SULIT mencapai kata sepakat di negeri sendiri, dicobalah berunding di negara tetangga. Pekan lalu dua pemimpin Afganistan berunding di kediaman Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif di Islamabad. Dan inilah perundingan pertama antara pemimpin Afganistan yang bertikai atas inisiatif pihak luar, yakni Nawaz Sharif itu. Sudah hampir setahun pejuang muslim mujahidin Afganistan meruntuhkan rezim komunis di Kabul. Tapi kemenangan April tahun lalu itu hingga pekan lalu belum juga membuahkan satu pemerintahan tetap yang disetujui oleh semua faksi mujahidin di republik Islam itu. Berkali-kali perundingan dibuka, berkali- kali gagal, dan biasanya diikuti dengan bentrok senjata. Terakhir, baku tembak antara pihak pemerintahan sementara dan faksi garis keras pimpinan Gulbuddin Hekmatyar terjadi di awal tahun ini. Ini tercatat sebagai pertempuran terbesar yang mengakibatkan sekitar 1.000 korban jiwa dan 6.000-an luka. Bahkan di saat dua wakil faksi terbesar (Hekmatyar dan Burhanuddin Rabbani) berunding di Islamabad, perang kembali berkobar di bagian barat Kabul Jumat pagi pekan lalu. Pemerintahan sementara yang berkuasa menuduh gerakan minoritas Hezb-i-Wahdat, federasi dari sembilan kelompok mujahidin Syiah, mencoba merebut kembali posisi mereka yang jatuh dalam perang bulan lalu. Sebaliknya Hezb-i-Wahdat menuduh pasukan pemerintahlah yang mulai menyerang. Perang yang berlangsung selama empat jam itu cukup bagi Hekmatyar, pemimpin kelompok Hezb-i-Islami yang bergaris keras, untuk memacetkan perundingan. ''Sudah saya katakan,'' katanya di Islamabad, ''jika perang meledak lagi di Kabul, saya akan segera pulang ke Afganistan.'' Hekmatyar, kini 34 tahun, jelas bukan hendak membela Hezb-i- Wahdat, yang sejak awal pemimpin Suni garis keras ini sulit akur dengan kelompok Syiah. Si Mata Elang, demikian ia dijuluki karena kepiawaiannya memimpin pasukan di masa perang gerilya, ini pun tentu tak akan berperang di sisi tentara pemerintahan sementara, yang juga dimusuhinya sejak awal. Jadi mungkin saja pemimpin Hezb-i-Islami yang mencita-citakan negara semacam Iran itu memang sekadar mencari dalih memacetkan perundingan. Tapi bukan hanya karena Hekmatyar bila perundingan, seperti yang lalu-lalu, tak menemukan jalan keluar baru. Yang ditawarakan sang juru penengah, Perdana Menteri Nawaz Sharif, bukan alternatif baru. Usulnya agar dibentuk sebuah pemerintahan koalisi sementara, sejak sebelum Kabul jatuh ke tangan mujahidin, sudah dirundingkan oleh para pemimpin faksi. Juga usulannya agar Burhanuddin Rabbani tetap pada jabatan presiden dengan Hekmatyar sebagai perdana menteri, sudah pernah diusulkan di awal-awal kemenangan tahun lalu. Dan Hekmatyar menolak karena ia ingin pemilihan umum dilaksanakan segera, sedangkan Rabbani mengusulkan tahun depan agar segala sesuatunya teratur dulu. Mudah dilihat, campur tangannya Pakistan memang punya pamrih. Dan di balik semua upaya tersebut adalah kecemasan Nawaz Sharif, bila perang (saudara) berkobar lagi di negeri tetangganya di barat itu. Sudah bisa diduga, bila perang meledak lagi, arus pengungsi akan kembali muncul ke perbatasan Afganistan. Selama perang 14 tahun sejak Soviet hengkang dari Afganistan, Pakistan terpaksa menampung tiga juta pengungsi. Hingga kini masih sekitar dua pertiganya tinggal di Pakistan. Bantuan US$ 185 juta dari AS hanya cukup untuk memulangkan satu juta pengungsi sampai akhir tahun lalu. Selama belum terbentuk pemerintahan tetap di Afganistan, tampaknya Pakistan masih harus menampung pengungsi itu. Dan tampaknya, kesepakatan terbentuknya pemerintahan yang bisa menyelenggarakan pemilu, yang memungkinkan berdirinya pemerintahan tetap Republik Islam Afganistan, masih belum terbayangkan. Informasi terakhir dari Afganistan, tampaknya akan menambah sulit perundingan. Yakni makin sulitnya salah satu tuntutan Hekmatyar dipenuhi oleh pemerintahan sementara. Tuntutan itu adalah ditariknya pasukan Jenderal Abdul Rashid Dostum keluar dari Kabul. Jenderal Dostum adalah anak buah rezim komunis Najibullah. Tapi kemudian ia membelot, dan membantu mujahidin ketika menjatuhkan pasukan Najibullah tahun lalu. Dibandingkan dengan pasukan mujahidin, pasukan Dostum jelas lebih profesional, meski disiplinnya mirip tentara liar. Ketika menguasai Kabul, pasukan Jenderal Dostum dituduh menjarah harta dan memperkosa rakyat. Sikap itulah yang membuat Hekmatyar antipati terhadap Dostum. Rabbani beserta panglima perangnya, Ahmad Syah Massoud, yang juga tak suka kepada Dostum, melihatnya dari sisi lain. Tak mudah mengusir pasukan berkekuatan 30.000 orang dan bersenjata lengkap. Maka yang dilakukan Massoud, panglima Jamiat-i-Ilsmai itu, mencoba mendisiplinkan tentara Dostum. Kabarnya, dengan dukungan 40.000 tentaranya, ia berhasil. Setidaknya tentara Dostum bisa dikontrol, bahkan tahun lalu beberapa di antaranya yang melakukan kejahatan ditangkap serta diadili. Dan Dostum tidak marah. Sikap Dostum yang akomodatif itu makin membuat sulit Massoud seandainya hendak memenuhi permintaan Hekmatyar mengusir Dostum ke luar Kabul. Dan kerepotan yang datang dari Dostum kini bertambah. Jenderal yang konon hanya lulusan SD itu kini minta bagian kekuasaan. Ia yang menguasai wilayah utara, mengusulkan dibentuknya federasi Afganistan yang terdiri dari empat wilayah otonom. Tak jelas benar mengapa empat. Dostum hanya menyebutkan, empat wilayah otonom itu didasarkan adanya empat kota besar di Afganistan: Mazar, Kandahar, Herat, dan Jalalabad. Adapun Kabul, dipakai sebagai pusat pemerintahan bersama yang kekuasaannya tidak penuh. ''Siapa saja bisa memimpin Afganistan,'' kata Dostum kepada majalah The Midlle East, ''yang kami inginkan adalah persamaan.'' Mungkin tidak sulit membentuk federasi Afganistan. Tapi mengapa hanya ada empat wilayah, sedangkan di negara ini banyak sekali suku. Dan menurut struktur pemerintahan Afganistan tradisional, para ketua sukulah yang berkuasa atas daerahnya. Hanya membagi negara tersebut menjadi empat wilayah, itu sama saja dengan mengundang perang saudara baru. Jadi, berkompromi dengan Hekmatyar sudah sulit, berunding dengan Dostum tampaknya tambah susah. Dan bila benar bahwa Jenderal Dostum mempunyai sumber dana dari industri opium di kawasan Sabit Mas (Pakistan, Afganistan, dan Tajikistan), ia tentu bisa mandiri menguasai suatu wilayah. Dengan kata lain, kompromi bisa makin jauh. Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini