Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Diktator terakhir di soviet

Presiden georgia, zviad gamsakhurdia melarikan diri ke armenia. ia diktator, melakukan penangkapan dan pembungkaman oposisi. kini pemerintahan dikendalikan dewan militer.

18 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"DIA pergi! Akhirnya Diktator itu telah pergi!" teriak seorang tentara Georgia sambil menenteng senapannya. Memang, Presiden Zviad Gamsakhurdia, setelah dua minggu berperang melawan tentaranya sendiri, beserta istri, dua putranya, dan 80 pengikutnya terpaksa melarikan diri ke Armenia. Dan adakah dia seorang diktator atau bukan, Gamsakhurdia terpilih secara sah melalui pemilu yang demokratis delapan bulan silam. Waktu itu ia populer sebagai pembela hak asasi manusia yang gigih. Bapak dua putra ini pada 1977 mendirikan kelompok Helsinki (sekarang bernama Helsinki Union), sebuah organisasi pembela hak asasi manusia dan pemelihara kebudayaan Georgia. Itulah ketika Georgia masih bagian dari Uni Soviet dan glasnost serta perestorika belum naik daun. Karena kegigihannya, aktivis yang juga dikenal sebagai penyair ini lantas ditangkap dan ditahan, hingga tahun berikutnya ia adalah salah satu orang Soviet yang dicalonkan Kongres AS untuk menerima Hadiah Nobel Perdamaian. Tahun 1979, Gamsakhurdia dibebaskan, dan semangatnya semakin menggebu dalam menjalankan aktivitas oposisi melawan tentara Soviet yang mendominasi Georgia. Pada 1989, ketika glasnost dan perestroika sudah menjalar ke mana-mana, Georgia malah mengalami peristiwa berdarah. Dengan menggunakan gas beracun, tentara Soviet membunuh 20 demonstran yang menginginkan kemerdekaan Georgia. Gamsakhurdia pun ditahan kembali. Sejak saat inilah tak putusputusnya rakyat dan aktivis politik berdemonstrasi untuk kemerdekaan Gerogia, lepas dari Uni Soviet. Setahun kemudian, Ghamsakhurdia dan pengikutnya berhasil menumbangkan dominasi partai komunis di parlemen, dan tak mengherankan jika pada April 1991 rakyat Georgia yang berjumlah 5,4 juta orang dan terkenal sangat nasionalis ini memilih memisahkan diri dari Uni Soviet. Sebulan kemudian, Gamsakhurdia memenangkan 87% suara dalam pemilihan presiden. Inilah pemilu langsung yang terjadi di negara bagian Soviet ketika negara itu belum bubar. Kekuasaan bisa mengubah orang, kata para bijak. Dan itulah yang terjadi dengan Gamsakhurdia. Ia mengembalikan sejarah lama Georgia: penangkapan dan pembungkaman oposisi. Mula-mula dikuasainya stasiun televisi. Lalu ditangkapinya orang yang mengkritik dia: Perdana Menteri Tengiz Sigua, Menteri Luar Negeri Georgy Khostaria, dan pemimpin partai oposisi Partai Demokrasi Nasional Georgy Chanturia. Gamsakhurdia menutup koran-koran yang dianggapnya liberal, juga universitas. "Kami tak akan mengizinkan anarki di Georgia atau pesta gila-gilaan seperti yang dilakukan orang Kremlin," kata Gamsakhurdia waktu itu. Tapi kediktatoran bukan zamannya lagi. Empat ribu tentara komando berbalik menentangnya. Mereka mendukung tokoh-tokoh oposisi, mengontrol televisi dan gedung-gedung pemerintah lainnya. Tujuannya, memaksa Gamsakhurdia meletakkan jabatan. Dan ini sudah cukup membuat Gamsakhurdia mengumumkan negara dalam keadaan darurat. Sementara itu, Uni Soviet bubar. Boris Yeltsin mengumumkan pada dunia berdirinya Persemakmuran Negara-Negara Merdeka. Georgia, yang sibuk dengan pertentangan itu, tampaknya tak sempat mendaftar. Belakangan memang ada upaya Georgia masuk Persemakmuran, tapi Boris Yeltsin mengatakan agar urusan dalam negeri diselesaikanm dulu. Kini, setelah Gamsakhurdia terusir, Georgia dikendalikan oleh sebuah dewan. Salah satu tugas dewan tersebut adalah mengadakan pemilu untuk memilih pemerintah yang benar-benar sah. Sementara Gamsakhurdia menuju Armenia mengendarai Mercedes dengan uang 10 juta rubel, televisi Georgia menayangkan bunker yang terdapat di bagian bawah gedung parlemen. Yang terlihat adalah puluhan borgol yang menggantung di pipa-pipa air dan alat-alat listrik yang biasa digunakan untuk menyiksa orang. "Banyak orang yang disiksa di bunker," kata pemimpin Partai Demokrasi Nasional Georgy Chanturia, "Kami tak tak tahu berapa banyak yang jadi korban, tapi kami akan segera menemukan mereka." Karena tindakan Gamsakhurdia inilah pemimpin pemberontak Ioselalni meminta agar negara mana pun yang bersedia memberikan suaka politik pada Gamsakhurdia segera mengembalikannya ke Georgia. "Ia harus dituntut di muka pengadilan karena tindakannya pada rakyat," kata Ioseliani. Belum jelas calon-calon pemimpin yang akan muncul dalam pemilu yang juga belum jelas kapan mau diadakan, di negeri yang penduduknya terdiri dari 70% orang Georgia dan 8% orang Armenia ini. Bekas Menteri Luar Negeri Uni Soviet Eduard Shevardnadze, yang berasal dari Georgia, menyatakan ingin kembali ke Georgia dan mengembalikan kehidupan demokrasi. "Saya siap berpartisipasi dalam proses demokrasi sebisa saya," katanya di televisi. Tapi, tokoh yang pernah menjadi Ketua Partai Komunis Georgia tahun 1970-an itu meninggalkan sejarah tak enak di negerinya. Ia pun pernah bertindak dengan tangan besi. "Kini dia berbicara dengan suara yang berbeda," begitu Jaba Ioseliani menyindir. Sementara itu, salah satu anggota kerajaan Georgia yang dulu didepak kaum komunis menyatakan ingin kembali. Jorge Bagration de Mukhgrani, yang mengasingkan diri di Spanyol, bersedia menyelesaikan pertikaian di bekas kerajaannya itu bila ia diangkat menjadi raja secara konstitusional. Siapa pun yang muncul sebagai pemimpin Georgia, mestinya lewat pemilu nanti. Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus