatakan, Deng bisa memanfaatkan aksi-aksi mahasiswa itu sebagai kasus uji coba terhadap Chen Yun. Maksudnya, menawarkan reformasi politik terbatas ke kampus-kampus sebagai sarana fundamental untuk menenangkan dukungan mahasiswa. Kata sang pengamat, Deng pernah menggunakan manuver itu ketika mendukung gerakan Dinding Demokrasi pada tahun 1978-1979. Adalah berkat Dinding Demokrasi, Deng berhasil memantapkan kepemimpinannya seraya menggalang kekuatan terhadap kelompok Maois. Apakah taktik lama ini bisa memperdaya Chen Yun ? Masih harus dibuktikan, memang. I.S. Laporan Reuters
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini