Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENJARA terbang milik ”Maskapai CIA Airlines” ternyata dua kali mampir di Jakarta. Penerbangan dengan tujuan Bagram, Afganistan, itu pastilah di Jakarta bukan untuk mengisi bahan bakar. Menurut The Washington Post, dua pendaratan itu untuk menjemput tertuduh teroris yang terkait dengan Al-Qaidah yang ditangkap di Indonesia.
Pesawat pertama mendarat pada 10 Januari 2002 dini hari, menjemput Muhammad Saad Iqbal Madni, yang ditangkap aparat Indonesia sehari sebelumnya. Menurut The Washington Post, CIA menginformasikan kepada Badan Intelijen Negara (BIN) bahwa warga Pakistan itu terkait kasus Richard C. Reid. Sekitar tiga pekan sebelumnya, 22 Desember 2001, Reid, warga Inggris itu, ditangkap oleh CIA. Ia didakwa akan meledakkan pesawat yang dinaikinya dari Paris ke Miami dengan bom yang disimpan di sol sepatu.
Madni ditangkap di rumah kontrakannya di Matraman, Jakarta Timur, Rabu pagi, 9 Januari 2002. ”Penangkapan dilakukan tim Direktorat Jenderal Imigrasi bersama polisi,” kata Ade E. Dahlan, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Imigrasi, kepada Koran Tempo saat itu. Pemegang paspor LA 052013 itu masuk Indonesia pada 17 November 2001 dengan visa kunjungan sosial budaya. Ia ditahan karena didakwa memalsukan dokumen. Sesungguhnya Madni bukan baru pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta. Sepuluh tahun sebelumnya, 1991, ia tinggal di Matraman bersama ayahnya yang mengajar di Lembaga Pendidikan Bahasa Arab, lembaga yang berada di kawasan Matraman.
Orang Pakistan itu tak ditahan di tahanan Imigrasi. Kebetulan, ruang tahanan di lantai dasar Kantor Imigrasi, di Jakarta Selatan, sedang direnovasi setelah terbakar beberapa hari sebelumnya. Maka Madni yang ditangkap di Jakarta Timur ini dititipkan di tahanan Kepolisian Sektor Sawah Besar, Jakarta Pusat. Kepala Polsek Sawah Besar Komisaris Polisi Mamat Surachmat membenarkan adanya titipan kelas kakap itu. ”Dia titipan Imigrasi,” ujarnya kepada Koran Tempo saat itu.
Hanya sekitar 13 jam Madni dalam tahanan polisi. Ia dimasukkan ke sel pada Rabu pukul 09.00, diambil pukul 22.00, dan langsung digelandang ke Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Tapi rupanya ada salah koordinasi. Ia lalu diterbangkan ke Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur. ”Beberapa petugas intelijen Amerika sudah menunggu untuk menginterogasi,” kata seorang agen utama BIN kepada Tempo.
Akhirnya, sekitar dua jam setelah ia dikeluarkan dari tahanan polisi, Madni diterbangkan dengan ”Maskapai CIA Airlines” menuju Kairo, Mesir. ”Penerbangan ke Mesir itu hanya formalitas,” kata seorang bekas pejabat CIA kepada The Washington Post. Di Kairo ia diinterogasi, lalu dibawa ke Afganistan empat bulan kemudian. Setelah 13 bulan di penjara Bagram, ia diangkut ke penjara Guantanamo, Kuba.
Penerbangan ”CIA Airlines” kedua singgah di Jakarta untuk menjemput Umar al-Faruq. Penangkapan lelaki Kuwait yang konon pentolan Al-Qaidah ini juga kontroversial. Ia ditangkap pada 5 Juni 2002 di Masjid Raya Bogor. Bersamanya diringkus pula Abdul Haris, pengurus Majelis Mujahidin Indonesia yang ditengarai telik sandi BIN. Meski alasan penangkapan Al-Faruq adalah pelanggaran imigrasi, Direktur Jenderal Imigrasi Iman Santoso ketika itu mengaku tidak tahu-menahu.
Menurut Muchyar Yara, Asisten Kepala BIN Bidang Hubungan Masyarakat saat itu, Faruq ditangkap tim yang dipimpin Mayor Andika Perkasa, perwira Kopassus yang diperbantukan ke BIN. Kebetulan ia menantu Kepala BIN, A.M. Hendropriyono (Tempo, 25 November 2002). Dari Bogor, Faruq dibawa ke Halim Perdana Kusuma. ”Ia diangkut ke Bagram dengan pesawat GV N379P milik CIA yang diregistrasi atas nama Premier Executive Transport Services Inc,” kata seorang intel dari Pejaten Timur kepada Tempo.
Pendeportasian Faruq sungguh mengherankan. Sebab, belakangan ia didakwa terlibat dua rencana pembunuhan terhadap Presiden Indonesia, waktu itu Megawati Soekarnoputri. Menurut majalah Time, Faruq mengaku terlibat peledakan bom di sejumlah kota pada malam Natal 2000 dan akan meledakkan sarana milik Amerika di Singapura dan Indonesia. ”Seharusnya ia diadili di Indonesia,” kata pengamat Indonesia, Profesor Daniel S. Lev.
Gara-gara dua kasus itu, The Washington Post membeberkan intervensi CIA dalam aktivitas kontraintelijen di Indonesia. Menurut koran tersebut, saat itu Kepala BIN Hendropriyono kerap menjalin kontak dan bekerja sama dengan Direktur CIA George Tenet. Hendro membantah keras. ”Saya bukan antek Amerika!” ujarnya. Ia kini sedang ambil ancang-ancang untuk memperkarakan koran bergengsi itu.
Hanibal W.Y. Wijayanta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo