PARA pemimpin Afganistan mestinya kini berubah pendapat. Sampai sebelum perang antarkelompok yang meledak sekitar tiga pekan lalu, mereka yakin, perbedaan etnis di Afganistan bukan masalah meski bentrokan senjata sering terjadi sejak kelompok mujahidin menjatuhkan rezim komunis, April 1992. Kini, bukan saja bentrokan senjata yang terjadi, tapi sampai-sampai Kabul, ibu kota Afganistan, ditinggalkan warganya: ibu kota yang biasanya didiami 1,5 juta orang itu pekan lalu hanya diisi sekitar 750.000 orang. Separuh warga Kabul berbondong-bondong menyeberangi perbatasan ke Pakistan, sekitar 225 kilometer sebelah timur Kabul, mengungsi. Mereka lari dari serangan artileri tentara Perdana Menteri Gulbuddin Hekmatyar, dan pengeboman pesawat S-22 dan MiG-21 buatan Rusia milik ketua milisi Jenderal Abdul Rashid Dostam. Dalam waktu satu pekan, Palang Merah Internasional mencatat 500 orang tewas dan 4.500 luka. Dan ini semua karena perbedaan suku, yang membuat kelompok-kelompok di sana sulit akur. Kesepakatan kesembilan faksi yang tergabung dalam Dewan Mujahidin, untuk memerintah Afganistan bersama-sama, ternyata tinggal kesepakatan. Pemain utama pentas yang selalu panas ini adalah Burhannudin Rabbani, Ahmad Syah Massoud, Gulbuddin Hekmatyar, dan Abdul Rashid Dostam. Masing-masing memiliki tentaranya sendiri. Rabbani dan Massoud, keduanya asal suku minoritas Tajik, kini menguasai pemerintah Kabul. Semula mereka didukung oleh Dostam, jenderal milisi yang memiliki tentara terbesar, 100.000 orang, tank jenis T-62 buatan Rusia, dan pesawat tempur. Dan kekuasaannya di bagian utara, sumber bahan baku narkotik, menyebabkannya tetap mempunyai dukungan keuangan yang cukup. Dostam memang orang yang kuat. Pada zaman kekuasaan Najibullah, Dostam adalah ketua milisi pemerintah. Tapi, begitu ia berubah sikap dan memihak mujahidin, Najibullah tak lama kemudian jatuh. Ketika pemerintah baru hendak dibentuk, Hekmatyar memboikot. Dia memilih menjadi orang luar. Kendati jumlah pasukannya tak seberapa, serangan artilerinyalah yang membuat suasana sangat labil. Ia tak setuju bila pasukan Dostam diberi kekuasaan, pasukan yang dicapnya tak punya moral dan disiplin. Akhirnya Rabbani dan Massoud terpaksa kompromi dengan Hekmatyar. Dan atas rekayasa negara-negara Islam, Hekmatyar akhirnya setuju menjadi perdana menteri. Tapi kerja sama di satu pihak menyebabkan kemarahan di pihak yang lain. Dostam ngambek. Ia memilih menyendiri di markasnya, di Kota Mazar-i-Sharif. Sementara itu, Kabul tampaknya tak seratus persen menerima Hekmatyar. Kadang tentara Hekmatyar dilarang masuk Kabul. Bahkan Hekmatyar sendiri beberapa kali mendapat kesulitan keluar-masuk ibu kota, padahal ia perdana menteri. Karena itu, beberapa saat lalu, Hekmatyar mundur dari koalisi. Bisa jadi, mundurnya Hekmatyar mendorong Dostam, akhir tahun 1993, melakukan serangan. Pihak Rabbani menduga, Dostam berulah setelah dihasut pihak-pihak di luar negeri. Siapa pihak itu, tak disebutkan dengan jelas. Pada waktu Dostam menyerang Kabul, Hekmatyar pun menyerbu. Tak jelas apakah serangan serentak itu diatur atau secara kebetulan. Mungkinkah dua bekas musuh itu kini berkoalisi? Semula, juru bicara Hekmatyar menolak adanya kerja sama di antara kedua kelompok itu. Namun, beberapa hari kemudian, ia mengumumkan bahwa pembentukan dewan koordinasi revolusi yang bertujuan menjatuhkan Rabbani menyerah. Itulah, rupanya, kepentingan bersama mereka. Senin dua pekan lalu, kementerian luar negeri pun menyebarkan pernyataan ini. "Sisa-sisa rezim komunis di bawah Jenderal Rashid Dostam, didukung Perdana Menteri Gulbuddin Hekmatyar, pada tanggal 1 Januari merencanakan menjatuhkan pemerintah dengan cara kudeta, namun gagal." Pernyataan inilah yang kemudian tersebar luas ke dunia internasional bahwa sebuah upaya kudeta di Kabul gagal. Dan sesudah itu pertempuran terbuka pun pecah, hingga pekan lalu. Di belakang perang saudara Afganistan yang rasanya tak akan berhenti itu, seperti sudah disebutkan, adalah masalah etnis. Persaingan antarsuku, ditambah antara Syiah dan Suni, berakar sejak abad ke-19, pada waktu Afganistan dijadikan ajang permusuhan Inggris dan Rusia. Suku yang dominan adalah Pushtun yang dipimpin Hekmatyar. Suku mayoritas itu sekitar 8 juta, atau 50% dari seluruh penduduk Afganistan yang 15,5 juta. Bahasa mereka adalah Pashto, digunakan oleh 33% dari penduduk Afganistan, termasuk suku Hazara dan suku Tajik di utara. Orang Pushtun umumnya berbadan tinggi, berambut hitam pekat, dan kebanyakan memilih hidup sebagai petani dan penggembala. Mereka berwatak keras, susah kompromi. Konon, watak itu turun dari moyangnya dari Persia. Karena mayoritas, Pushtun merasa merekalah sebenarnya pribumi Afganistan. Suku Tajik, terbesar kedua, berjumlah sekitar 4 juta orang. Mereka cenderung menjadi pedagang, mudah bergaul, tersebar di Provinsi Herat dan wilayah sebelah utara Kabul. Lalu, ada suku Hazara, yang keturunan Mongolia. Mereka rata-rata bertani di sekitar pegunungan Hindukush dan Hazarajat. Jumlah mereka 1,5 juta. Hampir sama banyaknya dengan Hazara adalah suku Uzbek, yang juga keturunan Mongolia. Bedanya, orang Uzbek lebih menyukai kehidupan nomad. Inilah suku Jenderal Dostam yang dimusuhi Hekmatyar. Warga Afganistan lainnya adalah suku Turkoman, Kirghiz, Baluchi, dan beberapa etnis kecil lain. Mungkin karena terdiri dari berbagai suku dan masing-masing punya pendirian sendiri, Afganistan pun lalu peka terhadap pengaruh dari luar. Negara-negara Islam dan Barat berebut pengaruh di sini. Pada zaman Perang Dingin, kepentingan Barat adalah mengalahkan kaum komunis yang dimodali Rusia. Barat menyalurkan bantuan senjata lewat Pakistan, dan karena itu bantuan ini lebih banyak jatuh ke kelompok mayoritas, yakni kelompok Suni. Sedangkan Iran, yang Syiah, yang tak mau bila kelompok Syiah tercecer, khusus membantu senjata buat kelompok sepaham, yang memang konsentrasi wilayahnya di barat, di perbatasan Afganistan-Iran. Inilah salah satu sebab tiap kelompok memiliki senjata, dan sampai kini sulit dilebur menjadi tentara nasional. Jika saja ada yang punya pengaruh kuat dan menyadarkan para pemimpin Afganistan bahwa masalah mereka adalah masalah kesukuan, mungkin jalan keluar persatuan bisa ditemukan. Tapi, siapa yang punya pengaruh di Afganistan? Pakistan? PBB? Sampai Kabul sepi kini, tampaknya orang Afganistan hanya percaya pada warga suku masing-masing.Yuli Ismartono (Jakarta) dan Navraj Gandhi (New Delhi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini