Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gaza bukan kota mafia. Tapi, Rabu siang pekan lalu, di Jalan Jala, sekelompok orang bersenjata meluncur dengan mobil, memberondong Bashir Isa, 40 tahun, dengan timah panas. Isa, yang dikenal sebagai milisi Brigade Martir al-Aqsa, kontan bermandi darah dan segera dilarikan ke rumah sakit Kamal Odwan di Beit Lahia. Beruntung, nyawa-nya tertolong.
Adegan maut serupa terjadi sehari sebelumnya, ketika berondongan peluru melesat dari mobil yang melaju ke arah Hussein Khayri El-Shobasi, 30 tahun. Anggota polisi laut Palestina ini sedang berdiri di dekat Masjid Nur di kawasan Quiezan El-Najjar, Kota Khan Yunis, Jalur Gaza. El-Shobasi tewas di Rumah Sakit Naser. Hebatnya, semua terjadi pada siang bolong, disaksikan berpasang-pasang mata dengan penuh ketakutan dari balik pintu.
Kini kekerasan telah menjalar ke Tepi Barat. Di Nablus, anggota Brigade Martir al-Aqsa yang berafiliasi dengan faksi Fatah menyisir kota, mencari anggota Hamas. Kelompok ini menemukan pemimpin Hamas setempat, Fayyad al-Arba, sedang antre di Bank Islam Arab. Tak terdengar senjata api menyalak, tapi Al-Arba dibawa kabur dengan todongan senjata.
Semua adegan penculikan direkam kamera video. Lalu ditayangkan bersama suara pemimpin Brigade Martir al-Aqsa Nablus, Abu Jabal. ”Tuntutan kami pengunduran diri Menteri Dalam Negeri dan menekan Pasukan Eksekutif di Gaza,” ujar Jabal. Ia mengaku, anak buahnya telah menculik 10 milisi Hamas. Dalam tiga hari milisi Fatah dan Hamas menculik sekitar 50 orang anggota lawannya, kebanyakan di kota Tepi Barat, Nablus.
Sejak Hamas memperingati setahun usia pemerintahannya pada Kamis, 25 Januari lalu, jalan di Kota Gaza dan kawasan sekitarnya berubah menjadi medan tempur. Hasilnya 34 orang tewas dan 110 orang terluka. Di antara korban yang tewas adalah anak-anak yang nekat menonton baku tembak bak adegan film Hollywood itu. Penduduk pun takut keluar rumah. Toko dan sekolah tutup. Semua orang berpikir, Gaza akan menjadi zona perang sipil. ”Apa lagi yang bisa kita sebut konflik ini selain perang sipil,” ujar Abu Umar, pemilik toko di Gaza.
Maka Perdana Menteri Ismail Haniyah dan pembantu senior Presiden Abbas, Rawhi Fattuh, sepakat menerapkan gencatan senjata, Selasa pekan lalu. ”Hamas dan Fatah setuju menarik semua orang bersenjata dari jalanan dan menyingkirkan pos pemeriksaan, mengembalikan semua pasukan keamanan ke posisi mereka, dan mengakhiri semua bentuk ketegangan,” ujar Menteri Luar Negeri Mahmud al-Zahar.
Namun, sebagaimana bentrok Hamas-Fatah sebelumnya yang menewaskan 60 orang, gencatan senjata kali ini pun berhenti di mulut manis para pemimpin. Di jalanan senjata kedua milisi tetap menyalak. Korbannya bahkan seorang pejabat Hamas di Gaza, Hussein Shabasi. Ia tewas di tangan kelompok bersenjata dengan peluru menerjang kepalanya justru pada hari gencatan senjata disetujui.
Bertolak belakang dengan pernyataan para pejabat tinggi, Hamas dan Fatah berlomba memperkuat pasukannya. Pada akhir tahun lalu Hamas mengumumkan akan menambah jumlah ”Pasukan Pemerintah” dari 6.000 menjadi 12 ribu. Kabinet Perdana Menteri Ismail Haniyeh membentuk pasukan itu tahun lalu karena Pasukan Keamanan Nasional Palestina (NSF) memilih loyal pada Presiden Abbas. Penambahan Pasukan Pemerintah itu membuat berang Abbas dan menyatakan pasukan itu ilegal.
Sebaliknya Amerika, yang sangat berharap pemerintahan Haniyah terjungkal, memasok Abbas dengan bantuan US$ 86 juta untuk memperkuat Pasukan Keamanan Nasional. Bantuan itu—termasuk senjata, pelatihan, kendaraan, pakaian seragam—secara teoretis membantu Abbas menghadapi serangan militan Palestina terhadap Israel. ”Gagasannya adalah membangun legitimasi pasukan keamanan, membantu melindungi hukum dan ketertiban di Gaza dan Tepi Barat, memerangi teror,” ujar Gordon Johndroe, pejabat Gedung Putih.
Ambisi Fatah dan Hamas membangun kekuatan bersenjata membuat analis politik menduga bahwa keseimbangan kekuasaan antara dua faksi yang bersaing itu sepertinya diputuskan di jalanan, bukan di meja perundingan. ”Kami menuju dari situasi buruk ke paling buruk. Saya pesimistis, kekerasan tak akan berhenti pada akhir pekan ini. Butuh beberapa pekan lagi,” ujar Nashat Aqtash, bekas konsultan media Hamas. ”Mereka mengambil jalan panjang dan bertempur untuk menang. Kemenangan berarti menguasai jalanan.”
Meski rekonsiliasi diupayakan oleh Presiden Mahmud Abbas dan Perdana Menteri Ismail Haniyah, pertempuran di jalanan dipercaya disetir oleh orang kuat semacam Muhammad Dahlan, bekas kepala Pasukan Keamanan Nasional, dan Said Siam, Menteri Dalam Negeri Hamas yang mengontrol ”Pasukan Pemerintah”. ”Mereka menggunakan kekerasan untuk meningkatkan posisi tawar mereka,” ujar Omar Shaban, analis politik di Gaza. Menurut Shaban, Hamas dan Fatah sudah tak saling percaya. Apalagi, katanya, di kedua kelompok ada orang yang tak tertarik dengan satu pemerintahan bersama.
Selain itu, kekerasan terbaru mendorong Hamas dan Fatah menuduh lawannya menjadi pion kepentingan asing yang tak merefleksikan kepentingan rakyat Palestina. ”Ada kemungkinan Hamas ngotot memprovokasi kekerasan karena mereka tak percaya pada perkongsian politik. Mereka ingin menerapkan agenda pihak luar terhadap rakyat Palestina,” ujar juru bicara Fatah di Gaza, Maher Miqdat. Ia menunjuk pengaruh Iran terhadap Hamas.
Sebaliknya kelompok Hamas menuduh Fatah menjadi alat bagi Amerika dan Israel lewat bantuan Amerika untuk memperkuat pasukan yang loyal pada Presiden Abbas. Semua semata-mata untuk kepentingan Israel dengan kedok perang melawan terorisme. ”Tak ada keraguan ini adalah bagian dari kebijakan Amerika yang bertujuan memprovokasi meluasnya perang sipil untuk melayani rencana busuk Zionis,” ujar Ismail Ridwan, juru bicara Hamas.
Menurut Ridwan, indikasinya sudah jelas. Setiap kali Amerika melihat Hamas dan Fatah akan mencapai kata sepakat, Gedung Putih mengirim Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice untuk menggagalkan atau dengan mengumumkan pemberian bantuan kepada Presiden Abbas untuk meningkatkan ketegangan Fatah dan Hamas. Ridwan menunjuk kegagalan Abbas untuk mencapai kata sepakat dengan tokoh garis keras sayap politik Hamas di pengasingan, Khaled Mashaal, di Damaskus, Suriah, akhir tahun lalu.
Konflik berdarah Fatah-Hamas ini merupakan sejarah terburuk perjuangan rakyat Palestina. Dulu, pernah ada 12 kelompok bersenjata Palestina. Mereka mempersenjatai kaum sipil untuk melawan pendudukan Israel sudah sejak Fatah didirikan Yasser Arafat pada 1950. Senjata api merupakan pakaian sehari-hari rakyat Palestina. Sebagian besar milisi itu tergabung dalam Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), dengan Fatah sebagai faksi terbesar. Ketika pemerintah nasional (Otoritas Palestina) belum terbentuk, semua sepak terjang milisi fokus pada penghancuran musuh bersama: Israel.
Kala itu milisi Palestina hanya mengeksekusi warga Palestina yang menjadi antek Israel. Ketika pemerintah nasional terbentuk, kini sesama rakyat Palestina saling bunuh dan milisi sebagai eksekutornya. Menurut pengamat politik Ramzy Baroud, konflik berdarah Fatah-Hamas ini menunjukkan Palestina terperangkap dalam rencana Israel dan Amerika. ”Rakyat Palestina seharusnya malu telah saling membantai, satu tindakan yang seharusnya hanya dilakukan terhadap Israel,” ujar Baroud.
Jika perang sipil terjadi, tentu Israel tidak perlu repot melakukan operasi militer ke wilayah Palestina, dan bom bunuh diri malah meledak di Jalur Gaza dan Tepi Barat, bukan di Israel.
Raihul Fadjri (Arab News, The Guardian, AFP, CS Monitor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo