Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Viva petani, viva salinas

Presiden salinas menarik pasukan, memecat menteri, dan memerintahkan tentara membantu petani. dapatkah pemberontakan diredam?

22 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KORBAN akibat pemberontakan tahun baru puak Indian di Chiapas, Meksiko, masih terus berguguran. Bukan dalam bentuk jiwa melayang, melainkan kursi jabatan. Senin pekan lalu, misalnya, Presiden Carlos Salinas de Gortari memecat Menteri Dalam Negeri Patrocinio Gonzales Garrido, bekas Gubernur Chiapas yang melakukan kebijaksanaan pendekatan keamanan dalam mengatasi kemelut di selatan Meksiko itu. Penggantinya adalah Jorge Carpizo, yang hingga pekan lalu masih menjabat sebagai jaksa agung. Bekas pejabat penyidik hak asasi manusia pemerintah ini pun segera menerapkan kebijaksanaan baru. Operasi militer memburu gerilyawan Zapatisa, termasuk pengeboman dari udara, dihentikan. Dan hampir seluruh pasukan yang diterjunkan di Chiapas, sekitar 14 ribu tentara dan ini adalah sepertiga dari jumlah kekuatan personel tentara Meksiko seluruhnya, ditarik ke barak. Para serdadu yang masih kelihatan di kota-kota beralih tugas. Mereka sibuk membagikan air bersih, gula, jagung, selimut, dan bantuan sosial lainnya kepada penduduk setempat. Perubahan kebijaksanaan dari pendekatan keamanan ke pendekatan kesejahteraan ini memang merupakan perintah langsung Presiden Salinas. Selain memerintahkan aparat keamanan menjalankan gencatan senjata sepihak, Rabu pekan lalu, ia juga menugasi Menteri Luar Negeri Manuel Camacho Solis membantu Jorge Carpizo dalam bernegosiasi dengan kaum pemberontak. Camacho Solis, yang cuti sebagai menteri untuk memimpin komisi rekonsiliasi dan perdamaian, tidak membuang banyak waktu. Tokoh yang dikenal pakar dalam perundingan ini segera meminta Pendeta Samuel Ruiz menjadi mediator seperti diminta kaum pemberontak. Ini jelas sebuah konsesi besar karena sebelumnya pemerintah justru menuduh uskup di Kota San Cristobal de las Casas, ibu kota Chiapas, ini sebagai dalang pemberontakan. "Kami sekarang sedang menegakkan antena kami, guna melihat apakah panggilan untuk berunding akan disambut," kata Ruiz, yang lantang menyuarakan kepentingan puak Indian di Chiapas. Belum jelas benar apakah strategi baru Salinas ini akan segera memadamkan pemberontakan yang disulut oleh perjanjian perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA) itu. Pasalnya, kendati NAFTA secara umum sangat menguntungkan perekonomian Meksiko, ternyata secara khusus memukul nasib penduduk pribumi Chiapas. Yang utama karena sebagai bagian dari NAFTA, Meksiko harus mencabut peraturan yang tadinya memberi hak puak Indian bertani di tanah telantar. Di Chiapas akibatnya cukup dahsyat. Tahun lalu saja ribuan hektare tanah garapan suku Indian tiba-tiba harus dibebaskan oleh para petani kaya yang secara hukum memiliki tanah itu. Aparat hukum pun membantu eksekusi penggusuran yang kadangkala melibatkan pembakaran kampung dan ladang. Kendati penduduk Chiapas hanya 3,2 juta, alias tak sampai 4% total Meksiko, sekitar 30% sengketa tanah nasional berasal dari negara bagian yang paling miskin di antara 31 negara bagian ini. Upaya protes damai bukannya tidak dicoba. Lima demonstrasi yang sempat terjadi dibubarkan pihak yang berwenang dengan kekerasan. Suku Indian yang lain pun, yang tak tergusur ladangnya, ternyata terkena penggusuran yang lain. Perjanjian NAFTA juga mengharuskan Meksiko mencabut subsidi sektor pertaniannya. Ini sangat memukul petani kecil Chiapas, yang dengan subsidi pun rata-rata hanya berpenghasilan Rp 3 juta setahun. Itu sebabnya para pemberontak memilih 1 Januari lalu, alias awal berlakunya NAFTA, sebagai waktu berontak, yang menurut pemerintah memakan korban 107 tewas. Ini juga sebabnya kegiatan pemberontakan segera bersambut ke kawasan lain. Dua menara listrik di bagian tengah Meksiko diledakkan, pekan lalu. Bahkan ibu kota pun sempat dihebohkan oleh peledakan bom mobil yang menyebabkan seorang wanita terluka. Kekhawatiran bahwa pemberontakan ini akan marak ke tempat lain sebenarnya cukup beralasan. Maklum, penduduk pribumi Indian merupakan 29% penduduk total dan umumnya hidup sebagai petani miskin. Itu pula, tampaknya, yang menyebabkan Presiden Salinas segera berkesimpulan bahwa operasi militer di Chiapas tak akan menyelesaikan persoalan. "Mereka berjuang demi keadilan," kata Alonzo Gomez Mena, seorang pendeta suku Maya di Chacoma, salah satu dari lima kota di Chiapas yang sempat diduduki gerilyawan Zapatista. Pendapat Gomez ini, menurut laporan wartawan asing yang mewawancarai penduduk pribumi Chiapas, ternyata cukup populer. Setidaknya itu disuarakan dalam pertemuan 140 organisasi Indian Meksiko, termasuk yang selama ini dikenal pendukung pemerintah, di sebuah gudang, Kamis pekan lalu. Mereka mengeluhkan perlakuan para petani kaya, tuan tanah di pedesaan. "Mereka menggusur kami, membohongi kami, mendiskriminasi kami, membunuh kami, dan mengeksploitasi kami dengan berbagai cara," kata seorang pemimpin kelompok petani itu dengan berapi-api. Pemerintah pun menyambut keluhan itu. Berbagai program khusus bagi petani miskin segera disusun dan ditawarkan. Tentu bukannya tanpa pamrih. Agustus mendatang pemilihan umum akan diadakan. Dan Salinas mafhum bahwa bantuan ekonomi akan menghasilkan suara sedangkan peluru hanya akan membocorkannya. Masalahnya, seberapa konsekuen kebijaksanaan Salinas ini diwujudkan.Bambang Harymurti (Washington, D.C.)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum