PLO-Israel dulu, lalu yang lain-lain. Konflik Israel di Timur Tengah memang tak cuma dengan Palestina. Tapi juga dengan ketiga tetangganya: Suriah, Yordania, dan Libanon. Itu sebabnya, Jumat pekan lalu, dalam pidatonya setelah meneken pengakuan terhadap PLO sebagai wakil bangsa Palestina, Yitzhak Rabin menegaskan kembali sikap pemerintah dan mayoritas rakyatnya yang setuju berdamai dengan siapa pun. ''Yang kami kehendaki bukan hanya berdamai dengan Palestina, tapi juga dengan negara-negara Timur Tengah lainnya,'' katanya. Dan sebenarnya itu sudah terjadi. Misalnya saja dengan Mesir, perdamaian sudah tercapai tahun 1978, melalui perundingan Camp David ketika Anwar Sadat menjadi presiden Mesir dan Menahem Begin menjadi perdana menteri Israel. Israel memang telanjur melahirkan banyak front akibat perang yang berkepanjangan dan melahirkan wilayah-wilayah caplokan yang semula di bawah kedaulatan negara tetangga, sekaligus musuhnya. Maka para pemimpin negara-negara tetangganya selalu curiga bahwa Israel tidak berniat bertetangga dengan baik dan terus melakukan ekspansi wilayah. Yang menguntungkan proses perdamaian kini, Israel sekarang tidak lagi di bawah kepemimpinan Yitzhak Shamir, pemimpin sayap kanan yang tidak bersedia berkompromi sedikit pun dalam menentukan persyaratan perundingan damai. Pemimpin sekarang, Yitzhak Rabin, sejak bertahun-tahun lalu dikabarkan sudah memiliki obsesi damai dengan negara-negara Arab. Ia telah membuka jalan damai di Timur Tengah, dimulai dengan pengakuan atas Palestina dan bersedia berunding dengan PLO. Selama ini perundingan damai yang dimakelari oleh AS selalu terganjal oleh perkara pengakuan atas keberadaan dan keikutsertaan Palestina (PLO). Sekarang persiapan damai dengan Suriah dan Yordania, serta Libanon, sudah menjadi lebih matang. Kompromi, boleh dibilang, sudah di ambang pintu. Suriah, misalnya, yang semula antidamai bahkan pernah menggerakkan persatuan Arab untuk mengasingkan Mesir yang berunding dengan Israel di Camp David, AS, belakangan menjadi lebih luwes. Yakni, dimulai dengan pemulihan hubungan diplomatik dengan Mesir di tahun 1989. Presiden Suriah Hafez Assad rupanya cepat membaca perkembangan situasi. Dengan dukungan Uni Soviet, sampai awal tahun 1980-an dulu ia bisa leluasa bergerak, dan pasukannya sempat berhasil mengusir Israel dan tentara AS dari Beirut. Tapi ketika Mikhail Gorbachev kemudian mengalami kesulitan di dalam negerinya sendiri dan hanya sanggup memberikan bantuan militer kepada Suriah untuk sekadar bertahan, Hafez Assad mengubah haluan. Dengan kekuatan tersebut ia mustahil bisa menggusur Israel dari Dataran Tinggi Golan, yang diduduki Israel dalam perang enam hari di tahun 1967. Setelah hubungan dengan Mesir membaik, Suriah juga ikut berperan mendukung pasukan gabungan untuk melawan Irak. Setidaknya Hafez Assad telah bersedia mengerahkan 20.000 tentaranya dipasang di garis perbatasan. Meskipun di dalam negeri ia memberangus semua berita mengenai gerakan pasukannya yang bergabung dengan pasukan Amerika itu. Diplomasi gaya baru Hafez Assad memang kemudian membuahkan hasil. Pada November 1990, ketika Krisis Teluk gara-gara Irak menduduki Kuwait memuncak, Presiden AS George Bush mengajaknya bertemu di Jenewa. Bush memuji langkah positif Assad. Kecuali itu, negara-negara Teluk kemudian memberikan bantuan kepada Suriah sebanyak US$ 2 miliar. Pertengahan tahun 1991, Hafez Assad sudah mengeluarkan pernyataan pengakuannya atas sebuah negara Yahudi di Timur Tengah. Artinya, Israel tidak harus dimusuhi dan diusir dari kawasan itu. Dan dalam Konperensi Damai Timur Tengah yang dimulai di Madrid, 30 Oktober 1991, perundingan bilateral antara Israel dan Suriah dinilai paling maju. Bahkan beberapa waktu lalu, dalam perundingan putaran ke-10, dicemaskan Suriah mencapai kesepakatan dengan Israel terlebih dahulu, tentang pengembalian Dataran Tinggi Golan. Kabar itu sempat membuat tim perunding Palestina dan Yordania cemas: jangan-jangan setelah Suriah memperoleh kembali Golan, Assad tak lagi mendukung perundingan selanjutnya. Atau, Israel kemudian tak lagi secara serius berunding dengan pihak yang lain, terutama Palestina. Sebab saat itu media massa di Israel sempat meniupkan isu tentang kemungkinan penarikan sebagian kekuatan Israel dari Dataran Tinggi Golan. Saat itu belasan ribu imigran Israel yang menempati lebih dari 30 kompleks hunian di Golan sempat cemas dan melakukan demonstrasi menentang pengembalian Golan. Ketika itulah Yitzhak Rabin mengatakan bahwa kawasan tersebut termasuk kategori ''tak bisa dirundingkan''. Seandainya segala kerumitan yang mengganggu perdamaian dengan Suriah sudah bisa diselesaikan, langkah untuk bertetangga secara akur dengan Libanon tak mustahil bisa dirintis. Soalnya, kawasan itu memang di bawah pengaruh Hafez Assad, kendati sekarang tidak mutlak lagi. Sejak tahun 1976 kekuatan Hafez Assad masuk ke Libanon, sehingga ada penilaian bahwa Suriah telah mencaploknya. Hafez Assad membantah anggapan itu. Tentaranya masuk ke sana atas permintaan, ''Karena adanya ikatan persaudaraan,'' katanya. Asal-usul, bahasa, budaya, sampai ke nyanyian dan lelucon warga Suriah dan Libanon memang sama. Tapi beberapa pengamat berpendapat, setelah pengeboman oleh Israel atas tempat-tempat yang dicurigainya sebagai sarang gerakan Hizbullah di Libanon belum lama ini, situasinya sekarang barangkali menjadi lain. Israel boleh jadi bakal menemui banyak kesulitan untuk menemukan jalan damai di sana. Cuma, pengamat lain bilang, setelah perdamaian PLO-Israel, yang lain-lain bakal menggelinding dengan sendirinya. Apalagi Presiden Elias Hrawi, dalam kasus penyerbuan Israel ke Libanon Selatan yang terakhir, bersedia memenuhi tuntutan Israel untuk melakukan pengawasan ketat terhadap gerilyawan Hizbullah. Sedangkan urusan Israel dengan Yordania belum tuntas benar, kendati lebih banyak memberikan harapan segera rampung. Para pemimpin Israel sudah menempuh banyak perundingan dengan pihak Raja Hussein, seiring dengan pelbagai negosiasi dengan PLO. Kerja sama di perbatasan antara kedua negara juga relatif lebih baik dibandingkan dengan perundingan dengan tetangga Israel lainnya. Memang sempat ada ketegangan di sepanjang Sungai Yordan, tapi pertengkaran menyangkut wilayah sudah tak lagi muncul. Bahkan, demi kelancaran perundingan dengan Israel, Raja Hussein awal tahun silam telah mencopot Perdana Menteri Taher Masri (yang keturunan Palestina), dan menggantinya dengan Sharif Zaid bin Shaker yang tak berdarah Palestina. Persoalannya, jika Tepi Barat dan Dataran Tinggi Golan masih berada di tangan Israel, Raja Hussein, yang staminanya makin turun karena ginjalnya tak sempurna lagi, belum tentu bisa mengayunkan langkah lebar untuk segera menyetujui perdamaian. Kecuali dengan dukungan negara-negara Arab lainnya, yang sekarang bisa jadi lebih luwes setelah Yitzhak Rabin berdamai dengan Yasser Arafat. Sebenarnya, Yordania-Israel tak lagi punya masalah teritorial. Tepi Barat, yang pada tahun 1948 dimasukkan ke wilayah Yordania, pada tahun 1974 (sudah diduduki oleh Israel) disepakati oleh para pemimpin Arab diserahkan kepada PLO. Dan pada tahun 1988, secara resmi Kerajaan Yordania memutuskan hubungan administratif dengan Tepi Barat. Masalahnya, kini jumlah keturunan Palestina di Yordania sudah melampaui penduduk asli. Karena ini, ada ide, mengapa tak dibentuk satu konfederasi Yordania-Palestina, bila nanti Palestina membentuk pemerintahan otonomi di Gaza dan Tepi Barat. Ini mengingat sejarah, dan masalah etnis. Dalam hal inilah tampaknya, selain masalah keamanan karena kedua negara (Israel dan Yordania) bertetangga, Israel dan Yordania perlu mempunyai kesepakatan damai. Itu sebabnya pihak Yordania belum mendukung perdamaian PLO- Israel, sebelum mengetahui detail Deklarasi Oslo, yang akan memberi hak kepada PLO (Palestina) mendirikan pemerintahan otonomi di Gaza dan Jericho. Tapi pada prinsipnya, Yordania menyetujui perdamaian di Timur Tengah. Yang menarik, nanti, setelah di Timur Tengah benar-benar tercapai perdamaian yang mengatasi konflik-konflik kini, tak lalu kawasan itu menjadi surga. Sebagaimana halnya Palestina menyimpan kelompok Hamasa dan Jihad Islamiyah, di Yordanian pun ada kelompok Islam militan Ikhwanul Muslimin. Bahkan kelompok ini sudah punya wakil di parlemen. Nah, menurut para pengamat, Islam militan, yang umumnya bersikap tak bersedia kompromi dengan Israel, akan menjadi kekuatan penentang perdamaian di Timur Tengah. Kemudian akan terpulang pada pemerintah masing-masing bagaimana mendekati kelompok ini dan mengajaknya ikut dalam dunia baru itu, kalau memang nanti terciptakan. Satu pertumbuhan ekonomi yang baik dan merata mungkin akan menjadi rem yang baik untuk mencegah konflik tersebut. Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini