PERUNDINGAN tentang Bosnia terancam kembali ke titik nol. Dikhawatirkan, nasib muslim Bosnia serupa dengan bangsa Palestina: terusir dari tanah air, dan baru pekan ini, setelah sekitar 50 tahun, sebuah awal berdirinya negara Palestina diteken di Washington (lihat Laporan Utama). Macetnya perundingan damai di Jenewa dua pekan lalu karena Presiden Bosnia Alija Izetbegovic menuntut sejumlah hal sebelum ia menyetujui usulan pembagian wilayah (lihat peta). Persisnya, ia menuntut dua hal. Pertama, agar wilayahnya yang terkurung di Bosnia bagian tengah diberi jalur ke luar. Caranya, membangun jalan layang melintas di atas wilayah Serbia yang menghubungkan wilayah Bihac di barat laut, Bosnia bagian tengah, dan Bosnia bagian selatan. Sedangkan Kota Gorazde dan Zepa dihubungkan melalui jalur darat. Lalu Mostar dan Ploce dihubungkan dengan jalan darat dan jembatan di atas laut. Selain itu, melihat konsentrasi muslim Bosnia kini, Izetbegovic pun menuntut tambahan wilayah di sekitar Sungai Drina di barat laut, sebagian Foca di tenggara, sebagian Visegard dan Bratunac di timur. Tentu saja pihak Kroasia dan Serbia menolaknya. Para wakil dua etnis ini merasa sudah cukup adil memberikan 30% wilayah ke Bosnia. Bahkan pemimpin Serbia Radovan Karadzic segera mengeluarkan ultimatum akan membagi wilayah Bosnia-Herzegovina menjadi dua saja: satu wilayahnya, dan satu wilayah Kroasia. ''Jika mereka tak siap juga menyelesaikan masalah ini secara politis, kami akan mendirikan sebuah Negara Serbia di Bosnia- Herzegovina,'' kata Karadzic dalam konferensi persnya, Senin pekan lalu. Tapi mengapa Izetbegovic menuntut hal yang sebelumnya tak pernah disinggung dan oleh banyak pihak dirasa tak masuk akal? Tentu ia tak main-main dengan usulannya itu. Sebab, dalam sidang Dewan Keamanan, Selasa pekan lalu, ia sekali lagi menguraikan usulannya yang baru itu. Dan sambutan sidang, terutama para wakil Eropa, begitu dingin. ''Saya tak mengerti, usulannya itu,'' kata David Hanay, ketua delegasi Inggris, kepada Madeleine K. Albright, ketua delegasi AS yang mendukung usulan Izetbegovic. Bagi Bosnia, jalur ke luar itu sangat penting. Tanpa jalur jalan layang itu, bagaimana mungkin bantuan pangan dari luar negeri, atau hubungan perdagangan dan ekonomi kelak bila pembagian wilayah disetujui bisa tersalurkan? Tapi tampaknya di balik yang diucapkan adalah taktik diplomasi. Sejak semula Izetbegovic sangat keberatan dengan pembagian wilayah versi perundingan Jenewa itu. Yang dicita- citakan Presiden Bosnia itu adalah sebuah negara persatuan Bosnia-Herzegovina yang multietnis. Tambahan lagi, pembagian itu dirasakannya tak adil. Bagaimanapun, pembagian itu dilakukan setelah sebagian besar wilayah muslim Bosnia direbut oleh etnis Serbia dan Kroasia. Jadi, ia harus berusaha menolaknya tanpa bisa dituduh bahwa dialah biang kegagalan perundingan. Soalnya, tuduhan itu mengandung konsekuensi: tak mendapatkan bantuan ekonomi dari Amerika Serikat. Nah, setidaknya menurut analisa di The Economist, Izetbegovic mengusulkan hal yang aneh tapi logis itu memang untuk menolak usulan pembagian wilayah tanpa mendapatkan sanksi ekonomi. Bila memang demikian, Izetbegovic bisa dibilang berhasil. Tapi, setelah itu, bagaimana perundingan dilanjutkan, dan bagaimana pembagian wilayah dilakukan? Di Washington ia bertemu Presiden Clinton. Ia mendapatkan jaminan bahwa Amerika akan tetap mencari penyelesaian yang baik untuk semua pihak. Tapi Clinton ternyata menolak permintaan Izetbegovic untuk mengirimkan tentara darat. Menurut Presiden Bosnia itu, untuk mencegah agresi etnis Serbia dan Kroasia, hanya mungkin dilakukan lewat pasukan darat. Clinton keberatan, dengan alasan bahwa rekan-rekannya di Eropa sampai hari itu selalu menolak mengirimkan pasukan darat (bukan sekadar pasukan perdamaian), untuk mengontrol pasukan Serbia dan Kroasia. Kenyataannya, apa yang dikatakan Alija Izetbegovic benar. Tanpa kontrol di darat, Serbia dan Kroasia tak bisa dihentikan. Gencatan senjata yang diteken akhir bulan lalu ternyata tak berpengaruh apa-apa. Lihatlah, Sarajevo, yang diperkirakan bakal kekurangan bahan bakar pekan ini, masih saja diguncang tembakan artileri milisi Serbia. Anak-anak Sarajevo yang mulai sekolah awal pekan lalu tak bisa tenteram belajar karena sebentar-sebentar peluru nyasar masuk ke ruang bawah tanah sebuah bangunan yang dipakai sebagai ruang sekolah. Sepuluh ribu warga muslim Bosnia masih ditahan di sejumlah kamp tawanan Kroasia. Haruskah penyelesaian Bosnia menunggu setengah abad lagi, sebagaimana bangsa Palestina? Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini