Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebanyak 189 karung beras plastik ukuran 50 kilogram mangkrak di depan ruang Subdirektorat Politik dan Dokumen di gedung Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia di kawasan Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Berisi lebih dari 23 ribu eksemplar tabloid Obor Rakyat edisi ketiga dan keempat, karung-karung itu memenuhi hampir seluruh aula yang biasa digunakan apel anggota subdirektorat tersebut.
Juli lalu, polisi menyita tabloid itu dari kantor pusat PT Pos Indonesia di Bandung. Tabloid yang isinya kampanye hitam terhadap Joko Widodo—yang saat itu mencalonkan diri menjadi presiden—tersebut sebelumnya direncanakan akan disebarkan ke semua pondok pesantren di tiga provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. "Sebagian lainnya sudah telanjur dikirim," kata Kepala Subdirektorat Politik dan Dokumen Komisaris Besar Agus Sarjito kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Kendati sudah disidik sejak Juli lalu, kasus ini ternyata tak kunjung juga "dilempar" ke pengadilan. Yang terjadi justru berkas pemeriksaan yang bolak-balik antara kejaksaan dan kepolisian. Dua pekan lalu, misalnya, Kejaksaan Agung mengembalikan berkas perkara kepada penyidik untuk dilengkapi lagi.
Kejaksaan meminta penyidik memeriksa Joko Widodo sebagai pihak yang dihina. Selain itu, jaksa meminta penyidik memperdalam keterangan dari sejumlah ahli pidana terkait dengan kasus ini. Itu, menurut jaksa, karena Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang digunakan penyidik adalah delik aduan. "Karena itu, harus ada keterangan dari pihak yang merasa dirugikan atau dihina," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Tony Tribagus Spontana.
Senin pekan lalu, Agus kembali mengirimkan berkas itu ke Kejaksaan Agung. Menurut dia, pihaknya sudah melengkapi apa yang diminta jaksa. Ia mengharapkan berkas itu bisa segera dinyatakan lengkap agar dapat dilakukan pelimpahan barang bukti dan tersangka. "Pusing lihat karung-karung itu. Kalau cepat selesai kan kami bisa apel di sana lagi," ucapnya. Kepada Tempo, Tony tak bisa memastikan apakah berkas akan segera dinyatakan lengkap. "Saat ini masih diteliti," katanya.
Obor Rakyat membuat gempar publik pada Mei-Juni lalu. Tabloid itu tiba-tiba "masuk" ke sejumlah pesantren lewat jasa PT Pos. Kepada Tempo, pemimpin Pondok Pesantren Al-Ijma, Garut, misalnya, menyatakan keheranannya mendapat tabloid itu. "Saya tak merasa berlangganan," ujarnya.
Isi tabloid itu benar-benar "menghajar" Joko Widodo. Calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini, misalnya, disebut beragama Katolik dan keturunan Tionghoa. Tim pemenangan Jokowi pun lantas melaporkan Setiyardi Budiono dan Darmawan Sepriyosa ke Markas Besar Polri pada 16 Juni lalu. Dalam tabloid itu, Setiyardi tertulis sebagai pemimpin redaksi, sementara Darmawan salah satu penulis artikelnya. Sehari-hari Setiyardi adalah Deputi Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah Velix Wanggai.
Taufik Basari dari tim hukum Jokowi mengadukan kedua orang itu dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis serta Undang-Undang Pemilihan Presiden tentang kampanye hitam. Ancaman maksimal jika terbukti melanggar undang-undang itu adalah lima tahun penjara. Tim hukum juga berharap polisi bisa mengungkap otak di balik tabloid tersebut.
Tiga hari setelah menerima laporan itu, polisi memanggil Setiyardi dan Darmawan. Namun keduanya tak hadir. Baru sepekan kemudian Setiyardi memenuhi panggilan polisi. Sedangkan Darmawan tak hadir dengan alasan sedang menjalankan ibadah umrah. Polisi juga menelusuri alamat redaksi yang tercantum dalam tabloid itu di Jalan Pisangan Timur Raya XI, Jakarta Timur. Tapi alamat itu ternyata fiktif. "Nama sejumlah anggota staf redaksi yang lain juga fiktif," ucap Agus Sarjito.
Di hadapan penyidik, Setiyardi tak membantah jika dia disebut sebagai pemrakarsa terbitnya Obor Rakyat. Namun dia membantah jika dikatakan sengaja menerbitkan tabloid itu untuk melakukan kampanye hitam. Soal alamat fiktif, ia menyatakan alamat itu memang sengaja dipakai karena belum memiliki kantor tetap. Adapun perihal penyandang dananya, jawaban Setiyardi berubah-ubah.
Awalnya dia mengaku merogoh kocek sendiri biaya untuk penerbitan tabloid itu. Belakangan, ia mengaku mendapat dana dari dua rekannya, pengusaha Zaenal Asikin asal Lampung dan Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Bencana Alam dan Bantuan SosialYanno Nunuhitu.
Zaenal dan Yanno dimintai keterangan oleh polisi. Keduanya mengaku dimintai uang oleh Setiyardi. Namun mereka menyatakan tak tahu jika uang itu digunakan sebagai biaya kampanye hitam. "Status dua orang itu sampai kini masih sebagai saksi," kata Agus.
Alasan Setiyardi ini rupanya membuat polisi bimbang menerapkan pasal pidana kepada kedua orang itu. Pada 4 Juli lalu, keduanya ditetapkan sebagai tersangka. Tapi undang-undang yang dipakai menjerat mereka adalah Undang-Undang Pers. Penyidik menilai keduanya melanggar Pasal 9 Undang-Undang Pers, yakni menerbitkan media tanpa badan hukum yang jelas. Ancaman pelanggar pasal "hanya" denda Rp 100 juta. Menurut Agus, pasal itu diterapkan karena awalnya pihaknya kesulitan meminta keterangan Jokowi sebagai pihak yang dirugikan. "Selain itu, sejumlah ahli pidana menolak saat dimintai pendapat karena menganggap kasus ini sarat kepentingan politik," ujarnya.
Menghadapi masalah ini, tim penyidik berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Menurut Agus, disepakati untuk menerapkan Undang-Undang Pers lebih dulu. Kendati demikian, mereka juga sepakat kasus ini bisa dikembangkan ke Pasal 310 dan 311 KUHP soal pencemaran nama. Adapun penggunaan Undang-Undang Pencegahan Diskriminasi Ras dan Etnis dinilai tak mendesak. "Kami ambil pasal yang mendesak saja. Kami juga harus berhati-hati dalam penerapan pasal."
Penerapan pasal pencemaran nama baru dilakukan polisi setelah Mahkamah Konstitusi memenangkan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam sengketa pemilihan presiden melawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada 20 Juli lalu. Agus membantah anggapan bahwa penerapan itu disebut sengaja menunggu putusan Mahkamah. "Penerapan pasal itu setelah penyidik meminta keterangan sejumlah saksi ahli pidana dan bahasa," katanya. Agus menyatakan polisi tidak menahan Setiyardi dan Darmawan karena keduanya kooperatif.
Tak hanya terganjal penerapan pasal, penanganan kasus ini juga mengalami kendala dengan padatnya jadwal Joko Widodo. Sejak awal Juli lalu, misalnya, polisi sebenarnya sudah memanggil Jokowi untuk dimintai keterangan. Karena itu, tim pengacara lantas mengirimkan daftar pertanyaan kepadanya. Jokowi pun lantas memberi keterangan secara tertulis. Tapi penyidik merasa masih kurang dan meminta kesediaan Jokowi dimintai keterangan secara lisan. Akhirnya, pada 17 Oktober lalu, penyidik meminta keterangan Jokowi di rumah dinasnya di Jalan Taman Suropati Nomor 7, Menteng, Jakarta Pusat. "Sesudah Pak Jokowi menghadiri acara ulang tahun Pak Prabowo," ujar Agus.
Taufik Basari menyatakan pihaknya mengapresiasi kinerja polisi atas kasus yang dilaporkannya itu. Hanya, ia menyayangkan polisi tak menerapkan pasal-pasal Undang-Undang Diskriminasi Rasial dan Etnis seperti yang mereka harapkan. "Kami ingin melakukan pendidikan kepada masyarakat agar tak melakukan diskriminasi kepada siapa pun," katanya.
Darmawan Sepriyosa, salah satu tersangka kasus ini, menolak berkomentar banyak perihal perkaranya tersebut. Dihubungi Tempo pada Jumat pekan lalu, Darmawan, yang kini sehari-hari bekerja di situs berita www.inilah.com, menyatakan bersyukur jika kasusnya sudah hampir selesai—tinggal dilimpahkan ke pengadilan. "Alhamdulillah, saya baru dengar kabar itu. Saya mengikuti saja proses yang berlaku," ucapnya.
Febriyan
Jalan Panjang Obor Hitam
5 Mei 2014.
Edisi pertama tabloid Obor Rakyat terbit. Halaman depannya berjudul "Capres Boneka".
12 Mei 2014.
Edisi kedua Obor Rakyat terbit dan tersebar kembali di pesantren-pesantren. Sampulnya berjudul "PDIP Partai Salib".
17 Mei 2014.
Komisi Pemilihan Umum memulai tahap pencalonan presiden.
19 Mei 2014.
Obor Rakyat kembali terbit. Tabloid ini masih menyudutkan Joko Widodo. Kali ini halaman depannya berjudul "1001 Topeng Pencitraan".
16 Juni 2014.
Tim hukum pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla melapor ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri.
17 Juni 2014.
Dewan Pers menyatakan Obor Rakyat tak bisa dijerat dengan Undang-Undang Pers.
23 Juni 2014.
Setiyardi Budiono menjalani pemeriksaan pertama sebagai saksi.
24 Juni 2014.
Edisi keempat Obor Rakyat kembali muncul. Halaman depannya berjudul "Periksa! Jokowi, Iriana, dan Si Sulung".
30 Juni 2014.
Kepala Polri Jenderal Sutarman menyatakan belum menemukan pelanggaran pidana dalam kasus Obor Rakyat dan hanya pelanggaran Undang-Undang Pers.
4 Juli 2014.
Polisi mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kasus Obor Rakyat ke Kejaksaan Agung dengan Setiyardi Budiono dan Darmawan Sepriyosa sebagai tersangka. Mereka dijerat dengan Pasal 9 Undang-Undang Pers.
22 Juli 2014.
KPU menyatakan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang Pemilihan Umum Presiden 2014.
23 Juli 2014.
Kepala Polri menyatakan penambahan pasal pencemaran nama dalam berkas kasus Obor Rakyat.
21 Agustus 2014.
Mahkamah Konstitusi menolak gugatan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
17 Oktober 2014.
Penyidik menemui Jokowi di rumah dinas Gubernur DKI Jakarta.
22 Oktober 2014.
Berkas perkara dikembalikan jaksa ke penyidik karena belum dicantumkan berita acara pemeriksaan terhadap Jokowi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo