Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak remaja, saya tidak ahli berpacaran. Mungkin karena saya merasa tak secantik Mbak Mar dan Mbak Tut, yang begitu mudah memikat hati pria. Dengan pengalaman yang minim, saya bertunangan dengan pemuda bernama Kasno dan berlanjut ke jenjang pernikahan pada pertengahan 1957.
Pernikahan saya dengan Kasno ternyata tak berjalan mulus. Kasno tidak suka melihat saya dekat dengan pria lain. Untuk hal ini, saya paham karena Kasno takut saya tergoda. Namun ada satu hal yang tak bisa saya terima. Kasno mulai melarang saya menyanyi. Padahal saat itu tawaran menyanyi di Jakarta mulai deras. Saya tak tahan lagi. Pada Juni 1959, saya meminta cerai kepada Kasno. Dia menyetujui.
Perceraian itu menjadi pukulan keras buat saya dan keluarga. Setelah bercerai, saya merasakan gejala yang aneh dalam tubuh saya. Ternyata saya mengandung anak Kasno. Saya menangis dan histeris, tak sudi mengandung dan melahirkan bayi Kasno. Saya ingin menghilangkan bayi Kasno. Namun perbuatan bodoh dan berdosa itu tak berhasil. Tuhan menginginkan saya merawat bayi hasil pernikahan saya dengan Kasno.
Untuk mengobati kegalauan yang teramat sangat, saya mulai kembali ke dunia musik. Dengan perut buncit, saya nekat mengikuti ajang Bintang Radio di Semarang, yang akhirnya membawa saya ke Jakarta. Di sini saya bertemu dengan seorang pria berdarah Padang, Zainal Ardi. Dia penyiar yang cukup ternama di RRI pada akhir 1959.
Zainal menaruh hati kepada saya meski saya berbadan dua. Peristiwa mengharukan terjadi pada 12 Januari 1960. Pagi pagi sekali perut saya mulas. Zainal, yang kebetulan ada di rumah, tergopoh gopoh mencari becak untuk membawa saya ke Rumah Sakit Budi Kemuliaan di Tanah Abang, Jakarta.
Lahirlah seorang bayi perempuan putih, montok, agak sipit dengan berat 5 kilogram yang saya beri nama Petty Tunjung Sari. Zainal dengan ikhlas mengakui Petty sebagai anaknya. ”Saya ayahnya, Zainal Ardi,” kata Zainal saat pihak rumah sakit menanyakan nama sang ayah. Mendengar ucapan Zainal, hati saya berkecamuk. Saya pun menikah dengan Zainal.
Pernikahan kami berlangsung di Temanggung, Jawa Tengah, tepat 40 hari usia Petty. Tak ada pesta. Keluarga Zainal pun tak hadir. Semuanya berlangsung sederhana. Kami sepakat kembali ke Jakarta.
Kehidupan rumah tangga saya dan Zainal berjalan mulus. Zainal sangat mendukung saya, baik merawat Petty maupun karier menyanyi saya. Tawaran menyanyi silih berganti datang. Awal 1961 saya hamil anak kedua. Seperti saat hamil Petty, saya pun masih lenggak lenggok menyanyi di panggung.
Pada 23 September 1961 seorang bayi perempuan lahir. Kami memberinya nama Ella Puspasari. Kehadiran Ella menambah kebahagiaan saya dan Zainal. Namun sebuah pemandangan aneh saya lihat, Zainal justru terlihat lebih sayang terhadap Petty dibanding Ella yang merupakan anak kandungnya. Sebagai seorang ibu, ini merupakan pemandangan yang menyakitkan hati. Saya sering protes, tapi perilaku Zainal tak berubah.
Di tengah melesatnya karier saya di panggung hiburan, lagi lagi ujian datang. Zainal mulai protes jika saya pulang show malam. ”Saya tidak suka kamu bekerja seperti ini,” kata Zainal suatu malam.
Pada akhir 1963, Zainal pergi ke Jerman untuk melanjutkan studi di bidang penyiaran atas sponsor TVRI. Dia pergi begitu saja. Tak ada kata pamit dan ucapan perpisahan layaknya suami istri. Tak ada satu surat pun dari Zainal sejak kepergiannya ke Jerman. Zainal mengakhiri perkawinan kami dengan caranya.
Pada 1972, saya menikah lagi dengan seorang pria bernama Mus Mualim. Saat itu usia Petty 12 tahun dan Ella 11 tahun. Tak ada pesta meriah. Semuanya berlangsung sederhana di rumah saya di Jalan Sukabumi, Menteng, Jakarta Pusat.
Saya mengenal Mus Mualim pada pertengahan 1960 an di RRI, dia adalah seorang pemain piano, penata musik, dan pencipta lagu. Mus seorang pria yang hangat dan cerdas, tapi pendiam. Kemampuan dan wawasan musiknya sangat luas.
Awalnya tak ada getar cinta. Mus sudah menikah saat itu. Kedekatan kami sebatas pentas bersama. Kami sering makan bersama di kantin RRI dan membahas soal musik hingga rumah tangga. Kami semakin dekat setelah Mus bercerai dengan istrinya. Kedekatan dengan Mus lah yang menginspirasi saya untuk belajar mencipta lagu sendiri.
Dukungan Mus untuk karier saya sungguh luar biasa. Melalui kesabarannya, saya dapat menghasilkan sejumlah lagu yang fenomenal. Saya tak ingat lagi berapa lagu yang saya hasilkan bersama Mus. Hanya satu yang saya ingat saat saya pertama belajar mencipta lagu. Sampai 10 kali saya menyodorkan kertas berisi coretan nada dan syair yang selalu ditolak Mus. Di kertas ke 10 barulah Mus berkata, ”Kamu bisa mencipta lagu juga.” Rasanya bagai terbang hati saya dipuji oleh Mus.
Mulai 1970 an Mus mengeluh sakit di pinggang dan menjalar hingga menggerogoti tempurung kakinya. Mus pun harus diam di rumah. Berbagai pengobatan sempat kami jalani demi kesembuhan Mus, termasuk saat harus tinggal di Jepang. Namun Tuhan berkehendak lain.
Pesta meriah menyambut tahun baru 1990 berubah menjadi duka bagi kami sekeluarga. Mus harus kembali ke pangkuan Yang Kuasa. Saya beruntung masih bisa menemani hari hari terakhir Mus. Keputusan saya untuk pulang lebih cepat dari show di Malang pada 29 Desember 1989 ternyata tepat. Begitu saya tiba di rumah malam hari, Mus sudah menunggu di teras dan memanggil manggil saya. ”Mama, Mama, Mama....” Saya langsung memeluk Mus dan menemani sepanjang malam.
Kepergian Mus menyisakan rasa kehilangan yang teramat besar pada diri saya. Mus begitu berjasa dalam hidup saya, baik sebagai seorang ibu, istri, maupun dalam menapaki karier saya. Dialah yang telah mendewasakan saya dan mengenalkan arti hidup yang sebenarnya. Di telinganya saya berbisik, ”Mus Mualim, cinta saya tak akan pernah mati untukmu.”
Pada 1959 saya pertama kali berjumpa dengan idola saya, Bing Slamet. Saya selalu tertawa jika teringat peristiwa itu. Saya mengejar Bing sambil jatuh bangun untuk minta tanda tangannya di Lapangan Ikada, yang sekarang menjadi Monas. Mungkin kalau sekarang Bing itu ibarat Afgan atau Ariel. Bing itu bisa menghipnotis saya lewat suaranya. Dulu suka dengar di radio roti milik tetangga. Saya bisa menangis kalau mendengar suaranya.
Selain baik, Bing adalah sosok yang sangat menghargai orang lain. Dia tak pernah meremehkan orang. Selama bersama Bing, tak pernah sekali pun dia memberi petuah. Yang ada hanya ledek ledekan. ”Kamu itu kurang ajar ya. Dulu panggil saya om, terus mas. Sekarang cuma Bing Slamet.” Itu ledekan dia sewaktu kami sudah mulai tur bareng.
Saya terguncang ketika Bing meninggal pada 1973. Kabar duka itu saya terima saat saya, Mus Mualim, Emilia Contessa, Frans Daromes, dan pelawak Ratmi B 29 akan terbang ke Singkep, Sumatera, untuk menghadiri acara internal PT Timah. Entah mengapa, mendadak penerbangan ditunda. Saya langsung meluncur ke kediaman Bing di Jalan Arimbi 7, Senen, Jakarta Pusat.
Jenazah Bing sudah terbujur, dia meninggal karena sakit komplikasi. Tak terlukiskan rasa sedih saya saat itu. Air mata mengalir. Saya pegangi kaki jenazah Bing. Mendadak sebuah suara terdenggar nyaring di telinga saya, ”Dia tidak berdosa karena amalnya berlebih.” Saya tersentak dan kepala saya menoleh ke sekeliling. Tak ada satu pun yang berbicara. Semuanya menangis.
Esoknya saya bersama rombongan terbang ke Singkep. Di pesawat saya terus menangis mengenang Bing. Sedih tak bisa menghadiri pemakamannya. Sebuah disposal bag di kursi pesawat saya ambil. Menggunakan pulpen Mus, tangan saya bergerak. Sebuah syair tertulis, ”Siang itu surya berapi sinarnya. Tiba tiba redup, langit gelap....” Terciptalah lagu Bing dalam perjalanan menuju Singkep.
Sepeninggal Bing, hati saya hancur. Bagi saya, Bing bukan saja idola. Dia merupakan separuh jiwa. Tanpa dia, saya tak akan menginjakkan kaki di Jakarta.
Memang ada yang mengira ada hubungan spesial di antara kami. Tapi sama sekali tidak. Saya bahkan pernah bertemu dengan anaknya dan mengatakan, ”Demi Allah, saya tak ada hubungan dengan papamu. Saya sangat mengagumi papamu. Hanya itu.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo