Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bumerang yendaka

Tanpa reformasi besar-besaran, antara lain membuka pasar Jepang, dikhawatirkan resesi ekonomi Jepang tak akan segera tertolong.

22 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG kaya bukannya tak punya masalah. Apalagi orang kaya yang kemudian menurun, apalagi terancam bangkrut. Itulah yang kini terjadi pada Jepang. Sejak tahun 1993 yang lalu, di Jepang sedang bertiup angin jahat fukyo, resesi ekonomi yang menggigit. Untuk pertama kalinya sejak krisis minyak di tahun 1974 lalu, pertumbuhan ekonomi Jepang mencatat angka negatif. Diperkirakan, ekonomi Jepang sepanjang 1993 bukannya tumbuh, tapi malah mengkerut 0,4 persen. Dalam kehidupan sehari-hari, angka statistik ini berbicara sangat lantang dalam bentuk pengangguran. Tak kurang dari 1,76 juta tenaga kerja produktif yang saat ini tunakarya. Belum terhitung 1,4 juta pekerja kantoran yang menjadi pekerja "kelas jendela": cuma duduk saja seharian memandangi jendela tanpa kerja sembari menghitung hari-hari akhir menjelang dipecat. Secara nasional, angka pengangguran mencapai 2,8 persen dari seluruh angkatan kerja, angka terburuk dalam enam tahun terakhir. Angka ini terus menanjak dan, di akhir 1994, diduga bakal mencapai empat persen. Perusahaan yang kurang tangguh juga bertumbangan terlanda prahara fukyo. Rata-rata 1.100 perusahaan bangkrut setiap bulannya di sepanjang tahun 1993. Total utang perusahaan bangkrut ini mencapai sekitar 7,2 triliun yen atau Rp 130 triliun, hampir dua kali lipat RAPBN Indonesia yang baru diajukan Presiden Soeharto awal bulan ini. Perekonomian yang muram ini masih ditambah lagi dengan iklim yang ikut-ikutan kacau. Musim panas tiba-tiba menjadi terlalu dingin sehingga panen padi gagal. Untuk pertama kalinya Jepang terpaksa mengimpor beras. Hujan di bulan Agustus yang tiga kali lipat lebih dahsyat dari biasanya juga membuat orang mengurung diri di rumah. Akibatnya, pakaian rancangan musim panas terdampar di toko-toko tak terbeli. Demikian pula dengan barang-barang keperluan berpiknik di pantai yang biasanya laris. Pokoknya, tahun 1993 benar-benar tahun sial bagi ekonomi Jepang. Terdengarnya kontradiktif, tapi itulah yang terjadi: resesi ini adalah dampak dari yendaka atau menguatnya mata uang yen sejak 1988 karena surplus perdagangan Jepang. Akibatnya, produk Jepang menjadi lebih mahal dibandingkan produk negara saingan dan ekspor terancam merosot. Agar yen sedikit turun, bank sentral Jepang menurunkan suku bunga menjadi hanya 2,5 persen. Bunga yang sangat rendah ini melecut orang menanamkan uang di saham dan properti. Akibatnya, indeks Nikkei, pasar modal Jepang, yang menjadi patokan di bursa Tokyo, membubung. Harga tanah dan bangunan pun naik berlipat-lipat. Perusahaan-perusahaan raksasa ikut menarik depositonya dari bank, dilemparkan ke pasar saham dan properti. Pada tahun 1991, jika harga pasar seluruh tanah di Jepang dijumlahkan, nilainya 3,6 kali lipat lebih besar dibandingkan harga seluruh tanah di Amerika Serikat yang luasnya lebih dari 25 kali luas Jepang. Hal yang dianggap mirip saham pun, yang diharapkan nilainya terus naik, diborong. Misalnya, karya seni rupa. Tahun 1989 tercatat orang Jepang membelanjakan US$ 6 miliar uangnya untuk lukisan - itu sekitar sepertiga dari nilai pembelian lukisan di seluruh dunia. Modal Jepang pun masuk Amerika, termasuk Hollywood. Inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan boom ekonomi Jepang. Tapi boom itu buyar di tahun 1992. Setelah dipacu spekulasi yang kelewatan, indeks Nikkei rontok, demikian pula halnya dengan harga tanah dan properti. Para penanam uang pukul rata rugi 40 persen. Total nilai aset di seluruh Jepang sepanjang 1992 merosot sebesar 448 triliun yen, atau hampir Rp 8.500 triliun atau 120 kali RAPBN Indonesia tahun ini. Tak pelak lagi, bank-bank Jepang terbelit kredit macet. Menurut perkiraan koran Financial Times, kredit macet seluruhnya tak kurang dari 30 triliun yen, "hanya" 11 kali lipat laba semua bank itu digabung menjadi satu. Sementara itu, perkembangan di luar ikut memojokkan Jepang. Dunia, yang capek dengan surplus perdagangan Jepang yang begitu besar, mulai menekan lewat pasar uang internasional. Sekali lagi yen dipaksa menjadi kuat karena semakin tingginya surplus perdagangan. Tapi, surplus kali ini bukan disebabkan oleh ekspor yang tinggi, melainkan impor yang merosot tajam akibat resesi. Tahun lalu, memasuki Januari 1993, yen pun terbang. Dalam waktu hanya delapan bulan, yen mengalami kenaikan sebesar 20 persen terhadap dolar. Batas psikologis satu dolar sama dengan 100 yen hampir saja terlampaui. Tentu saja nilai yen yang begitu tinggi semakin menekan ekspor produk Jepang. Upaya menekan yen dengan menurunkan suku bunga mencapai titik nadirnya dalam sejarah ekonomi Jepang: September tahun lalu suku bunga hanya 1,75 persen. Celakanya, si yen itu tak mau juga melemah. Apresiasi yen baru berhenti setelah Federal Reserve Bank, bank sentral Amerika, mengulurkan tangan. Upaya belakangan ini dari pemerintah Hosokawa untuk menolong ekonomi Jepang menurunkan pajak penghasilan. Jika usul ini dijalankan, sekitar 7 triliun yen dana masyarakat yang mestinya masuk kas pemerintah akan tetap berada di masyarakat, dan diharapkan dana itu mampu menggerakkan roda ekonomi yang kini seret. Dalam hal ini, risiko defisit anggaran mesti ditempuh, yakni dengan jalan pemerintah menyuntikkan dana yang cukup besar ke masyarakat. Menurut Michael Rukstad, seorang ekonom Harvard yang banyak mengamati masalah Jepang, jika di negara lain defisit buruk bagi ekonomi, di Jepang dalam situasi seperti sekarang yang buruk itu diperlukan agar ekonomi tak bertambah kacau. Tentu, itu jalan darurat alias penyelesaian sementara. Sialnya, jalan ini ini pun agak sulit ditempuh mengingat posisi pemerintahan Hosokawa yang masih gamang. Pembengkakan defisit, bagaimanapun, adalah kebijaksanaan yang tidak populer untuk diperjuangkan. Untuk jangka menengah, Profesor Haruo Shimada dari Keio University di Jepang mengusulkan deregulasi dan liberalisasi besar-besaran pasar Jepang yang selama ini tertutup. Logisnya, bila pasar dibuka untuk barang impor, harga barang impor menjadi murah dan mendorong permintaan. Akibat berikutnya, surplus neraca perdagangan akan menurun dan neraca menjadi seimbang. Kurs yen pun akan ikut turun sejalan dengan berimbangnya perdagangan. "Karena sekarang pasar Jepang tertutup, mekanisme ini tak ada," tutur Prof. Shimada dalam majalah Look Japan. Dan itu sebabnya pemerintah Jepang terpaksa hanya mengandalkan suku bunga sebagai mekanisme pengontrol nilai tukar. Memang, sejauh ini Hosokawa sudah melakukan beberapa langkah deregulasi. Ada 94 deregulasi yang diluncurkan, tapi ini sungguh tak sebanding jika dibanding dengan 10.000 mata dagangan yang diusulkan. Bisa dimengerti bila dampaknya tak terasakan. Jadi? Reformasi besar-besaran mesti dilakukan. Manajemen gaya Jepang yang dulu dipuji-puji, disadari kini bahwa itu bisa berjalan efektif pada masa ekonomi sedang tumbuh dengan kencang. Jika ekonomi lesu sepeti sekarang, falsafah manajemen itu tak mampu menyelesaikan soal. Satu contoh: dulu jika ada ancaman resesi ekonomi, perusahaan Jepang yang mementingkan asas kekeluargaan dan selalu mengangkat karyawannya untuk seumur hidup tak akan melakukan pemecatan. Sebaliknya, mereka malah melakukan investasi baru untuk menciptakan lapangan kerja baru. Sekarang, itu tak bisa lagi dilakukan. Permintaan di pasar lokal sedemikian lesu, pasar ekspor juga tak lagi menggebu. Tak bisa tidak, perusahaan harus memecat karyawan, hal yang mestinya tak berlaku dalam gaya manajemen Jepang. Perubahan mendasar juga mesti dilakukan pada hubungan "segitiga besi", politisi-birokrat-industrialis. Sudah bukan rahasia lagi jika di Jepang politisi mendapat sumbangan untuk kampanye dari pengusaha. Politisi kemudian mempengaruhi birokrat untuk menciptakan peraturan yang menguntungkan para pengusaha itu. "Pola hubungan ini harus dihancurkan karena merekalah yang selalu menjaga agar pasar tetap ketat diatur," kata Naohiro Amaya, ketua Dentsu Institute for Human Studies. Dari sudut yang menyeluruh inilah, sebenarnya, reformasi politik yang ditawarkan Hosokawa (lihat Seorang Samurai dan Politik yang Bersih) juga bisa menolong resesi ekonomi. Masalahnya bagaimana Hosokawa bisa meyakinkan semua pihak agar mendukung reformasinya.Yopie Hidayat (Jakarta) & SO (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum