RAJA Melayu, kata Tengku Razaleigh Hamzah, harus kebal hukum. Sebab, tambah Presiden Semangat 46 Malaysia itu, jika tidak, ''Raja Melayu tidak ada bedanya dengan Rajagopal atau Rajaratnam yang boleh ditemui di mana- mana.'' Rajagopal atau Rajaratnam, itulah kebanyakan nama warga negara Malaysia keturunan. Menurut Tengku Razaleigh yang termasuk kerabat raja ini, raja-raja Melayu masih diperlukan sebagai benteng terakhir agar orang Melayu tetap menjadi tuan di tanah sendiri. Mungkin Razaleigh agak berlebihan. Soalnya tak jelas betul bagaimana cara sultan melindungi nasib Melayu. Para sultan sebenarnya tak mempunyai hak mutlak lagi seperti di zaman Kerajaan Malaka dulu. Sebutlah hak Yang Dipertuan Agung dan para sultan untuk melantik perdana menteri dan menteri besar. Ternyata hak itu sebatas tugas melantik. Jadi, jika menteri besar di suatu negeri orang keturunan Cina, sultan bisa saja menolak untuk melantiknya, namun tetap tak bisa menunjuk penggantinya. Calon tetap ditunjuk oleh partai yang berkuasa. Sebenarnya semangat mempertahankan tradisi kerajaan di Malaysia didorong oleh sikap antikolonialisme. Ketika penguasa Inggris masuk ke Malaya, para sultan segera dikurung menjadi Badan Penasehat di negerinya yang tidak mempunyai kekuasaan apa pun, selain di bidang agama dan adat Melayu. Hak untuk melakukan perbudakan, pemungutan pajak, dan otoritas dalam penentuan hak milik tanah, dicabut dari tangan sultan. Hukumyang diterapkan di Malaysia, memang kemudian adalah hukum Inggris, atau setidaknya hukum di negara jajahan Inggris lainnya, misalnya hukum di India. Tinggallah sultan mengurus perkawinan, perceraian, warisan, dan wakaf. Adalah Sultan Johor, menurut Prof. Husin Ali dalam buku Rakyat Melayu dan Masa Depannya, yang pertama kali setuju dengan penggembosan hak sultan di zaman kolonial itu. Namun sekelompok perwira senior segera protes dan menyatakan sikap bahwa sultan tak berhak mengalihkan negeri kepada kekuasaan Inggris atau kekuasaan asing lain. Di bawah bendera Kesatuan Melayu Johor, mereka berkampanye ke seluruh negeri dan mendapat dukungan rakyat sehingga Sultan Johor menarik kembali persetujuannya. Gerakan itu, dan dukungan dari umat Melayu, mendorong berdirinya UMNO pada tahun 1946. Organisasi inilah yang sebenarnya lebih menjamin nasib umat Melayu. Atas perjuangan UMNO, konstitusi Malaysia memberi posisi khusus kepada umat Melayu, yang mencakup pengangkatan pegawai negeri, pemberian beasiswa, maupun hak untuk mendapat lisensi dan izin-izin. Sedangkan para sultan hanyalah bertugas menentukan jumlah yang tepat dari pegawai negeri dan lain-lainnya. Kewenangan mutlak sultan hanya pada urusan agama dan adat. Sultan, misalnya, bebas memilih mufti, atau kepala urusan agama. Kewenangan sultan terlihat dari ini: semua keputusan mufti baru sah setelah mendapat persetujuan sultan. Sedangkan dalam adat, sultan berhak penuh membuat aturan dalam istana dan balai-balai raja lainnya. Ia juga berhak menentukan orang yang layak mendapat gelar bangsawan. Tampaknya jelas, untuk melaksanakan tugas-tugas keagamaan dan adat itu para sultan tak memerlukan kekebalan hukum. Maka, bahkan Sultan Johor Mahmood Iskandar pun terpaksa menerima pencabutan kekebalan hukumnya. ''Saya terpaksa menerima usulan perubahan pelembagaan kalau memang itu kehendak rakyat,'' kata Sultan Iskandar di hadapan umat rakyat negeri Johor ketika salat Jumat di Johor Baru, pekan lalu. Usai berpidato, ribuan umat antre menyalami sultan yang pernah memukul pelatih hockey itu. Memang bagi sebagian rakyat Melayu, tampaknya sultan masih dibutuhkan. ''Kendati ada keburukannya, kebaikannya melimpah pula,'' kata seorang bekas pengawal Sultan yang dihubungi TEMPO. Pria berusia 65 tahun itu bercerita, sultan sering berkeliling kampung membagi-bagikan uang. Acara ini, katanya, selalu ditunggu-tunggu oleh rakyat. Tapi kenyataan yang sulit diabaikan, kini tak semua orang Malaysia bisa menghormati sultan lagi. ''Apa kerja beliau itu? Ngurus Melayu pun taklah. Yang ramai malah selundupkan mobil mewah, main perempuanlah,'' kata seorang sopir taksi di Johor Baru. Menurut M. Hanafiah A. Samad, Sekretaris Pers Menteri Besar Johor, sebenarnya para sultan masih melaksanakan tugas kemasyarakatan, seperti peresmian pesta sukan atau expo, membuka musabaqah tilawah quran, memberi hadiah dalam tiap perlombaan, dan sesekali turun ke kampung-kampung. Tapi untuk melaksanakan itu, memang tak memerlukan kekebalan hukum. Liston P. Siregar (Jakarta) & Wahyu Muryadi (Johor Baru)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini