Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Referendum 9 15 Januari 2011 melahirkan babak baru dalam sejarah Sudan. Lebih dari 80 persen penduduk negeri itu—sekitar 43 juta jiwa—memilih pemisahan wilayah selatan utara. ”Penduduk selatan bahkan sampai 99 persen setuju berpisah,” ujar Duta Besar Sudan untuk Indonesia, Ibrahim Bushra Mohamed Ali, kepada Tempo.
Isu referendum bermula pada 2005 tatkala perwakilan Sudan utara dan selatan menandatangani Comprehensive Peace Agreement—biasa disebut Naivasha Agreement—di Kenya. Salah satu butir keputusan adalah pelaksanaan referendum. Saat ini pemerintahan Sudan berpusat di wilayah utara.
Menurut Ali, pemerintah Sudan utara telah setuju menerima hasil referendum tersebut—karena berlangsung damai dan transparan serta diakui kesahihannya oleh sejumlah organisasi internasional dan negara negara pengamat. ”Presiden kami bahkan sudah menyatakan akan membantu pihak selatan menegakkan pemerintahan baru mereka,” ujarnya.
Dua pekan lalu, setelah hasil referendum diumumkan, Ali berkunjung ke kantor Tempo. Panjang lebar dia menyampaikan latar belakang pemisahan negaranya, dalam sebuah wawancara.
Apa langkah berikutnya setelah referendum?
Januari hingga Juli adalah masa transisi. Akan ada banyak isu penting yang harus dibereskan. Salah satunya menyelesaikan pertikaian dua suku—Messiria dan Dinka Ngok—di wilayah Abyei, yang berbatasan dengan daerah selatan. Dalam enam bulan ke depan, kami berharap pertikaian ini bisa dibereskan.
Bagaimana dengan persoalan utang?
Utang Sudan di dunia internasional sekarang sekitar US$ 30 juta (sekitar Rp 300 miliar). Dan saudara kami di selatan berkeras utang ini bukanlah urusan mereka.
Apa sesungguhnya akar pertikaian selatan utara?
Benihnya ditanam oleh kolonial Inggris. Mereka mengeksploitasi perbedaan ras, sosial, agama, dan suku di selatan utara. Mereka juga menerapkan bahasa pengantar berbeda untuk kedua wilayah: Inggris di selatan, Arab di utara. Selama bertahun tahun kolonisasi Inggris telah menjauhkan kami.
Seperti apa kondisi Sudan pada akhir kolonisasi Inggris?
Salah satu yang paling penting adalah daerah selatan menjadi sumber problem—ketegangan dan instabilitas pada hampir semua aspek kehidupan negeri kami, selama lebih dari 50 tahun. Pemisahan, boleh dikata, menjadi upaya terakhir kami untuk solusi Sudan. Dan hemat saya, ini jalan keluar yang berhasil. Pada saat memberikan suara (dalam referendum—Red.), misalnya, warga selatan tampak amat gembira.
Umumnya kasus kasus separatisme dipicu oleh ketidakadilan dan pembangunan tak merata. Apakah ini yang terjadi di Sudan?
Kesepakatan Naivasha bersetuju membagi penghasilan dari sumber minyak secara adil (50 : 50) bagi kedua wilayah—jadi itu bukan isu kami. Tapi, sejak penjajahan berakhir, selatan selalu memprotes bahwa ada ketimpangan pembangunan. Namun saya juga harus mengatakan sebagian besar daerah utara sama miskinnya dengan daerah selatan. Maka, hemat saya, akar masalah kami adalah psikologis: selatan merasa berakar pada suku Afrika, utara melihat Arab sebagai puak mereka.
Apakah Sudan utara—yang mayoritas muslim—akan menerapkan syariah Islam setelah kedua negara resmi berpisah?
Kami tetap menggunakan konstitusi yang ada, karena hak hak kelompok minoritas nonmuslim di utara haruslah tetap dihormati.
Bagaimana Anda melihat masa depan Sudan selatan?
Mereka akan menghadapi banyak problem. Selain membentuk pemerintahan baru, mereka harus menyelesaikan banyak problem politik.
Apakah pemerintah Sudan utara akan membantu?
Tentu saja, tapi syaratnya harus secara damai. Mereka tertinggal dalam banyak sektor. Sumber daya minyak di selatan tentu mengalirkan uang—tapi mereka pun perlu banyak bantuan membangun kehidupan dari nol—setelah konflik berkepanjangan selama lebih dari setengah abad.
Optimistiskah Anda pemisahan ini akan berhasil?
Saya optimistis. Mungkin perpisahan ini justru membawa masa depan yang lebih cerah bagi selatan dan utara.
Sadika Hamid, HYK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo