Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
USS Bataan bergerak melalui Terusan Suez menuju Teluk Persia, Selasa pekan lalu. Kapal induk sepanjang lebih dari 250 meter yang dilengkapi tujuh kapal perang, helikopter-helikopter, jet-jet tempur Harrier, dan 2.200 marinir itu mengarah ke Teluk Persia. Kapal induk John C. Stennis, yang biasa digunakan sebagai kapal perang khusus pengangkut pesawat-pesawat tempur, akan menyusul Bataan, akhir Februari ini. Kapal-kapal raksasa ini merapatkan barisan dengan USS Dwight D. Eisenhower yang sudah mangkal di Teluk. Total, kekuatan militer Amerika Serikat yang siaga di barat garis pantai Iran akan mencapai 50 kapal perang dan ratusan pesawat tempur.
Dengan kekuatan militer sebesar itu, menurut World Socialist Web Site, AS akan mampu melakukan serangan udara masif 24 jam sehari selama 30-40 hari tanpa henti. Logistiknya didukung pangkalan militer AS di Bahrain, Al-Udaid di Qatar, dan Diego Garcia di sebuah pulau di Lautan India. Sedangkan satelit AS mampu menggambarkan 1.500 target yang ada kemungkinan terkait dengan fasilitas persenjataan nuklir Iran, tersebar di 18 lokasi. Kerusakan yang ditimbulkan pasti akan sangat besar.
Amerika sedang menggeram keras di hadapan Iran. Pemerintahan Presiden George W. Bush yakin Iran telah membantu persenjataan dan keuangan milisi Syiah di Irak, Muqtada al-Sadr, dan menyulut perang saudara antara Sunni dan Syiah. Menurut Wakil Menteri Luar Negeri AS, Nicholas Burns, lima warga Iran yang ditahan tentara AS pada 11 Januari lalu adalah anggota Al-Quds dari Garda Revolusioner Iran, bukan diplomat seperti dikatakan pemerintah Iran. Sebelumnya, pada Desember, tentara AS juga menahan beberapa diplomat Iran di Bagdad.
Seperti isi pidato kenegaraan Presiden Bush tentang langkah-langkah untuk meraih ”menang di Irak”, pemerintah AS tidak akan menenggang pihak-pihak di luar Irak yang menyulut konflik sektarian Sunni-Syiah. Yang dimaksud adalah Suriah dan Iran. Untuk itu, Bush bertekad mencari dan menghancurkan jaringan Iran di Irak. ”Bila Iran mengancam keselamatan tentara AS dan/atau rakyat Iran, kami pasti tidak tinggal diam,” kata Bush dalam wawancara dengan Radio Publik Nasional, Senin pekan lalu. Pernyataan ini keluar setelah lima tentara AS meninggal akibat diserang milisi yang diduga anggota Garda Revolusioner Iran di Karbala, 20 Januari lalu.
Iran jelas punya kepentingan di Irak. Dan pengaruh Iran di Irak, kemungkinan besar telah menggurita. Dalam pembicaraan di antara komunitas intelijen AS, Desember lalu, penetrasi Iran diperkirakan telah menyebar di berbagai lembaga penting Irak seperti Kementerian Dalam Negeri, Kesehatan, Pertahanan, Angkatan Bersenjata, dan Bea-Cukai.
Menurut Munir Elkhamri, mantan penerjemah tentara AS, yang sekarang menjadi analis di lembaga militer AS, semula Iran secara rahasia mendukung invasi AS ke Irak. Lalu pada awal 2004, pasukan Quds dan Kementerian Intelijen dan Keamanan Iran membuka ”Kantor Pertolongan bagi Syiah Irak Miskin”. Kantor tersebut merekrut pemuda-pemuda Syiah dan memberikan uang US$ 1.000 (Rp 9 juta) per bulan kepada setiap orang. Selama 2004, lembaga tersebut berhasil mengumpulkan 70 ribu pemuda, yang kemudian disebar ke berbagai lembaga pemerintahan, termasuk menjadi milisi. Laporan Elkham-ri itu didasarkan pada data intelijen dari lingkaran dalam Saddam Hussein.
Memang, dari paparan Elkhamri tampak jelas Iran punya andil dalam konflik sektarian di Irak yang marak sejak Februari 2006. Namun, anggapan AS bahwa Iran adalah musuh bukan baru-baru ini saja. Sejak Revolusi Iran 1979, AS sudah memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran dan menutup kantor kedutaannya di Teheran. Dalam pidato kenegaraan Presiden Bush pada 2002, Iran disebut sebagai salah satu negara ”poros setan”, selain Irak dan Korea Utara.
Para hawkish, elang-elang, sosok-sosok neokonservatif di sekitar Bush yakin, yang harus dikhawatirkan berperan menyebarkan terorisme adalah Iran, bukan Irak. Sebulan menjelang pemilihan umum sela AS, November tahun lalu, tim keamanan nasional AS sudah menghitung sangat serius cara menghadapi Iran. Wakil Presiden AS, Dick Cheney, memimpin pembahasan tersebut di Old Executive Office Building yang terletak di samping Gedung Putih. Ketika itu, popularitas Bush sudah merosot drastis akibat kebijakan perang Irak dan Partai Republik sudah menduga akan kalah dengan Demokrat.
Yang menjadi inti pembicaraan bukanlah kekhawatiran jika Demokrat mengurangi biaya perang di Irak, melainkan kalau Demokrat menghentikan pembiayaan operasi-operasi intelijen AS untuk menjatuhkan atau menggoyang pemerintah Iran. Cheney, yang satu kubu dengan mantan Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, khawatir Iran akan berhasil membuat senjata nuklir. Kelompok neokonservatif bahkan tidak ragu memilih opsi menyerang Iran demi menghentikan aktivitas nuklir Iran.
Intelijen AS, Eropa, dan pihak Badan Energi Atom Internasional (IAEA) seia sekata: Iran berencana mengembangkan kemampuan untuk menghasilkan senjata nuklir. Hanya saja, tidak ada data intelijen yang bisa menyatakan berapa lama waktu yang dibutuhkan Iran untuk sampai ke tahap tersebut. Intelijen Israel yakin Iran mampu membuat senjata nuklir dalam satu atau dua tahun ke depan. Sedangkan menurut perhitungan AS, Iran butuh lebih dari satu dekade hingga mampu membuat senjata nuklir.
AS tampaknya tidak akan menyerang Iran, karena itu terlalu berisiko. Sikap anti-Amerika di kalangan penduduk Islam di dunia akan meningkat tajam. ”Irak adalah kerusakan yang harus kita selesaikan, sedangkan Iran adalah kerusakan yang harus kita hindari,” kata Joseph Cirincione, dari lembaga think-tank Center for American Progress. Presiden Bush pun menyatakan tidak akan menyerang Iran, Kamis pekan lalu.
Walau begitu, kegiatan Washington yang mengganggu dan mengancam Teheran tetap berjalan. Tidak hanya dengan memusatkan kekuatan militer di Teluk Persia seperti sekarang, upaya pemerintah AS menggoyang stabilitas pemerintah Iran sudah berlangsung lama. Pada 2001, misalnya, pemerintah AS mendukung terbentuknya Koalisi untuk Demokrasi Iran (CDI). Tujuannya adalah mendukung aspirasi pihak-pihak oposisi di Iran yang menginginkan terbentuknya demokrasi di negara mereka. Pada Mei 2003, muncul Akta Demokrasi Iran yang memberikan US$ 50 juta (Rp 45 miliar) untuk mendanai berdirinya radio-radio yang menyuarakan demokrasi dan mendukung aktivitas-aktivitas sipil lainnya yang memungkinkan ke arah pergantian pemerintahan.
Cara lebih kasar juga dilakukan. Pentagon memotong wewenang Badan Intelijen Pusat (CIA) dengan melakukan operasi intelijen di sekitar Iran. Rumsfeld, ketika dia masih Menteri Pertahanan, adalah arsitek semua aktivitas militer dan intelijen bawah tanah ini. Pentagon mendukung milisi sayap kanan Mujahidin-e Khalq (MEK) yang bermarkas di selatan Iran. Mereka adalah suku Balukistan yang Sunni dan Khuzestan yang Syiah. Kelompok ini bertujuan menumbangkan pemerintah Iran. Pentagon mendekati MEK segera setelah AS menginvasi Irak pada 2003. AS dan Israel juga mendukung kelompok perlawanan Kurdi di Kurdistan. Grup ini biasa menyeberang ke perbatasan Iran dan membuat huru-hara di sana.
Saat ini, Irak menjadi ajang konfrontasi Iran-AS. Ini tak akan tuntas begitu saja, karena Iran dan AS punya skenario sendiri tentang Timur Tengah. Bagi AS, Timur Tengah baik jika Israel tak terancam. Sedangkan skenario Iran adalah Timur Tengah tanpa Israel.
Bina Bektiati (New Yorker, The Sun, Economist)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo