PAMAN Sam berhasil mempertahankan Konperensi Damai Timur Tengah, meski harus menampar sekutu lamanya, Israel. Untuk menyelamatkan legitimasi delegasi Palestina, misalnya, AS terpaksa menyetujui resolusi PBB yang mengutuk Is rael. Terpenting, untuk pertama kalinya Amerika mengakui Yerusalem sebagai daerah geografis Palestina. Lalu seorang pemimpin PLO, Nabil Shaath, diberi visa berkunjung ke Washington, D.C., kendati kebijaksanaan AS selama ini adalah menafikan hal ini. Juga, rencana bantuan pinjaman US$ 10 milyar berjangka lima tahun -- untuk meringankan ekonomi Israel dari serbuan imigran Eropa Timur -- belum akan dicairkan. Dan Konperensi itu makin bermakna karena berbagai upaya AS melalui jalur informal bisa melunakkan beberapa sikap delegasi yang tadinya merupakan penghambat. Suriah, misalnya, tak lagi bersikeras meminta pemulangan Dataran Tinggi Golan sebagai prasyarat memulai pembicaraan yang mendasar. Walhasil, ini membuka peluang pertukaran wilayah pendudukan dan jaminan keamanan sebagaimana pola pertemuan Camp David antara Israel dan Mesir. Perubahan sikap ini tampaknya merupakan upaya Asad untuk mengambil simpati AS yang kini memegang monopoli kategori negara superkuat itu. Di pihak Israel juga ada pelunakan. Pernyataan bahwa Israel tidak beranggapan perlu menguasai wilayah Libanon membuat delegasi negara yang sering diinvasi Israel itu berwajah ceria. Persoalannya tinggal bagaimana meyakinkan Israel bahwa wilayah Libanon tak akan menjadi sarang "teroris" yang dianggap berbahaya bagi keamanan negara Yahudi itu. Dalam soal Palestina pun pihak Israel sudah menunjukkan sikap tidak keberatan memberikan otonomi lebih besar, "sebagai sebuah transisi, oke saja," kata Duta Besar Israel untuk AS, Zalman Shoval. Walhasil, ruang gerak untuk mencapai kesepakatan memang ada. Hanya saja, ada beberapa hal yang menyebabkan Martin Indyk meramalkan, "Tak akan terjadi kebuntuan, tapi tak akan ada pula terobosan," dalam perundingan ini. Di antaranya adalah karena persoalan politik domestik. Israel dan AS akan mengalami pemilihan umum tahun ini, dan ini pengaruhnya cukup besar. Kalau calon dari Partai Demokrat yang terpilih menjadi Presiden AS -- kendati saat ini kemungkinannya sangat kecil -- sikap Paman Sam akan jauh lebih pro-Israel. Demikian pula hasil pemilu Israel, bila yang berkoalisi adalah partai sayap tengah -- artinya Likud bergabung dengan Partai Buruh -- proses perdamaian akan lebih cepat terjadi. Yang pasti, tekanan internasional untuk menyelesaikan kemelut Timur Tengah akan semakin besar. Bahkan tanggal 28 Januari ini sudah disepakati bahwa 23 menteri luar negeri berbagai negara akan mengadakan pertemuan di Moskow untuk membicarakan kawasan kaya minyak dan konflik itu. Tampaknya, AS akan mengajak negara berduit dan berpengaruh seperti Jepang, Eropa, Saudi, dan Mesir untuk mempersatukan pengaruh mereka dalam mendamaikan Timur Tengah. "Soalnya, kawasan Timur Tengah merupakan ancaman paling besar terhadap perdamaian dunia," kata mantan Presiden Richard Nixon dalam wawancara dengan jaringan TV ABC pekan lalu. Karena, Israel diketahui memiliki senjata nuklir sehingga membuat para seterunya akan berupaya sekuat mungkin untuk memilikinya juga, "baik dengan cara halal maupun haram," kata Nixon. Dan dengan buyarnya Uni Soviet menjadi selusin negara baru, ancaman ini semakin terasa. Maklum, ribuan pakar senjata pamungkas ini, yang sudah terbiasa hidup makmur, sekarang terancam menganggur. Negara yang cukup punya uang untuk menampung mereka adalah negara-negara Timur Tengah. Perdana Menteri Shamir mestinya sadar terhadap hal ini. Celakanya, sulit bagi bekas anggota teroris Irgun ini untuk mengubah kebijaksanaan garis kerasnya. Pasalnya, Partai Likud yang dipimpinnya hanya menguasai 58 kursi di parlemen (Knesset) yang mempunyai 120 anggota. Maka, ia terpaksa bergabung dengan partai fundamentalis Yahudi yang memiliki empat kursi dan partai sayap kanan ekstrem yang memiliki dua kursi. Dan baik partai fundamentalis maupun sayap kanan ekstrem ini beranggapan bahwa mengembalikan tanah yang direbut itu haram hukumnya. Inilah, agaknya, yang memaksa Shamir melakukan serangkaian tindakan yang membahayakan proses perdamaian Timur Tengah, seperti deportasi 12 aktivis dan menganggarkan pembangunan permukiman Yahudi di wilayah pendudukan. Bila ia ingin berkuasa lagi, Shamir memang harus memperhatikan keinginan kelompok ekstrem kanan. Bambang Harymurti (Washington, D.C.)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini