PADA tahun 1955, Norodom Sihanouk terpaksa turun takhta, demi kesatuan negerinya. Ia tetap dipanggil Samdech atau Paduka oleh rakyatnya kendati menjabat sebagai kepala negara biasa. Pekan lalu, Sihanouk, yang bernenek moyang raja purbakala Jayawarman, diminta kembali menjadi raja Kamboja. Itulah keputusan dewan konstituante Kamboja yang merancang undang-undang baru. Kini Kamboja, republik selama 33 tahun, akan menjadi monarki konstitusional. ''Sebagai raja, Sihanouk tidak akan memiliki kekuasaan untuk memerintah. Ia hanya lambang kesatuan dan kelanjutan negara,'' kata Menteri Kehakiman Chem Snguon, wakil ketua dewan konstituante yang dibentuk seusai pemilu yang diselenggarakan PBB di Kamboja bulan Mei lalu. Sebenarnya, hampir 80 persen anggota dewan konstituante itu memilih sistem pemerintahan republik. Namun, menurut para pengamat di Phnom Penh, Norodom Ranaridh, putra sulung Sihanouk, memaksa agar sistem kerajaan dijadikan alternatif lain. Maklum, ia berani bersikap tegas sebab partainya, Funcinpec, adalah pemenang terbesar dalam pemilu belum lama itu. Kedua usul sistem pemerintahan itulah yang dibawa oleh pemimpin bersama pemerintah sementara Kamboja Ranaridh dan Hun Sen kepada Sihanouk, yang lagi berada di Pyongyang, yang dianggapnya kediaman kedua di samping Phnom Penh. Mantan raja itu pun menyetujuinya tanpa pertanyaan. Lalu terdengar kritik tajam dari beberapa kalangan masyarakat. Dan Sihanouk kabarnya sempat berubah pikiran beberapa kali. Toh akhirnya ia menerima untuk dijadikan raja dengan kekuasaan terbatas. Mungkin Sihanouk mengambil contoh raja Thailand Bhumibol Adulyadej. Sang raja tidak memegang kekuasaan politik apa pun. Namun, pada saat terjadinya suatu konflik di dalam masyarakatnya, dialah satu-satunya yang dipandang cukup bijaksana untuk menyelesaikan. Di Kamboja, Sihanouklah satu-satunya yang dihormati oleh semua pihak, dan karena itu dianggap mampu mempersatukan keretakan. Bahkan Khmer Merah, kelompok terasing yang tak ikut pemilu, menghormati Sihanouk. Memang, tak sedikit yang menentang kembalinya sistem kerajaan di Kamboja. ''Tampaknya, negeri ini bukan maju tapi mundur 25 tahun ke belakang,'' kata seorang anggota Ponleu Khmer, suatu koalisi lembaga swadaya masyarakat di Kamboja. Sebenarnya, yang dipermasalahkan mereka bukan sistem monarki atau kembalinya Sihanouk sebagai penguasa, namun cara pengambilan keputusan yang amat rahasia. Jangankan pada rakyat biasa, keputusan itu tak dikonsultasikan pada semua anggota dewan konstituante. Hanya suatu panitia khusus yang terdiri dari 12 anggota membicarakannya secara tertutup. Bahkan sampai akhir pekan lalu, kopi rancangan undang-undang itu belum juga dibagi-bagikan ke seluruh dewan konstituante. Padahal, setiap pasal harus dipelajarinya sebelum diperdebatkan hari Senin, 13 September, sedangkan batas waktu yang ditentukan PBB untuk pembentukan undang-undang baru adalah 15 September. Kurang keterbukaan itu mungkin karena masih terdapat keganjilan soal kepemimpinan pemerintah. Karena tidak tercapainya kesepakatan, bisa jadi Kamboja merupakan satu- satunya negara yang pemerintahannya dipimpin oleh dua orang perdana menteri. Dan sistem itu akan berlangsung selama lima tahun, sampai terjadinya pemilihan umum baru. Mengenai soal raja, Sihanouk mengajukan syarat, untuk seterusnya raja harus pula dipilih secara demokratis di antara keluarga kerajaan. Jika seorang raja meninggal, tugasnya diambil alih sementara oleh ketua parlemen, sampai ada pemilihan baru, paling lama seminggu kemudian. Tampaknya, orang Kamboja punya semboyan, biar aneh (pemerintahannya) asal damai. Yuli Ismartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini