Di sepetak taman di London, terpasang patung karya Rodin yang termasyhur, Les Bourgeois de Calais. Patung itu ternyata tak semengah seperti saya bayangkan dari gambaranya di buku seni rupa. Tapi ia karya Rodin: mengetarkan, wujudnya yang seperti meneruskan masa silam, tanpa rasa janggal, di masa kini. Sejarah memang bergaung di atasnya. Disebelah kiri, mengalir Sungai Thames yang tua. Di belakangnya: gedung Parlemen. Rodin mempersembahkan Les Bourgeois de Calais ke taman Parlemen Inggris itu di tahun 1913, untuk memperingati suatu peristiwa di tahun 1347: ketika pasukan Inggris, di bawah Raja Edward III, mengepung Kota Calais selama setahun, dan di tengah ancaman kelaparan yang terjadi, sejumlah orang Kota Calais menyerahkan diri sebagai sandera, agar pengepungan segera diakhiri dan rakyat Kota Calais bebas. Les Bourgeois: tiba-tiba kata itu tak sekadar bisa diterjemahkan menjadi "borjuis", dengan konotasinya yang menyebalkan. Tiba-tiba kata itu kembali ke artinya semula, yang mengambarkan orang kota yang bebas, terhormat, dinamis, dan -- mungkin aneh -- juga heroik. Karl Marx sendiri -- yang pengikutnya telah membuat kata "borjuis" jadi kata kotor -- pernah mengatakan bahwa betapapun tak heroiknya masyarakat borjuis, masyarakat itu lahir antara lain melalui "heroisme" dan "pengorbanan". Tidak cuma di Calais. Gedung Parlemen Inggris itu juga salah satu saksi: sebuah lembaga yang berdiri sebelum kaum bourgeois ada, tapi baru mendapatkan harkatnya setelah wakil-wakil "kalangan menengah itu hadir di sana -- dan kemudian menggerakkan, sedikit demi sedikit, apa yang disebut "demokrasi" sampai kini. Orang Inggris memang mujur dalam hal itu. Ada tradisi yang disebut witan dari orang Anglo-Saxon, yang menentukan agar para pemegang tahta berkonsultasi dengan hambanya, untuk memutuskan satu hal yang sangat menyangkut hidup mereka. Tak mengherankan bila Sir Walter Raleigh di abad ke-17 bisa membanggakan kelebihan sistem monarki Inggris atas "tirani bangsa Turki". Tapi toh Raleigh sedikit berilusi. Ia sendiri ikut dituduh berkomplot melawan Raja James I dan akhirnya dihukum pancung. Inggris diawal abad ke-17 memang Inggris yang masih bisa sewenag-wenang. Waktu itu, berpergian mencari kerja dianggap melanggar hukum. Seorang jaksa agung menyatakan, usaha bersama untuk menaikan gaji adalah penghianatan. Jual beli pun dikontrol: pemerintah memberikan monopoli kepada swasta tertentu untuk memproduksi barang, seperti sabun dan kaca jendela. Orang mati pun tak bebas: di tahun 1622 ditentukan, jenazah harus diberi pakaian wol. Dan siapa tak ke gereja akan dihukum. Juga parlemen (kata aslinya, parlementum, konon, dipakai pertama kali November 1236) yang sudah 400 tahun itu tetap barang yang ringkih. Sidangnya tak teratur, terserah raja. Dan bila ada anggota yang omongannya tak berkenan di hati baginda, ia bisa ditahan tanpa proses peradilan. Maka apa yang menyebabkan kemudian Parlemen berani? Sebuah Paradoks, kata Majalah the Economist ketika membahas buku A History of Parlement karya Ronald Butt, yang baru terbit. Dulu, para baron dan Kesatria yang menjadi anggota dewan itu selalu menjaga agar sang raja tak memajak rakyat. Namun bila tujuan ini berhasil, Parlemen justru akan kehilangan bobot. Raja Edward IV, misalnya, dapat memerintah tanpa dana dari rakyat. Maka ia pun tak membutuhkan Parlemen, dan di masanya, sidang lembaga ini semakin jarang. Tapi ketika raja bokek dan pajak diperlukan. Parlemen pun dibutuhkan. Di masa Charles 1, misalnya. Tapi betapa malangnya raja ini. Ia mewarisi pandangan ayahnya, James 1, bahwa raja Inggris punya lisensi khusus dari Gusti Allah dan bisa memerintah tanpa Parlemen. Tapi di masa itu juga, ia mewarisi sisa perang dari ayahnya. Untuk itu ia butuh duit. Ia pun memanggil Parlemen bersidang. Tapi ia tak tahu zaman sudah lain. Parlemen yang dihadapinya sudah penuh dengan kekuatan sosial baru, orang-orang kelas menengah, Les bourgeois yang butuh hak-hak baru. "Jangan anggap ini ancaman," kata Raja ketika ia mendesak Parlemen agar menyetujui pajak lagi. "Saya tak sudi mengancam siapa pun yang tak sederajat dengan saya." Parlemen tahu penghinaan itu, dan akhirny kita melihat: Charles I adalah raja yang dipancung 144 tahun sebelum Revolusi Prancis memancung rajanya. Demokrasi, pelbagai hak, rasanya memang tak bisa dipesan sekaligus, seperti kalau kita memesan nasi bungkus.Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini