Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Di Sini Musim Semi Arab dipertaruhkan

Pemilu legislatif Tunisia diwarnai pertentangan kekuatan Islam dan sekuler plus ancaman kekerasan kelompok militan. Benteng terakhir bagi eksperimen demokrasi di negara-negara Arab. Tempo melaporkan dari Tunisia.

3 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI ruangan seluas rumah tipe 36 atau 45 itu, meja, komputer, printer, mesin fotokopi, dan mesin pemindai seperti berebut tempat. Di antara itu, berjejalan tumpukan map besar, tas-tas cangklong, dan puluhan keping selongsong kartu pengenal. Cat dinding yang putih bersih sama sekali tak kuasa menyamarkan keadaan yang sebenarnya; bahwa di kantor ini kesibukan bukanlah kata yang pas sebagai penggambaran. Para anggota staf Komisi Tinggi Independen Pemilihan Umum (ISIE) di bagian akreditasi bagi pemantau dan wartawan itu nyaris kewalahan menghadapi pekerjaan yang menggunung.

"Kami harus menerima ribuan panggilan telepon," kata seorang anggota staf yang tak mau disebut namanya kepada Tempo. Hari itu, Jumat dua pekan lalu, pemilu legislatif Tunisia kurang 48 jam ke depan. "Kami kewalahan," dia menambahkan.

Dengan jumlah petugas terbatas, urusan pembuatan kartu identitas wartawan dan pemantau pemilu jadi tercecer. Banyak kartu pengenal belum rampung hingga hari pemilihan, termasuk yang dialokasikan untuk tim pemantau dari Indonesia, yang khusus diundang oleh Ketua ISIE Chafik Sarsar.

Kantor itu menempati bangunan berlantai empat di Lafayette, Tunis, kawasan tengah kota yang padat dengan apartemen. Kesibukan terlihat sejak di luar. Dua polisi bersenapan berjaga-jaga di pintu masuk, orang ramai datang dan pergi. Di dinding luar gedung, tampak poster yang didominasi warna merah bertulisan huruf-huruf Arab. Isinya? Informasi tentang pemilu, yang dijadwalkan berlangsung pada Ahad dua pekan lalu.

Poster inilah tanda bahwa pekan itu Tunisia sedang menjalani unsur penting berdemokrasi—jalan yang belum lama mereka tempuh—yakni pemilihan umum. Huruf-huruf Arab yang tercantum di poster itu menyiarkan jadwal pemilu pada Ahad dua pekan lalu.

Di Tunis, juga kota-kota lain di seluruh negeri, hanya di lokasi-lokasi tertentu kita bisa menjumpai petunjuk bahwa ada "pesta demokrasi". Di tempat-tempat ini, poster dari semua partai peserta pemilu dikumpulkan, lalu ditempelkan di bagian yang sudah ditandai di dinding kosong di tepi jalan. Selain daftar plus foto kandidat, poster berisi aneka program atau janji-janji partai.

Bila ada orang yang mendapat kesan antusiasme pemilu di salah satu negara Magribi itu nihil, atau sekurang-kurangnya minim, ya, tidak berlebihan juga. Temuan Pew Research Center setidaknya "memastikan" kesan tersebut. Menyelenggarakan survei sepanjang 19 April-9 Mei lalu, melalui wawancara tatap muka dengan 1.000 responden, lembaga pemikir nonpartisan dari Amerika Serikat ini menemukan dukungan rakyat Tunisia terhadap demokrasi merosot secara signifikan.

Ada beberapa statistik pokok yang menyokong. Antara lain, hanya 48 persen responden mengatakan demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang lebih mereka sukai ketimbang sistem lain, hanya 38 persen yang memilih pemerintahan demokratis dibanding pemimpin yang keras untuk mengatasi masalah negara, dan 59 persen memilih pemimpin yang kuat. Untuk kategori pertanyaan yang sama, survei serupa pada 2012, atau beberapa bulan setelah demonstrasi besar-besaran sukses menjatuhkan Presiden Zine el-Abidine Ben Ali, menemukan angka 61 persen, 61 persen, dan 37 persen.

* * * *

Lesunya minat terhadap demokrasi bukan satu-satunya tantangan serius bagi Komisi Pemilihan Umum Tunisia, ISIE. Hal lain yang dianggap tak kalah mencemaskan adalah polarisasi tajam antara ideologi Islam dan sekuler (atau nasionalisme). Dua kekuatan ini diwakili oleh Gerakan Ennahda dan Gerakan Nidaa Tounes. Keduanya adalah partai peserta pemilu yang diperkirakan memperoleh suara terbesar. Menurut sejumlah pengamat, pertentangan itu merupakan tren yang timbul akibat lemahnya negara setelah Ben Ali jatuh. Juga karena tak ada strategi keagamaan oleh pemerintah serta memburuknya kondisi wilayah miskin dan distrik di perkotaan.

Muncul dan menjadi kekuatan politik penting, islamisme, menurut Alaya Allani, peneliti gerakan Islam dan pengajar di Manouba University di Manouba, sebelah timur laut Tunisia, "telah menjadi ideologi protes". "Ideologi itu berusaha membalas represi keji terhadap Islam selama 23 tahun rezim Ben Ali," katanya, seperti dikutip Al Jazeera sepekan sebelum hari pemilu.

Didukung kemampuan berorganisasi yang baik, pada pemilu 23 Oktober 2011, yang diselenggarakan untuk mengisi keanggotaan Majelis Konstituante Nasional, Ennahda merebut 37 persen suara. Jumlah ini tentu saja tak cukup untuk menguasai mayoritas dari 217 kursi yang ada. Karena itu, Ennahda berkoalisi dengan beberapa partai lain.

Meski diilhami Al-Ikhwan al-Muslimun dari Mesir dan digambarkan sebagai gerakan yang tumbuh bersamaan dengan revolusi Iran pada 1979, Ennahda mengklaim dirinya "islamis modern" yang percaya pada demokrasi. Tapi ini tak cukup meyakinkan kaum sekuler. Bagi mereka, gerakan Islam merupakan ancaman bagi Tunisia yang modern, sekuler, dan cenderung berorientasi ke Barat. Merdeka dari Prancis pada 1956, Tunisia adalah negeri dengan 99 persen pemeluk Islam.

Kekhawatiran itu belakangan diperkuat oleh gerakan-gerakan Islam lain yang terang-terangan menyatakan antidemokrasi. Umpamanya Ansar al-Sharia, yang oleh pemerintah Tunisia dituduh berada di balik beberapa pembunuhan bermotif politik tahun lalu. Di sisi ini, isyarat buruk tampak dari fakta bahwa Tunisia merupakan negara yang jumlah warganya paling besar ikut bergabung dengan kelompok militan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS)—yang kemudian mengubah nama menjadi Islamic State. Jumlah mereka, menurut perkiraan pemerintah, sekitar 3.000 orang.

Pemilu kedua sejak jatuhnya Ben Ali, yang dianggap sebagai revolusi yang mengawali Musim Semi Arab, menjadi penting terkait dengan perkembangan itu. Setelah Tunisia, beberapa negara Arab sempat melalui badai gerakan prodemokrasi; Mesir, Libya, Yaman, Bahrain, Suriah, dan Aljazair termasuk di antaranya. Di Mesir, Libya, dan Yaman, gerakan itu berhasil menurunkan penguasa otoriter dan brutal. Tapi hanya Tunisia yang masih bertahan dalam damai, tanpa terperosok ke dalam konflik berdarah yang memecah-belah negara.

Berbeda dengan pemilu 2011, pemilu kali ini merupakan proses yang secara reguler akan terus diulang setiap lima tahun untuk merotasi keanggotaan Majelis Wakil Rakyat—atau parlemen. Partai-partai baru, termasuk Nidaa Tounes, bersaing merebut suara sekitar lima juta pemilih yang terdaftar (60 persen dari jumlah penduduk yang berhak memilih). Yang ikut bertarung mencapai seratusan partai, koalisi partai, atau peserta independen, dengan lebih dari 1.200 kandidat. Berdasarkan konstitusi baru, yang merupakan hasil pekerjaan Majelis Konstituante Nasional, parlemen terdiri atas 217 kursi.

Pemilu parlemen itu bisa terselenggara setelah undang-undangnya rampung dibahas di Majelis Konstituante Nasional. Setelah parlemen baru terbentuk lembaga ini bakal dibubarkan. Proses kelahiran undang-undang berlangsung singkat, hanya lima bulan, dimulai sejak konstitusi baru resmi berlaku pada Januari 2014. Beberapa isu dibicarakan, melibatkan serangkaian dengar pendapat dengan aneka pemangku kepentingan. Antara lain, organisasi kemasyarakatan sipil dan wakil-wakil warga Tunisia yang tinggal di beberapa negara lain.

Satu isu paling krusial dan mengundang perdebatan panjang adalah usul mendiskualifikasi tokoh-tokoh dari rezim Ben Ali. Mereka ini termasuk pejabat pemerintah dan petinggi Majelis Konstitusional Demokrat (RCD), partai penguasa waktu itu.

Pihak yang setuju beralasan mengecualikan para tokoh itu merupakan syarat niscaya bagi "pelestarian revolusi". Dengan kata lain, agar demokrasi tak tercemar. Mereka yang menentang menyebutkan jaminan konstitusi tentang kesamaan hak di depan hukum sebagai dasar argumentasi. Di luar posisi bertolak belakang itu, ada pula yang melihat pemberian kesempatan bagi tokoh lama untuk berpolitik justru akan menghindarkan negara dari upaya balas dendam yang bisa membahayakan proses peralihan menuju demokrasi.

Usul itu pada akhirnya harus diputuskan melalui pemungutan suara yang emosional. Sementara keluarga para korban revolusi berdemonstrasi di luar gedung Majelis, wakil-wakil rakyat menetapkan tokoh lama boleh mencalonkan diri dalam pemilu. Hasilnya? Yang setuju 100 orang, yang menentang 27 orang, dan yang abstain 46 orang. Adapun suara minimal yang dibutuhkan agar usul lolos adalah 109. Ennahda menyebut hasil voting ini sebagai "petunjuk bahwa kita menghindari perpecahan".

Toh, undang-undang pemilu yang dihasilkan tak henti-hentinya mendapat pujian dari berbagai kalangan. "Ini termasuk undang-undang yang amat maju, apalagi di kawasan Arab," kata I Ketut Putra Erawan, Direktur Eksekutif Institute for Peace and Democracy, yang memimpin tim pemantau dari Indonesia.

Menurut undang-undang baru, peserta pemilu harus memasukkan daftar calon yang proporsinya 50 persen perempuan; urut-urutan dalam daftar harus disusun berselang-seling antara calon laki-laki dan perempuan. Peserta diwajibkan meletakkan calon berusia di bawah 35 tahun di antara empat nama teratas dalam daftar untuk daerah pemilihan dengan empat kursi atau lebih.

* * * *

DI keramaian waktu mengopi di Avenue Habib Bourguiba, di median yang berseberangan dengan kafe-kafe di trotoar, berdirilah tenda berwarna putih. Sejumlah laki-laki dan perempuan berkaus putih bergambar bohlam sibuk membagikan brosur kepada pejalan kaki. Sepotong musik Timur Tengah bergetar di pengeras suara. Inilah tenda kampanye. Pada siang terik itu, Jumat dua pekan lalu, Persatuan untuk Tunisia mencoba peruntungan membujuk pemilih di kawasan bersejarah yang kerap diidentikkan dengan Champs-Élysées di Paris tersebut.

Kebetulan hadir Salma Baccar, anggota Majelis Konstituante Nasional dari Jalan Sosial Demokrat yang dikenal sebagai sutradara film dan pejuang hak-hak perempuan. Jalan Sosial Demokrat merupakan satu dari tiga partai kecil anggota koalisi Persatuan untuk Tunisia. Perempuan 68 tahun itu terlihat bergas dan gesit. Semangatnya menyala-nyala jika ditanya isu gender. Tapi, untuk pertanyaan lain, dia tetap antusias. "Kenapa logo Anda berupa bohlam?" Dia menyahut dengan serius, "Karena beberapa tahun lalu kami dalam kegelapan. Kami perlu penerangan."

Hari itu merupakan kesempatan terakhir berkampanye. Semua partai mengerahkan sisa-sisa kemampuan mereka menjajakan program. Tapi, di Tunis, tetap saja sulit menjumpai keramaiannya. Di luar tenda-tenda seperti yang didirikan Persatuan untuk Tunisia, hampir tak ada rapat akbar, apalagi arak-arakan. Keramaian baru bisa ditemukan di La Goulette, kawasan pelabuhan yang menghadap ke Laut Tengah. Di satu pelataran di seberang kafe dan restoran yang menghidangkan masakan campuran Arab dan Italia, berdiri panggung kampanye Nidaa Tounes, partai yang diperkirakan berpeluang menang.

Beberapa saat sebelum acara dimulai, mobil-mobil aneka merek—umumnya buatan Eropa—lalu-lalang. Setiap mobil sesak oleh penumpang yang mengibar-ngibarkan bendera partai. Beberapa pengopi di kafe menyambut mereka. Lagu-lagu Timur Tengah menghibur orang-orang yang sudah duduk menunggu.

Acara baru dimulai setelah langit gelap. Para calon bergantian berpidato. Kerumunan orang terus bertambah. Mereka kian bersemangat setiap kali pembicara meninggikan nada pidato. Beberapa anak ikut mengibar-ngibarkan bendera Tunisia. Tema kampanye adalah kritik terhadap Ennahda, yang disebut telah salah mengurus ekonomi dan gagal menangani kelompok-kelompok Islam militan.

Tampaknya Nidaa Tounes berhasil mengkapitalisasi kritik itu. Berbeda dengan perkiraan, pemilik suara terdaftar yang pada Ahad dua pekan lalu ikut berduyun-duyun ke bilik-bilik suara mencapai 62-65 persen. Sebagian besar memberikan suara untuk kemenangan partai yang dipimpin oleh Beji Cadi Essebsi itu. Essebsi, kini 87 tahun, adalah politikus veteran. Pada masa peralihan dulu, dia pernah menjabat Perdana Menteri Tunisia.

Ketua ISIE Chafik Sarsar mengaku memahami perkiraan pesimistis tentang jumlah pemilih yang akan menggunakan hak suara. "Karena ini masih masa transisi, partisipasi bisa rendah," ucapnya saat menerima kunjungan tim pengamat dari Indonesia di kantornya. "Tapi rakyat kelihatan mau ikut membangun Tunisia baru, sehingga banyak yang datang, bahkan pagi sebelum tempat pemungutan suara dibuka," dia menambahkan.

Kegairahan itu terpancar, misalnya, dari ekspresi Haleem Moussa saat kelar memilih di ruang kelas Sekolah Dasar Borj Cedria, kota kecil berjarak 40-an kilometer di tenggara Tunis. "Saya tak akan melepas kesempatan untuk mereguk udara kebebasan ini," katanya dengan wajah berseri-seri.

Klaim kemenangan Nidaa Tounes diumumkan sehari setelah pencoblosan. Mula-mula pesaing terbesarnya, Ennahda, menepis klaim pihak Nidaa Tournes. Tapi, tak lama kemudian, pengakuan datang juga. Hasil resmi penghitungan di ISIE pada Kamis pekan lalu mengukuhkannya: Nidaa Tounes memperoleh 85 kursi, Ennahda menempati urutan kedua dengan 69 kursi.

Kemenangan itu belum menjamin berlangsungnya pemerintahan yang stabil. Selain masih harus melamar partai-partai lain untuk berkoalisi, pengalaman tiga tahun masa transisi menunjukkan peluang perbedaan yang signifikan—yang bisa menimbulkan guncangan.

Sejak penggulingan rezim Ben Ali, terhitung sudah empat kali terjadi pergantian pemerintah. Yang terakhir bahkan memaksa Ennahda memberi kesempatan ke pemerintah independen. Itu terjadi setelah Ennahda gagal menangkis serangan oposisi bahwa partai ini gagal mengontrol sepak terjang kelompok Islam militan.

Kesediaan menyerahkan kekuasaan ini, yang direstui Rashid al-Ghannushi, pemimpin Ennahda, membedakannya dengan apa yang dipertahankan oleh Al-Ikhwan al-Muslimun saat berkuasa di Mesir setelah rezim Husni Mubarak diruntuhkan. Kekerasan pendirian Al-Ikhwan al-Muslimun menjadi sumber kegagalannya sebagai pemenang pemilu—paling tidak sejauh ini.

Sebelum pemilu, ada yang optimistis, masa depan Tunisia sebagai "buaian Musim Semi Arab" akan tetap aman. Perubahan drastis bisa dicegah selama Ennahda mampu mempertahankan adab berpolitik. Wajar bila pemilu parlemen kali ini dianggap bukti berhasilnya kekuatan Islam moderat dan kelompok sekuler membimbing negara menuju demokrasi tanpa pertumpahan darah. Tak berlebihan pula bila hal ini dianggap dapat memenuhi harapan sebagian besar rakyat: mereka tak mau kembali ke masa lalu dan mereka jeri pada kemungkinan Tunisia pecah berkeping macam beberapa negara tetangganya.

Purwanto Setiadi (Tunis, Tunisia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus