MENGHIDUPKAN kembali perundingan damai Timur Tengah yang macet, itulah ujian pertama bagi menteri luar negeri AS, Warren Christopher. Dan itu sangat tidak mudah. Kali ini syarat agar Konperensi Damai yang pertama kali diadakan 30 Oktober 1991 di Madrid itu menggelinding kembali sangat kongkret: dipulangkannya sekitar 400 orang Palestina yang diusir oleh Israel pertengahan Desember lalu. Kata Hanan Ashrawi, juru bicara delegasi Palestina untuk Konperensi Damai Timur Tengah, pekan lalu: delegasinya tak akan menghadiri perundingan tentang Timur Tengah bila semua orang yang diusir belum ditarik pulang. Atau setidaknya ada pengakuan dari pemerintah Israel bahwa tindakan pengusiran itu menyalahi hak asasi. Seperti sudah disetel, dari daerah tak bertuan di Lebanon Selatan, tempat orang-orang usiran itu tersangkut, terdengar suara senada. Pekan sebelumnya, Abdul Azin Al- Rantisi, pemimpin orang-orang Palestina itu, menampik tawaran pemulangan bertahap dari utusan Israel. Pekan lalu, Rantisi pun menolak usulan hampir serupa, yang kali ini datang dari Dewan Keamanan PBB. ''Kalau Israel mengakui bahwa pengusiran itu tak adil, tak sah, dan melanggar hukum, kami akan mempertimbangkan tawaran itu,'' kata Rantisi, Kamis pekan lalu. Dua pernyataan itu tentunya terpaksa menjadi pertimbangan penting dalam kepala Christopher bila pekan ini ia jadi mengunjungi Israel, Mesir, Suriah, Yordania, dan Arab Saudi, dengan tujuan pokok menghidupkan lagi proses damai Timur Tengah. Mungkin untuk memberi sinyal pada Israel bahwa kunjungan Christopher serius, Rabu pekan lalu seorang senator AS, Patrick Leahy, berbicara tentang bantuan tetap AS untuk Israel. Kata Leahy dalam wawancaranya di televisi Amerika, bantuan tetap US$ 3 miliar untuk Israel terpaksa akan ditinjau lagi bila Israel terbukti menjadi penghalang berlanjutnya Konperensi Damai Timur Tengah. Barangkali dengan maksud memojokkan Israel secara tak langsung, agar lebih mudah diajak kompromi, Senator Leahy dalam wawancara itu pun menyebut-nyebut makin banyaknya remaja Palestina belasan tahun yang menjadi korban peluru tentara Israel belakangan ini (lihat Intifadah Makin Remaja). Tapi apa yang bisa dilakukan oleh Perdana Menteri Yitzhak Rabin? Menarik pulang orang-orang yang diusirnya dan mengakui bahwa keputusannya yang lalu keliru? Ini sama saja dengan Rabin menentang keputusan mahkamah agung Israel yang sudah menyatakan bahwa pengusiran itu sah berdasarkan hukum Israel. Ditambah dengan kemungkinan suara oposisi akan makin keras, langkah Rabin mencabut pengusiran akan membahayakan kedudukannya. Kalangan diplomat di Timur Tengah melihat satu jalan yang bisa ditempuh Rabin, tanpa membahayakan kedudukannya dan sekaligus bisa menyelamatkan hubungan AS-Israel. Yakni, Rabin memberikan isyarat-isyarat pada pihak Palestina bahwa ia sebenarnya berniat meneruskan Konperensi Damai Timur Tengah. Misalnya Rabin lalu membebaskan sejumlah tawanan Palestina, dan mengendurkan pengawasan di wilayah pendudukan. Di samping itu, meneruskan tawaran penarikan bertahap, sampai akhirnya pada akhir tahun ini 400-an orang Palestina yang diusir itu pulang semua. Tapi maukah pihak Palestina menerima isyarat tersebut? Belum lama ini seorang pejabat PLO dan pembantu dekat Yasser Arafat menyatakan, mungkin saja pihak Palestina melanjutkan Konperensi Damai sebelum semua warga Palestina yang diusir pulang. Meski akhirnya muncul pernyataan resmi PLO bahwa pendapat tersebut pendapat pribadi, dan PLO tetap menuntut pemulangan semua yang dusir sebelum perundingan dilanjutkan, rasanya sikap kompromistis pihak Palestina masih bisa diharapkan. Apalagi bila di pihak Palestina dan negara-negara Arab terjadi perpecahan sikap terhadap Konperensi Damai. Misalnya, atas saran Warren Christopher, Israel tiba-tiba bersedia menyerahkan Dataran Tinggi Golan tanpa syarat kepada Suriah, seperti yang dituntut Damaskus. Maka bukannya tak mungkin lalu Amerika meminta Mesir, Suriah, dan Arab Saudi agar membujuk Palestina supaya bersedia lagi berunding. Dan Palestina, mempertimbangkan kemungkinan berjuang sendirian bila tetap pada pendirian semula, bisa saja lalu menerima kompromi ini. Soalnya adalah kembali pada isyarat yang diberikan oleh Patrick Leahy, senator yang punya akses pada bantuan internasional di Kongres Amerika itu. Bantuan Amerika pada Israel akan dipertimbangkan lagi bila terbukti Israellah yang menjadi penghalang Konperensi Damai. Yang belum jelas, apa makna ''menjadi penghalang''. Bila saja Israel memberikan isyarat mau berkompromi, misalnya dengan membebaskan sejumlah tawanan Palestina, dan Palestina tetap berkeras mensyaratkan pemulangan semua yang diusir, siapa kemudian yang dicap oleh Amerika sebagai ''penghalang''? Warren Christopher memang sedang diuji: apakah politik luar negeri AS punya ukuran ganda atau tidak. Farida Sendjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini