ANCAMAN dan pentungan membuat mahasiswa RRC tambah galak. Kamis pekan lalu mereka berhamburan di jalan-jalan utama Kota Beijing, meneriakkan slogan-slogan perjuangan dan kritik terhadap pemerintah. Mereka tak peduli pada puluhan ribu tentara dan polisi yang bertugas membubarkan mereka. Di hari sebelumnya pemerintah memang sudah memutuskan untuk menghentikan aksi mahasiswa yang bermula dari sekadar pawai duka cita sehubungan dengan kematian bekas Sekjen Partai Hu Yaobang, 15 April lalu. Tak jelas bagaimana pawai duka cita itu akhirnya berubah menjadi demonstrasi yang menuntut demokrasi. Mungkin karena mereka tak puas terhadap penjelasan pemerintah tentang mundurnya mendiang Hu, pada 1987, dari jabatan Sekjen Partai. Bagi mahasiswa waktu itu Hu bukannya mundur tapi dipaksa mengundurkan diri, sehubungan dengan gerakan pemerintah menyapu bersih kekuatan yang disebut "liberalisme borjuis". Padahal, bagi mahasiswa, Hu dianggap "pelopor pembaharuan dan sahabat anak muda." Tapi kematian Hu mestinya hanya menjadi picu. Situasi dan kondisi RRC sendiri memang menyimpan hal-hal yang bisa membuat marah mahasiswa. Misalnya, tahun lalu pemerintah mengumumkan bahwa mulai tahun im, bagi mereka yang lulus dari perguruan tinggi, tak lagi diberi kebebasan memilih pekerjaan. Mereka, sebagaimana di zaman Mao, akan kembali mendapat tugas dari pemerintah. Mereka tak cuma marah tapi juga mogok kuliah. Di Beijing, sejak aksi pemogokan dilancarkan, tak sampai 10 mahasiswa dan dosen yang bersedia masuk ruang kuliah. Aksi mogok tak cuma diisi dengan duduk-duduk. Mereka berpawai sambil mengumpulkan dana. Di jalan-jalan utama, mereka membawa spanduk dan posterposter sembari memungut sumbangan dari penduduk, sekaligus mengedarkan selebaran. Hasilnya, sejak Rabu pekan lalu terbit koran baru tanpa izin yang dibiayai dana yang terkumpul. Yang mungkin di luar dugaan pemerintah Cina, aksi mahasiswa ternyata menyebar ke kota-kota lain. Di kota tua Xi'an yang kondang di kalangan pelancong, sempat terjadi bentrokan fisik antara demonstran dan petugas. Sedangkan di Changsa, ibu kota Provinsi Hunan, menurut versi mahasiswa, sekitar 400 demonstran ditangkap. Di Shanghai, kota industri utama RRC, lain lagi. Meski aksi-aksi mahsiswanya tak begitu semarak, media massa lokalnya tergolong nekat. Senen pekan lalu mingguan Cahaya Ekonomi Dunia, koran beroplah 300 ribu eksemplar, memuat tulisan yang terang-terangan mendukung gerakan mahasiswa di Beijing dan sekaligus mengkritik partai. Tak cuma itu. Mingguan itu juga memuat 6 halaman gagasan Hu Yaobang yang oleh para saingannya dianggap kontroversial. Tentu, segera pemerintah melarang peredaran edisi yang sudah keburu dicetak itu. Dan pemimpin mingguan itu pun dipecat oleh pengurus Partai Komunis Cabang Shanghai. Sementara itu, Senin pekan lalu, mahasiswa membentuk Panitia Persiapan Persatuan Solidaritas Mahasiswa China untuk menyatukan aksi-aksi mereka. Dengan lembaga itulah kegiatan mahasiswa diharapkan terkoordinasi dengan baik. Tampaknya perkembangan-perkembangan itulah yang mengubah sikap pemerintah Beijing. Mula-mula dibiarkannya pawai duka cita -- untuk memberi penghormatan terakhir bagi mendiang Hu Yaobang. Bahkan ketika pawai tak cuma mengumandangkan lagu duka cita, tapi mulai mengibarkan poster-poster yang bertulisan tuntutan demokrasi dan kritik terhadap pemerintah, polisi belum juga bertindak. Konon sikap lunak pemerintah ada kaitannya dengan bakal berkunjungnya pemimpin Soviet, Mikhail Gorbachev, 15 Mei ini. Perdana Menteri Li Peng dan Sekjen Partai Zhao Ziyang mestinya tak berharap mendapat pertanyaan dari tamunya. mengapa mereka tak memberi kebebasan bersuara bagi mahasiswa. Tapi apa boleh buat, aksi sudah makin meluas, dan itu berbahaya. Bukan cuma kaum "konservatif' yang jadi sasaran, tapi juga mereka yang selama ini dikenal sebagai kelompok pembaharu: Li Peng, bahkan Zhao Ziyang dan Deng Xiaoping sendiri digugat. Itu semua tampaknya mencerminkan ketidakpuasan mahasiswa (juga masyarakat umumnya yang mendukung aksi turun ke jalan itu) terhadap kehidupan di Cina, belakangan ini. Kehidupan memang makin terasa susah bagi kebanyakan orang, karena inflasi terus membumbung sampai 30%. Konon banyak pemuda Cina yang berusaha mencari pekerjaan ke luar negeri. antara lain ke Jepang. Dalam situasi seperti itulah lalu timbul kecemburuan terhadap mereka yang dianggap hidup lebih enak. Dan siapa lagi mereka itu bila bukan para pejabat. Muncul tuduhan bahwa para pejabat melakukan korupsi. Salah satu tuntutan mahasiswa adalah diumumkannya kekayaan pribadi para pejabat. Padahal ketika Deng menggelindingkan pembangunan ekonomi -- dalam bidang industri, pertanian, ilmu, dan pertahanan yang hasilnya mulai dirasakan pada akhir 1979, rasanya tak ada yang mengkritik Deng. Waktu itu pendapatan petani -- yang merupakan tiga perempat dari 1,1 milyar penduduk Cina -- rata-rata naik lebih dari 10%. Daya beli masyarakat naik, kebutuhan hidup sekunder mulai terbeli. Hampir di tiap rumah ada televisi, dan para remaja mulai suka minum Coca-cola yang sudah boleh dijual di Cina. Tapi angin surga tak terus bertiup. Sikap hidup yang mulai konsumtif punya efek meningkatkan inflasi. Sementara itu, ternyata dunia industri sebenarnya belum siap benar menyongsong perubahan. Banyak pabrik tak cukup mendapat tenaga listrik tapi dituntut berproduksi maksimal. Menurut majalah South, bila televisi Beijing menayangkan pertandingan bola, maka warga Beijing serentak menyalakan TV mereka. Dan karena kini hampir semua rumah punya TV, terpaksa stroom ke pabrik-pabrik dikurangi. Bahkan ada pabrik yang berhenti berproduksi. Ditambah dengan kenyataan yang tak bisa dihindarkan, yakni munculnya perbedaan kaya dan miskin akibat reformasi ekonomi, ketidakpuasan terhadap perkembangan ekonomi pun menjalar. Toh dua tahun lalu Deng Xiaoping masih mengatakan "Tak ada salah langkah besar dalam pembangunan ekonomi kita." Tampaknya keyakinan itulah yang membuat pemerintah RRC tetap menggelindingkan kebijaksanaan ekonomi bebas. Mereka tak berusaha mengatasi inflasi dengan cara ekonomi terkendali seperti di zaman Mao. Sementara itu, berbeda dengan Gorbachev di Soviet, ternyata Deng tak melepaskan tuntas reformasi politik. Bahkan, boleh dikatakan, sebenarnya reformasi politik di Cina cuma sedikit beringsut dari kedudukannya semula. Meledaknya demonstrasi mahasiswa pada akhir 1986, misalnya, memaksa Deng menarik tali kekang reformasi politik. Aksi mahasiswa dibubarkan dengan kekerasan, dan sejumlah intelektual "borjuis" dipecat dari universitas dan lembaga pemerintah antara lain Fang Lizhi, wakil rektor Universitas ilmu dan Teknologi. Meski penindasan macam di zaman Mao memang tak berulang. Fang Lizhi, misalnya, tetap diizinkan menjadi anggauta Akademi Ilmu Pengetahuan Cina. Juga Hu Yaobang tetap berada dalam politbiro. Rupanya melangsungkan reformasi ekonomi sementara itu mengekang kebebasan politik adalah berbahaya. Terutama ketika reformasi ekonomi mulai dirasakan tak adil -- dan ini niscaya terjadi -- lalu orang pun mencari kesalahan pemerintah. Mereka yang sudah merasakan enaknya mempunyai uang, biasanya, tak mau kembali susah. Bukan cuma itu, bahkan mereka lalu menuntut konsumsi yang lebih baik. Dan karena tak ada saluran yang bisa dipakai untuk memuntahkan kekesalan, dengan mudah aksi mahasiswa -- yang semula cuma pawai duka cita -- berubah menjadi aksi protes sosial. Akhir dari semua ini masih belum bisa ditebak. Akankah pihak pemerintah memenuhi tuntutan para intelektual agar mereka membuka dialog dengan mahasiswa? Akankah Cina lalu melepaskan kekang reformasi politik, atau justru mengembalikan kediktatoran partai? Akan munculkah pemimpin baru? Pertanyaan terakhir itu, terutama, masih sangat remang-remang. Salah satu yang membuat protes mahasiswa kurang menjurus adalah karena mereka tak punya calon pemimpin buat menggantikan Deng, Zhao, dan Li Peng. Yang bisa ditebak, aksi mahasiswa masih belum akan berhenti dalam waktu dekat. Senin pekan lalu Panitia Persiapan Persatuan Solidaritas Mahasiswa Cina menyerukan dipersiapkannya gerakan besar-besaran untuk memperingati 4 Mei 1919. Yakni memperingati aksi mahasiswa Cina pertama yang menuntut demokrasi dan kebebasan akademis. Badai politik di Cina akan makin santer agaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini