SABTU, 10 Desember, sesudah subuh. Pesawat supersonik Concorde
yang banyak menimbulkan perdebatan itu mendarat di Paya Lebar,
Singapura. Lebih cepat 25 menit dari pada jadwal. Sebuah
dentumall terdengar, samar-samar, begitu pelatuk camar putih
raksasa itu mencuat di depan batang hidun ratusan hadirin.
Pendaratan pesawat Concorde itu terjadi ketika masa depan
penerbangan supersonik London-Singapura via Bahrain masih kabur.
Baru sehari sebelumnya, juru bicara Menteri Perhubungan
Malaysia, Encik Dahlan Abdul Rahman mengumumkan keputusan
pemerintah Malaysia yang "tak mengizinkan penerbangan Concorde
di atas udara Malaysia." Alasannya: dikuatirkan, penerbangan
pesawat supersonik itu akan merusak lapisan ozone (03) di
stratosfir yang tingginya 20 km di atas katulistiwa. Dan kalau
itu terjadi, bumi tak akan terlindung lagi dari sina-sinar
ultra-lembayung yang dapat menyebabkan kanker terhadap manusia
(lihat Box).
Untunglah, ada Indonesia yang suka menolong penerbangan
supersonik komersiil pertama kerjasama British Airways dan
Singapore Airlines itu. Seperti dilaporkan koresponden TEMPO di
Singapura, Khoe Hak Liep, di Singapura kebetulan sudah beberapa
hari berlangsung konperensi sub-komite ASEAN tentang Penerbangan
Sipil. Meskipun soal penerbangan perdana Concorde tak masuk
agenda, kesempatan baik itu tak disia-siakan oleh orang-orang
BA untuk minta restu delegasi Indonesia yang diketuai Karno
Barkah.
Lobbying BA dan SIA itu rupanya tak sia-sia. Sebab sebelum
diketahui tentang penolakan resmi Malaysia, terdengar pendapat
pihak Indonesia yang menganggap bahaya polusi Concorde itu tak
akan sehebat yang ditakutkan sementara pihak. Apalagi jika
terbang sub-sonik (di bawah kecepatan suara) di atas lautan.
Hanya Tiga Hari
Maka dipalukan sang besi selagi masih panas. Berkat kontak antar
delegasi Indonesia dan Singapura, permohonan izin terbang di
atas wilayah Indonesia diteruskan ke Jakarta. Kata Captain
Rasjid, Atase Perhubungan RI di Singapura kepada TEMPO:
"Jakarta telah memberikan greenlight". Maksudnya: Concorde
diizinkan terbang di atas perairan Selat Malaka wilayah
Indonesia dengan kecepatan sub-sonik, tapi tak boleh terbang di
atas daratan Indonesia.
Di Jakarta, Menteri Perhubungan Emil Salim buru-buru Sabtu itu
juga menjelaskan, bahwa izin pemerintah Indonesia hanya berlaku
untuk tiga penerbangan percobaan, yakni 10, 12 dan 15 Desember.
Sesudah itu, Indonesia akan solider dengan Malaysia melarang
penerbangan Concorde di atas wilayahnya, "sampai ada
kesepakatan antara Malaysia dan Inggeris," kata Menteri.
Seperti dijelaskannya pada pers, Indonesia baru mendengar bahwa
ada alasan lain di balik penolakan Malaysia. Yakni keengganan
Inggeris membuka pintu udaranya bagi penerbangan maskapai
penerbangan Malaysia, MAS (Malaysian Air System) ke London dan
Hongkong. Makanya "demi memelihara semangat kerjasama. ASEAN "
yang sudah dituangkan dalam KTT ASEAN di Bali, Mei 1976. proyek
kongsi InggerisPerancis itu ditolak melintasi udara Indonesia.
Namun di samping perang dagang di udara, betulkah efek
lingkungan pesawat supersonik itu sehabat yang diutarakan
Malaysia - dan juga negara-negara lain yang tadinya menolak
Concorde, seperti AS sendiri?
Hal itu, sudah dipertanyakan pula oleh Dr Frank Barnaby,
direktur Stockholm International Peace Research Institute
(SIPRI). Juni yang lain. Dalam tulisannya yang berjudul Military
aircraft and the ozone layer yang disiarkan Earthscan di London,
5 Juni 1977.
Barnaby tak menyangkal efek polusi dari Concorde. Khususnya
kerusakan ozone oleh oksida zat lemas yang terbuang dari
mesin-mesin jet pesawat pancargas itu. Namun Concorde bukan
pencemar satu-satunya yang perlu dituding. "Debat politik yang
begitu panas sektar Concorde telah mengalihkan perhatian dari
kerusakan stratosfir yang jauh lebih besar dan telah dilakukan
oleh pesawat terbang militer yang supersonik, maupun pesawat
pancar gas sipil yang subsonik," tulis Frank Barnaby. Kurangajar
Armada pesawat pancargas penumpang yang seperti kita kenal saja
(DC 10, DC-9, Boeing 707, Boeing 747) sudah melebihi 2000
pesawat. Pesawat ini cukup lama berada di stratosfir, khususnya
bila terbang di utara garis bujur 60ø U. Di situ stratoslirnya --
dan dengan demikian juga lapisan ozone-nya lebih tipis dan lebih
dekat ke bumi. Tapi itu belum apa-apa dibandingkan dengan armada
pesawat militer.
Pesawat pembom jarak sedang dan jarak jauh adalah pencemar yang
paling kurang ajar. Terutama armada Amerika sebanyak 400 B-52 dan
65 F-111, serta Kannada Rusia yang terdiri dari 100 TU 95, 35
Mya 4, 750 Tu-16 dan 60 Backfires. Kalau setiap pesawat pembom
tiap hari berada 2 jam saja di udara, polusi oksida zat lemasnya
sama dengan 200 pesawat Concorde yang masing-masing hanya
berkekuatan 68 ton dan terbang 7 jam sehari.
Juga polusi stratosfir oleh pesawat pemburu-sergap sepcrti F-14
(AS), Mig 25 (US), Mirage-2000 (Perancis), Kfir (Israel) dan
Viggen (Swedia) dan jenis lain, kurang lebih sama denga seluruh
armada pembom.
Di samping itu, masih ada seratus pesawat terbang pengintai
supersonik seperti U-2 Amerika yang dapat mencapai ketinggian 26
km. Kalau mereka rnenjalankan tugasnya selama 3 jam sehari saja
efeknya terhadap lapisan ozone sudah sama dengan 60 Concorde
yang terbang 7 jam sehari. Dan bukan negeri kaya saja yang gemar
memelihara armada pesawat terbang militer supersonik. Sebab
menurut catatan SIPRI, selama dua dasawarsa terakhir 43 negara
Dunia Ketiga sudah membeli lebih dari 1 ribu pesawat tempur
supersonik.
Makanya cukup beralasan, kata Barnaby, untuk menyimpulkan bahwa
sekarang saja efek polusi stratosfir armada pesawat militer
dunia sudah sama dengan 400-500 Concorde yang terbang 7 jam
sehari. Tapi sayangnya, sasaran kecaman selama ini hanya ke-6
pesawat Concorde bikinan kongsi Inggeris dan Perancis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini