Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Daripada punai di tangan

Kesembilan sultan malaysia menyetujui perubahan uu penghapusan hak-hak istimewa sultan. mereka hanya dapat diadili oleh peradilan khusus jika melakukan tindakan pidana.

20 Februari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAMPAKNYA sembilan sultan Malaysia akhirnya melihat kenyataan zaman. Setelah bersidang selama dua hari di Istana Negara, pekan lalu kesembilan sultan Malaysia akhirnya bersedia menerima perubahan undang-undang yang memangkas hak-hak istimewa dan menghapus kekebalan yang selama ini mereka nikmati. ''Sidang Dewan Raja bersama pemerintah menyepakati amandemen tersebut,'' bunyi Deklarasi Bersama yang ditandatangani oleh Jaksa Agung Tan Sri Abu Talib Othman dan Pemegang Lambang Kerajaan, Engku Datuk Ibrahim Engku Ngah. Setelah dimodifikasi di sana-sini, tulis deklarasi itu, Yang Dipertuan Agong akan mengembalikan RUU tersebut ke Parlemen dalam waktu tak lama lagi. Selanjutnya amandemen, yang telah disahkan Parlemen Januari lalu, bakal menjadi UU baru yang secara garis besar menyangkut tiga hal. Pertama, para sultan tak mempunyai kekebalan hukum lagi. Artinya, mereka dapat diadili oleh sebuah peradilan khusus bila melakukan tindak pidana atau korupsi. Kedua, hak amnesti dan pengampunan yang diberikan para sultan kepada kerabat kerajaan tak berlaku lagi. Dan terakhir, Akta Hasutan yang berisi larangan untuk mengkritik para sultan dicabut. Dengan begitu anggota parlemen maupun rakyat biasa diberi keleluasaan untuk mengkritik atau memasalahkan perilaku buruk para sultan. Meski seandainya sultan harus diadili, pengadilannya adalah khusus. Yang masih ditawar oleh para sultan adalah bentuk pengadilan khusus itu. Berdasarkan amandemen yang disahkan parlemen Januari lalu, komposisi pengadilan khusus itu terdiri dari dua hakim agung dan dua jaksa agung dari Pemerintah, dan dua wakil yang ditunjuk oleh Dewan Raja sebagai pendamping. Wakil Perdana Menteri Malaysia Ghafar Baba, yang hadir dalam sidang Dewan Raja, belum tahu rincian usulan dari para sultan tentang bentuk pengadilan khusus itu. ''Yang penting, mereka bersedia dihadapkan ke depan sebuah pengadilan khusus,'' ujarnya kepada wartawan. Ada dugaan bahwa para sultan masih keberatan dengan pengadilan khusus itu. Mereka lebih suka bila Dewan Raja yang mengadili kasus pelanggaran para sultan. Kini semua itu bergantung pada sikap pemerintahan Mahathir. Bila saja modifikasi dari para sultan itu disetujui, UU baru dapat diberlakukan sebelum April, sesuai dengan jadwal yang direncanakan. Seperti diketahui, hak-hak istimewa para sdultan itu menjadi pembicaraan hangat di Malaysia sejak tahun lalu. Yakni setelah pelatih hoki, Douglas Gomez, dipukuli oleh Sultan Johor, Iskandar Mahmood, di pekarangan Istana Bukit Serene Desember 1992. Tak kurang dari empat jam, menurut penuturan Gomez, ia menjadi bulan-bulanan jotosan Sultan dan keenam tukang pukul kerjaan sehingga ia terpaksa mendekam di rumah sakit selama tiga hari. Sultan Iskandar kesal kepada Gomez yang mengkritik keputusannya melarang tim hoki Maktab Sultan Abu Bakar ikut Kejuaraan Sekolah MHF-Milo. Larangan itu dikeluarkan Sultan gara-gara putranya, Tunku Abdul Majid Idris, diskors oleh Federasi Hoki Malaysia. Penskorsan itu sendiri dijatuhkan karena Abdul Majid memukul penjaga gawang lawan dalam Pesta Sukan Malaysia Juli 1992. Beberapa hari setelah Gomez melaporkan ihwalnya ke polisi dan diungkapkan oleh sejumlah harian di Malaysia -- sesudah Mahathir sendiri menjamin keadilan padanya -- parlemen Malaysia mengecam tindakan Sultan Iskandar. Esoknya Jaksa Agung Abu Talib Othman memerintahkan polisi untuk meminta keterangan Sultan Iskandar. Sementara itu Wakil PM Ghafar Baba mengusulkan agar parlemen menjajaki kemungkinan perubahan UU tentang kekebalan sistem monarki, agar kasus penganiayaan itu tak terjadi lagi. Ternyata usul Gafhar itu tak hanya didukung oleh Barisan Nasional -- koalisi sejumlah partai pendukung pemerintahan Mahathir -- tetapi juga oleh partai oposisi lainnya. Akhirnya Januari lalu parlemen dengan suara bulat menyetujui suatu amandemen yang menggantikan UU yang memberi kekebalan para sultan. Selanjutnya parlemen menyampaikan RUU ke hadapan Dewan Raja, karena tak apa pun bisa dilakukan terhadap para sultan tanpa persetujuan Dewan Raja -- ini dijamin dalam konstitusi. Setelah berlarut- larut akhirnya, itu tadi, Dewan Raja menyetujui RUU itu dengan modifikasi. Bersamaan dengan itu pemerintahan Mahathir tak henti- hentinya meneruskan upayanya mengurangi sejumlah kemudahan yang diberikan bagi para sultan yang dinilai tak proporsional. Antara lain penghapusan penyediaan ruang khusus bagi para sultan di rumah-rumah sakit. Lalu tenaga pengawal bagi iring-iringan mobil para raja, yang tadinya berjumlah 12 orang dikurangi menjadi empat orang saja. Demikian pula tentara khusus istana, yang gajinya datang dari pemerintah federal, kini dibebankan pada kesultanan. Dan 23 pilot dan teknisi pesawat, yang selama ini dipekerjakan bagi keperluan kesembilan sultan, juga bakal ditarik ke Kuala Lumpur. Juga fasilitas penggunaan landasan lapangan terbang, pesawat terbangnya, maupun bahan bakarnya tak bisa lagi diperoleh para sultan. Demikian pula fasilitas kendaraan dan nomor kendaraan khusus -- bernomor tunggal -- untuk para sultan dihapuskan. Kini pihak bea cukai Malaysia tengah mengusut 30 kendaraan mewah -- bea masuknya belum dibayar -- yang diimpor oleh keluarga para sultan. Penyalahgunaan wewenang oleh sebagian sultan itu dimungkinkan karena besarnya kekuasaan di tangan para sultan. Tahun 1946 pemerintah kolonial Inggris berniat mengambil alih kekuasaan para raja Melayu dengan mendirikan sebuah negara Serikat Malaya. Untuk itu Inggris memaksa kesediaan para sultan menyerahkan kekuasaannya dengan meneken Perjanjian Uni Malaya. Namun Uni Malaya hanya berusia setahun lebih. Rakyat Melayu, yang membentuk partai politik bernama UMNO (United Malay National Organization), menentang keras Uni itu. Pemerintah Inggris pun mengembalikan kekuasaan para raja. Setahun menjelang kemerdekaan Malaysia, Tengku Abdulrahman dan rombongan berangkat ke London. Tengku mengusulkan kemerdekaan Malaysia, dan Kerajaan Inggris ternyata menyetujui dan membantunya dengan membentuk sebuah tim komisi perancang UUD beranggotakan empat orang yang diketuai Lord Reid dari Inggris. Setelah bersidang sebanyak 118 kali, komisi itu berhasil menelurkan RUUD baru, yang isinya antara lain mengukuhkan kembali kekuasaan para raja dan rincian wewenang dan tunjangan yang didapatnya. Rancangan ini pun disodorkan kepada 11 wakil Malaysia -- empat di antaranya raja Melayu -- untuk diteliti kembali. Setelah diperbaiki di sana-sini, UUD itu pun disahkan. Yang paling pokok hingga memungkinkan para sultan menggunakan kekuasaannya secara semaunya adalah adanya Akta Hasutan itu. Dengan akta ini sultan, apa pun yang dia lakukan, tak bisa diajukan ke depan pengadilan. Kini, dengan adanya UU yang menurut rencana disahkan parlemen bulan depan, kesembilan sultan itu tak lagi kebal hukum. Mereka harus berpikir dua kali bila bertindak tak senonoh. Seperti memukuli hamba sahayanya, menggelapkan pajak impor mobil mewah, plesir ke luar negeri dengan biaya pemerintah federal di akhir tahun, ataupun ikut bertaruh dalam pertandingan pacuan kuda di Inggris dengan uang pemerintah federal. Juga sejumlah tunjangan bagi kerabat sultan -- seperti cucu, kemenakan, dan lainnya -- tak lagi diberikan. Kecuali tunjangan sultan dan keluarganya antara Rp 31 juta dan Rp 32 juta per tahun. Biaya renovasi istana pun kini diseleksi lebih ketat, dan seorang sultan hanya diberi fasilitas satu mobil bagi keperluan keluarganya. Singkat kata, hal-hal yang memungkinkan para sultan hidup gemerlap dengan mudah, dengan menyelewengkan fasilitas dari pemerintah federal, kini disetop. Kalau begitu mengapa Dewan Raja akhirnya bersedia menerima RUU yang memangkas hak-hak istimewa dan kekebalan mereka? Sebuah sumber di kalangan kerajaan menyatakan, para sultan memang berada di posisi sulit menghadapi gagasan Mahathir ini. Meskipun mereka, misalnya, bersikeras menolak usul amandemen itu, amandemen tetap akan diberlakukan karena parlemen sudah menyetujuinya. Sehingga posisi mereka akan lebih tersudut, bahkan punya risiko menerima kemungkinan paling buruk: dihapuskannya seluruh fasilitas yang hingga kini masih diperolehnya. Padahal jumlah tunjangan untuk kesembilan sultan cukup besar: tiap sultan rata-rata mendapatkan 360.000 ringgit (sekitar Rp 288 juta) dari Pemerintah Federal di Kuala Lumpur dan dari 13 negara bagian Malaysia per tahun. Itu sama dengan lebih dari 50 kali pendapatan per kepala di Malaysia yang 7.000 ringgit, atau sekitar Rp 5,6 juta. Itu belum termasuk subsidi lain-lain. Melihat kemungkinan tersebut, menurut sumber itu, ''kerabat kerajaan mendesak para sultan agar menyetujui amandemen yang diusulkan pemerintah Malaysia''. Seorang pengacara, bekas penasihat pihak kerajaan, membenarkan hal itu. ''Daripada kehilangan tunjangan sebesar itu dan jatuh miskin, terpaksalah mereka terima RUU itu walaupun harus hidup hemat,'' ujarnya. Lagi pula, di mata rakyat Malaysia, kedudukan monarki dalam pemerintahan zaman sekarang tak lagi kuat seperti dulu. Memang sebagai penjamin dominasi puak Melayu dan penerus tradisi Melayu, peranan para sultan cukup penting. Hal ini diakui pula oleh kalangan politisi UMNO. ''Tak bisa dimungkiri bahwa rakyat masih menginginkan rajanya,'' katanya. Namun hal itu kurang dirasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Terungkapnya sejumlah kasus pelanggaran oleh kerabat kerajaan menyebabkan rakyat Malaysia akhirnya berpihak pada Perdana Menteri Mahathir. Secara politis, persetujuan Dewan Raja itu merupakan kemenangan bagi UMNO atas Semangat 46 yang menjadi saingan politiknya. Seperti diketahui, partai sempalan UMNO yang diketuai Tengku Razaleigh ini banyak mendapat dukungan dari kalangan kesultanan. Terutama Sultan Kelantan yang berambisi mendudukkan Razaleigh, yang tak lain adalah keponakannya, di kursi perdana menteri. Tapi Razaleigh dikalahkan Mahathir dalam perebutan kursi Ketua UMNO tahun 1987. Namun yang menarik disimak dari semua analisa itu adalah pendapat yang mengatakan bahwa langkah ini berkaitan dengan kebijaksanaan Mahathir mengubah sikap bangsa Melayu agar lebih profesional. Para pemimpin UMNO yakin, rakyat Melayu tak lagi harus dibatasi dengan tembok-tembok tradisi lama yang feodalistis, melainkan menjadi bangsa Melayu modern yang berorientasi bisnis dan berpikiran maju. Dan itu tergantung, ''Mutu komunitas Melayu, dengan kemampuan individu di bidang ilmu dan bisnis, tanpa meninggalkan nilai-nilai agama Islam,'' ujar seorang tokoh UMNO. Jadi sebenarnya, ''Kami hanya ingin mengubah monarki berpandangan modern, dan meninggalkan cara-cara feodalistis yang selama ini dianut.'' Apa boleh buat bila itu hanya bisa dilaksanakan dengan memangkas hak-hak istimewa dan wewenang sultan. Didi Prambadi (Jakarta) & Ekram HA (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus