Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Di Tahrir, Doa Mereka Satu

Warga muslim dan Nasrani Mesir bahu-membahu menumbangkan Mubarak. Bendera bulan sabit dan salib berkibar di Midan Tahrir.

14 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang pria naik ke kursi, memegang mikrofon dengan tangan kiri, menutup telinga dengan tangan kanan, menghadap ke langit biru, dan meneriakkan panggilan salat. Minggu siang di Midan Tahrir (Medan Merdeka), Kairo, ribuan orang bersiap sembah­yang zuhur. Barisan telah diluruskan, bendera tiga warna dengan elang di tengahnya menjadi sajadah, dan seorang berjenggot yang memakai jubah Al Azhar warna khaki mengangkat tangan: ”Allahu akbar.”

Ribuan orang di belakangnya, tanpa melepas sepatu, mengikuti. Salat siang hari itu dilanjutkan dengan sembahyang gaib untuk mendoakan para martir yang gugur dalam demonstrasi menentang Presiden Husni Mubarak. Setidaknya 300 orang dilaporkan tewas sejak revolusi berkecamuk 25 Januari lalu.

Ibadah siang itu tak selesai setelah kaum muslim menunaikan salat. Seusai imam mengucap salam, jemaah mundur beberapa langkah. Mereka memberi kesempatan umat Nasrani yang tadi berdiri di sayap kiri maju ke tengah. Imam berjubah Al Azhar yang tadi menjadi pemimpin salat tampak membantu Pendeta Fauzi Khalil naik ke kursi yang semula dipakai muazin. Pendeta membuka buku doa kecilnya, lalu memulai misa: ”Bismillah, dengan nama Mu ya Bapa yang ada di surga.…”

Umat Kristen di Mesir memang minoritas, hanya 10 persen dari 80 juta penduduk. Tapi mereka adalah kelompok Kristen terbesar di Timur Tengah. Sembilan puluh lima persen umat Nasrani di Mesir anggota Gereja Ortodoks Koptik Aleksandria. Mereka punya paus sendiri, namanya Baba (Pope) Shenouda III, yang sudah 40 tahun menjabat. Agama ini ada di Mesir sejak abad pertama Masehi, jauh sebelum Islam masuk enam abad kemudian. Keberadaan umat Kristen amat mudah dikenali lewat tato di atas nadi.

Pendeta Fauzi, yang punya tato salib di atas urat nadi kanan, mulai membaca Mazmur, lalu menutup misa di Tahrir dengan doa. Ribuan orang—muslim dan Nasrani—mengamini doa tersebut. Seorang wanita berjilbab ikut mengangkat tangan dan mengucap amin setiap doa dipanjatkan. Begitu selesai misa, seorang demonstran yang kakinya patah dalam bentrokan dengan kelompok pro Mubarak menangis di pelukan Tempo. ”Semoga Tuhan di surga mendengar doa kami,” katanya sesenggukan.

Sebenarnya, di luar Tahrir sekalipun, kerukunan antarumat beragama di Mesir terjaga baik. Hampir tidak pernah ada bentrok antara umat Kristen dan Islam. Sejumlah bentrokan di bagian selatan Mesir lebih dipicu oleh soal tanah dan keluarga, bukan soal agama. Memang ada beberapa kali bom di gereja. Seperti pada saat tahun baru lalu. Bom meledak seusai misa tahun baru di Gereja Al Qeddesine (Gereja Dua Santo). Setidaknya 23 orang tewas dan sekitar 90 orang cedera dalam insiden tersebut.

”Tapi saya tak pernah yakin itu dilakukan oleh kelompok Islam,” kata Pendeta Fauzi sebelum misa itu kepada Tempo. Ia kemudian menghampiri Syekh Salahuddin dari Al Azhar dan menyalaminya. Syekh Salahuddin berkata, ”Kami akan menjaga gereja, itu tanggung jawab kami.”

Tidak hanya Fauzi yang mempercayai hal itu. Mikail Munir, seorang demonstran beragama Nasrani, mengatakan bahwa yang menekan rakyat Mesir—Islam atau Kristen—adalah pemerintah. ”Ini dibuktikan selama hampir dua minggu demonstrasi, ketika polisi menghilang entah ke mana, justru tak ada serangan terhadap gereja gereja. Kami, rakyat, yang menjaganya bersama sama,” katanya.

Janji menjaga gereja bukan cuma penghias bibir. Setelah insiden serangan bom tahun baru, warga muslim mendatangi gereja gereja saat perayaan Natal, 7 Januari lalu. Bahkan sejak sehari sebelumnya. Bukannya untuk menyerbu, melainkan menjadi tameng hidup, benteng yang melindungi gereja dan umat Nasrani yang sedang berdoa. Dari orang biasa hingga orang terkenal, seperti bintang film Adel Imam dan Yousra, turun ke gereja. Selebaran disebarkan. ”Kalau kita tidak hidup bersama, kita mati bersama.”

l l l

Kelompok Islam garis keras seperti Ikhwanul Muslimin sekalipun punya hubungan kuat dengan Gereja Koptik. Saat Hassan al Banna, pendiri Al Ikhwan, meninggal, satu satunya pejabat tinggi negara yang mengantar jenazahnya adalah Makram Obeid, hakim agung beragama Nasrani yang rajin membaca Al Quran. Saat Natal Koptik pada 7 Januari lalu, para pemimpin Al Ikhwan mendatangi pemimpin Gereja Aleksandria. Ketika Ramadan, giliran para pendeta ikut berbuka puasa bersama mereka.

Kebersamaan dan rasa persaudaraan itu begitu terlihat. Ketika terjadi serangan bom tahun baru di gereja, jutaan warga Mesir memasang logo ”Mesir untuk Semua” di foto profil Facebook mereka. Selama unjuk rasa menentang Mubarak di Midan Tahrir, ratusan bendera dengan simbol bulan sabit dan salib berkibar, melambangkan persatuan Islam dan Kristen.

”Baju” yang berbeda tak memisahkan mereka. Bahkan ”baju” seolah dilepas. Mereka bersama berusaha mencapai tujuan mulia untuk negeri yang lebih baik. Baik Fauzi maupun Salahuddin mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan di Tahrir ini adalah atas nama pribadi. Lembaga yang menaungi mereka—Gereja Koptik dan Al Azhar—memang tidak tegas mendukung demonstrasi di Tahrir, apalagi setelah Mubarak menyatakan akan mundur September nanti.

Mungkin karena tak ada wakil gereja inilah, panitia demonstrasi membuat badan khusus umat Kristen. Untuk urusan umat Kristen, koordinator demonstrasi menyediakan sayap khusus bernama Munazhim Aqbath (Koordinator Koptik). Merekalah yang mengkoordinasi sembahyang bagi umat Kristen dan mendatangkan pendeta ke Tahrir.

Di luar Minggu, kita bisa mendapati spanduk spanduk yang menggugah rasa persatuan. ”Lihat, kami semua bersatu,” kata novelis dan aktivis feminisme Nawal el Saadawi, sambil menunjuk poster yang dibawa perempuan berjilbab besar yang berbunyi: ”Muslim, Nasrani, kita semua satu.” Mereka merasa perlu menegaskan persatuan itu karena ada upaya membelokkan revolusi ini menjadi revolusi Islam. Pemerintah Mesir menuduh Ikhwanul Muslimin ada di balik krisis politik ini. Adapun pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei, mengatakan demonstrasi di Mesir adalah revolusi Islam.

Tapi semua yang hadir di Tahrir tahu suara yang mereka teriakkan tak mengenal agama. Juga pria yang patah kakinya dan sesenggukan setelah misa. ”Perlawanan ini membuat kami semakin bersatu,” katanya. Di sekitar kami, orang sudah ramai meneriakkan yel yel persatuan. ”Demi Injil, demi Al Quran, Mubarak harus keluar.” Atau, ”Ya Muhammad, ya Paulus, Mubarak tak boleh terus.” Sejumlah salib dan Al Quran juga diangkat bersama sama dengan latar belakang bendera Mesir yang berkibar kibar.

Qaris Tajudin (Kairo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus