Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Momen tidak terlupakan itu terjadi pada akhir 1960. Waktu itu saya masih menjadi penyanyi honorer di RRI. Saya, gadis desa asal Semarang, mendadak mendapat tawaran istimewa: audisi menyanyi di Istana Negara. Penyanyi Gordon Tobing yang memberi saya kesempatan emas itu. Hati saya bungah sekaligus deg degan tidak keruan.
Bagaimana tidak? Presiden Sukarno adalah orang yang memiliki karisma luar biasa. Tidak pernah terpikir dalam benak saya akan menyanyi di hadapan orang nomor satu di negeri ini. Saking groginya, saya sempat menolak tawaran Gordon. Tapi Gordon segera menunjukkan surat undangan dari Istana. Dia benar, saya diminta datang.
Saya, yang sedang hobi meniru gaya pakaian Marilyn Monroe, memilih memakai kebaya Jawa hari itu. Kain saya bebat rapi. Selendang saya sampirkan di bahu. Sempurna. Tapi penampilan apik ternyata tidak mampu melenyapkan kecemasan saya. Kaki saya lemas, tangan saya gemetaran. Saya bahkan tidak berani menatap wajah Bung Karno.
Bung Karno berbicara dalam bahasa Jawa, ”Oh, ini to Titiek Puspa? Katanya pintar menyanyi. Ya sudah, menyanyi sana,” kata Bung Karno sambil menyalami tangan saya. Sore itu, saya melantunkan Kasih di Antara Remaja, tembang andalan saya. ”Oh…, apik tenan (bagus sekali),” kata dia.
Bernyanyi di depan Bung Karno ternyata tidak mudah. Dia antimusik Barat. Suatu hari pada 1963, saya didaulat menyanyi lagi. Pada masa itu, lagu dengan irama beat sedang menanjak. Saya, yang gandrung dengan The Beatles, menciptakan lagu Marilah Kemari. Sambil menunggu Bung Karno datang, saya diminta menyanyikan lagu itu oleh para undangan.
Bung Karno datang mendadak dan mendengar lagu itu. Dia marah. ”Ini siapa yang menyuruh! Pasti ini ada yang menyuruh! Kowe yo (Kamu ya)?” kata Bung Karno menunjuk Laksamana Martadinata, yang waktu itu menjadi penanggung jawab acara. ”Sudah dibilang enggak boleh nyanyi lagu ngik ngok!” Ini julukan Bapak untuk lagu lagu Barat. Untung, bukan saya yang dimarahi.
Akhirnya lagu diganti. Kami menyanyi lagu Mari Kita Bergembira, yang lebih mendayu. Aduh, waktu itu saya lemas sekali. Bapak marah karena lagu itu seperti meniru lagu Amerika. Padahal beliau anti Amerika dan sedang kampanye ”Go to Hell Amerika!”
Tidak terhitung berapa kali saya bernyanyi di Istana. Soal honor, saya lupa besarnya. Yang pasti, setiap ada tamu negara, saya dipanggil menyanyi. Pengalaman menjadi penyanyi Istana membuka mata saya pada dunia. Ketika itulah pertama kalinya saya pergi ke luar negeri.
Suatu kali, saya bersama Nien Lesmana, Idris Sardi, Bubi Chen, Teti Mustafa, Eddy Sud, dan lain lain ikut rombongan Istana ke luar negeri. Bung Karno melakukan kunjungan kenegaraan selama 40 hari ke beberapa negara. Ikut tur bersama Bung Karno tidak bisa sembarang berpakaian. Rombongan perempuan harus berkebaya. Untung masih muda, saya enak saja pakai kain yang diwiru dan kebaya kuthu baru. Pergi ke Jepang, Belanda, Budapest, Hong Kong, dan Prancis tetap berkebaya.
Di Prancis, kedatangan rombongan berbarengan dengan konser The Beatles. Senangnya bukan kepalang. Kami lihat jadwal, malam itu Bung Karno tidak ada acara. Kesempatan menonton konser pun datang. Kami beli tiket seharga US$ 6. Uang saku perjalanan sampai terkuras habis.
Saya berdandan necis. Eh, satu jam sebelum berangkat, kami dikabari protokoler. Bung Karno menerima tamu pukul 7 malam. Musisi dan penyanyi harus segera bersiap. Lemas. Pupus sudah harapan bertemu John Lennon dan kawan kawan. Akhirnya, semua musisi dan penyanyi, laki laki dan perempuan, menangis sejadi jadinya. Seperti mau mati rasanya malam itu.
Bagi saya, Bung Karno itu seperti bapak saya. Sayang, waktu Bung Karno sakit, saya tidak bisa menjenguk. Mana boleh. Saya juga dekat dengan Ibu Fatmawati. Bu Fat suka sekali dengan lagu saya, Mama, yang saya ciptakan untuk ibu saya.
Tapi saya lebih dekat dengan Ibu Tien Soeharto. Ya, kami bersahabat. Awal saya dekat dengan Bu Tien ketika saya bersama beberapa artis bertandang ke Cendana. Saya yang suka guyon rupanya membuat Bu Tien kepincut. Dia senang sama saya karena membuatnya tertawa lepas.
Ketika saya pamit pulang, tiba tiba tangan saya digamit Bu Tien. ”Tiek, kamu mbok di sini dulu,” kata dia. Saya bertanya tanya. Ternyata, Bu Tien hanya ingin mendengar saya bercerita lagi. Saya diajak ke kamarnya. Akhirnya, siang itu, saya sibuk ngoceh demi membuat Bu Tien terhibur.
Apa saja saya ceritakan. Mendengar kisah saya, Bu Tien terpingkal pingkal sampai keluar air mata. Bahkan sampai menggelosor di lantai saking gelinya. Entah apa yang membuat saya tampak begitu lucu di mata Bu Tien. Ajudan mengetuk berkali kali tidak digubrisnya. ”Mengko sik! (nanti dulu).” Dia malah dimarahi. ”Nek mengko, yo mengko! (Kalau nanti, ya nanti).” Waktu saya pamit pulang, Bu Tien bilang, ”Sering dolan mrene yo, Tiek. (Sering main ke sini ya).”
Sejak itu, saya sering mengunjungi Bu Tien. Dia selalu bercerita apa saja dan menunjukkan apa saja. Ya patung, ya koleksi koleksi yang disimpan di kamar pribadinya. ”Tiek, tak duduhi ki lho ono patung apik (Tiek, ini saya beri tahu ada patung bagus).” Pernah juga waktu show di TMII, saya diajak nonton film 3 dimensi di Keong Mas. Saya takut. Lha, Bu Tien ini Ibu Negara. Tapi dia meyakinkan saya. ”Ora opo opo (tidak apa apa).”
Saya memang dekat sekali dengan Bu Tien. Waktu beliau meninggal, saya sangat terpukul. Sedih sekali. Dia sudah menganggap saya seperti anak sekaligus sahabatnya. Tapi saya tidak pernah memanfaatkan kedekatan itu. Saya tulus saja. Saya tidak mau merusak persahabatan itu dengan kepentingan macam macam. Pernah suatu kali, Bu Tien bilang, ”Pengen gawean opo tak paringi (Mau kerja apa akan saya beri).” Setelah dibilang begitu, saya malah jarang ke sana.
Saya tidak mau kejadian tahun 1964 terulang. Waktu itu, saya membeli mobil bekas dari seorang menteri masa itu, Yusuf Muda Dalam. Saya membayarnya mencicil dua kali. Eh, saya dibilang gundiknya, istri simpanannya. Saya dituding menjual diri. Padahal, demi Allah, mobil itu saya bayar, meski baru separuh. Saya sampai dibawa ke Mahkamah Militer Luar Biasa sebagai terdakwa. Di pengadilan, orang tertawa menghina saya. Tapi Tuhan tahu saya benar. Tuduhan itu tidak terbukti.
Saya juga sempat dipandang miring saat saya menciptakan lagu untuk Pak Harto. Dibilang cari proyek. Waktu itu Eddy Sud menyuruh saya membuat lagu untuk acara ulang tahun Golkar. Supaya gampang, Eddy Sud mengusulkan saya mendaur ulang lagu orang saja. Hanya liriknya yang diganti. Saya marah. Lagu untuk Presiden kok hanya lagu daur ulang.
Akhirnya saya mendapat inspirasi. Saya menonton tayangan TVRI. Pak Harto sedang memberi bantuan beras yang sangat banyak bagi penduduk Ethiopia yang kelaparan. Sebetulnya Indonesia sedang dituding Bob Geldof, musisi asal Inggris, membajak lagu kemanusiaan ciptaannya untuk Ethiopia. Tayangan itu membuka benak saya.
Seketika, dengan coret coretan di atas kertas, saya membuat lagu. Melodi dan syair mengalir lancar. Hanya seperempat jam! Saya telepon Eddy Sud, ”Lagunya sudah jadi.” Judulnya Bapak Pembangunan. Ketika lagu itu tuntas dinyanyikan, Pak Harto mendekati saya. ”Makasih, Tiek. Lagune apik (lagunya bagus),” kata Pak Harto sambil meneteskan air mata. Dia menangis.
Saya sering menyanyi di Istana sampai era Gus Dur dan Megawati. Sekarang, saya sudah jarang diundang. Meskipun saya selalu dekat dengan Istana, saya tidak pernah memanfaatkan itu. Saya ini tidak mengerti urusan politik. Titiek Puspa hanya menyanyi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo