PERDAMAIAN Timur Tengah harus menyelesaikan masalah tanahair
bagi bangsa Palestina. Ini nampaknya disepakati semua pihak,
termasuk Amerika kecuali Israel. Padahal, bangsa Palestina -
seperti halnya orang Yahudi di masa lampau tergusur dan
berpindah ke segenap penjuru. Mereka kini berada dalam masa
"Diaspora", bak terpencarnya bangsa Yahudi sejak terjatuhnya
Babilonia.
Dalam hanyak hal, orang Palestina melnang mirip bangsa Yahudi
dalam 50 tahun terakhir abad ke-20 ini. Mereka hidup
terpisah-pisah dan jadi minoritas di beberapa negara. Mereka
dikagumi atau jadi bahan iri hati dalam lingkungan yang baru,
atau dibenci. Mereka juga terikat oleh suatu kesetiaan kepada
keyakinan bahwa suatu ketika mereka akan kembali ke negeri
asalnya.
Bedanya dengan orang Yahudi: kcyakinan mereka yang tebal itu
--faktor kekuatan pendorong semangat mereka bukan konsep
keagamaan macam Zionisme melainkan nasionalisme modern yaulg
lahir dari rasa diperlakukan secara tak adil. Orang Palestina
tak terdiri dari satu agauna, hingga cita-cita mereka adalah
satu negeri yang sekuler. Orang Islam, Kristen, Marxis, campur
dalam cita-cita itu. Dalam Dewan Nasional yang dibentuk oleh PLO
misalnya ada Ibrahim Ayad, seorang pastur Katolik.
Perkiraan kasar menyebutkan ada sekitar 1,2 juta orang Palestina
yang tersebar di seluruh dunia, di samping kurang-lebih 1,5 juta
yang masih tinggal di daerah yang kini dikuasai Israel. Ada yang
jadi pengungsi dan tinggal di perkampungan pengungsi di Libanon.
Suria, Yordania, Tepi Barat Sungai Yordan dan di Gaza. Jumlah
mereka ini sekitar 500 ribu orang. Tapi yang tinggal di barak
perkampungan itu kebanyakan wanita, anak-anak atau orang tua
yang jompo Sebagian besar kaun prianya meninggalkan tempat itu
dan bekerja untuk memberi makan keluarga.
Kemudian ada sekelompok mayoritas yang terdidik haik dan jadi
kader kepemimpinan atau angkatan kerja yang terlatih atau orang
bisnis yang maju di Timur Tengah. Survai yang dilakukan Nabeel
Shaath, kepala Pusat Pengembangan Manajemen Arab di Kairo,
menunjukkan bahwa perbandingan orang Palestina yang punya
keahlian tinggi dan jumlah para mahasiswanya lebih besar
ketimbang bangsa Arab yang lain. Jumlah mahasiswa Palestina
dipelbagai universitas kini mencapai 85.000, atau dua kali lipat
dari keadaan 1974. Angka ini berimbang dengan prosentase di
Israel.
Pertumbuhan yang cepat ini karena adanya pengakuan terhadap PLO
oleh banyak negeri mulai tahun 1974," kata Shaath. "Kini PLO
memperoleh beasiswa untuk anak-anak Palestina. Dulu mereka harus
membiayai sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini