Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANGKAP diam-diam, angkut dengan pesawat rahasia, lalu jebloskan ke penjara rahasia. Ini mode ”baru” CIA melawan teroris yang baru-baru ini terungkap. Dan tak satu pihak pun, kecuali mereka yang terlibat, yang tak mengecam ulah badan intelijen AS itu sebagai melanggar hukum—hukum AS sendiri dan hukum internasional. Salah satu contoh operasi gelap CIA ini dibeberkan di media Amerika. Itulah penangkapan Hasan Mustafa yang dituduh, terutama, mendalangi aksi penabrakan dua pesawat ke Menara Kembar di New York, yang dikenal sebagai peristiwa nine-eleven, yang menewaskan sekitar 3.000 orang.
Inilah salah satu operasi gelap itu. Sebuah pesawat mendarat di Roma, Italia, Agustus 2003. Datang jauh dari Washington, burung besi milik badan intelijen Amerika Serikat itu melanjutkan penerbangan ke Allepo, sebuah kota kecil di selatan Italia. Pesawat ini membawa sejumlah anggota CIA. Terbang berjam-jam, tujuan mereka cuma satu: menangkap Hasan Mustafa hidup-hidup. Operasi sukses seratus persen. Hasan Mustafa dibekuk tanpa perlawanan.
Dari Allepo, rombongan ini, juga sang buron, melayang ke langit Jerman, lalu mendarat di Frankfurt. Selama sepekan Mustafa disimpan, kemudian diterbangkan ke Mesir, dikerangkeng di penjara Sednaya. Hari-hari ini ia masih di situ, entah sampai kapan. Ia ditahan sonder proses pengadilan. Seluruh proses penangkapan Mustafa digelar secara rahasia, termasuk penerbangan ke tiga negara tadi.
Operasi gelap ini sebenarnya telah dilakukan militer Amerika Serikat di zaman Presiden Ronald Reagan. Sasarannya, gembong narkotik. Mungkin karena itu operasi ini tak banyak diprotes. Prosedur inilah yang kemudian dikembangkan oleh CIA setelah peristiwa neraka jahanam 11 September 2001 itu. Para tersangka teroris yang ditangkap langsung dijebloskan saja ke bui tanpa proses pengadilan. Guna menyukseskan operasi ini, sejumlah pesawat militer Amerika Serikat hilir-mudik di negara orang tanpa memberi tahu pemerintah setempat. Amerika juga mendirikan sejumlah penjara rahasia di beberapa negara.
Sepandai-pandai CIA menjalankan operasi gelap, sekali waktu tergelincir juga. Awal November lalu, Washington Post, koran ternama di Amerika Serikat, melaporkan bahwa CIA menahan sejumlah tersangka teroris di beberapa negara, seperti Rumania, Polandia, Kosovo, dan beberapa negara lainnya. Para teroris itu ditangkap melalui operasi khusus dan diterbangkan dengan pesawat rahasia ke negara-negara itu.
Berita itu kemudian diikuti oleh sejumlah media internasional, terutama media di kawasan Eropa dan Amerika Serikat. Ada pula yang menyebut operasi ini sebagai mega-skandal. Washington kukuh membantah semua tudingan itu.
Pekan lalu, Der Spiegel, majalah terkemuka di Jerman, menyodorkan sejumlah bukti kuat soal operasi rahasia ini. Sedikitnya, menurut laporan Der Spiegel, telah terjadi 437 pendaratan yang dilakukan pesawat-pesawat rahasia CIA di sejumlah bandara di Eropa. Di Jerman sendiri, pesawat-pesawat itu mendarat di Frankfurt dan pangkalan udara Amerika di Ramstein.
Spontan tudingan itu menggegerkan Eropa. Sejumlah fakta lain kemudian menguak dari berbagai tempat. Kanal Dua, televisi Islandia, mengumumkan pesawat rahasia milik CIA itu telah 67 kali mendarat di negara ini tanpa pemberitahuan kepada pemerintah setempat. Laporan tentang adanya penerbangan gelap serupa juga datang dari Italia, Mesir, Kanada, Ukraina, dan sejumlah negara lainnya.
Majalah Der Spiegel melaporkan bahwa pejabat-pejabat intelijen Jerman, Swiss, Austria, dan Italia sesungguhnya mengetahui penerbangan-penerbangan rahasia itu, namun mereka menyimpan informasi ini rapat-rapat.
Pesawat-pesawat gelap yang lalu-lalang tanpa izin itu mengangkut sejumlah tersangka teroris ke penjara rahasia yang dioperasikan oleh Amerika di sejumlah negara. Menurut media-media Amerika Serikat, penjara itu ada di Thailand, Afganistan, Rumania, Polandia, Islandia, Mesir, dan beberapa negara lainnya.
Di Kosovo, militer Amerika memiliki sebuah penjara yang mirip dengan Guantanamo di Kuba. Para tahanan di situ mengenakan pakaian warna oranye seperti yang dikenakan para tahanan di Kuba. Di berbagai penjara itu, militer Amerika menyimpan setidaknya 3.000 orang yang dituduh terlibat dalam aksi teror.
Pesawat gelap CIA itu juga pernah mendarat secara rahasia di Jakarta, Indonesia. Pertama pada 10 Januari 2002. Pesawat itu datang menjemput Muhammad Saad Iqbal Madni, yang ditangkap aparat Indonesia. Madni sendiri diketahui berasal dari Pakistan. Pendaratan kedua dilakukan pada Juni 2002. Pesawat kedua ini datang menjemput Umar al-Faruq, yang ditangkap aparat Indonesia di Masjid Raya Bogor, 5 Juni 2002 (lihat Dua Kali Mampir di Jakarta).
Kontan kecaman keras muncul dari segala penjuru, termasuk dari dalam Amerika Serikat sendiri. American Civil Liberties Union (ACLU), sebuah kelompok yang getol memperjuangkan hak asasi manusia (HAM), memprotes keras operasi ini. Penerbangan itu, kata ACLU, bakal mengirim CIA ke muka pengadilan karena secara sengaja melanggar hukum Amerika Serikat dan hukum internasional.
Lembaga ini sedang menyiapkan tuntutan hukum terhadap sejumlah petinggi CIA. Alasannya, operasi rahasia ini jelas merupakan kebijakan resmi lembaga itu. Ancaman gugatan juga dikirim sejumlah lembaga dari dalam negeri Amerika Serikat sendiri.
Lalu, sejumlah lembaga HAM di Eropa juga mengecam keras operasi rahasia ini. Uni Eropa telah mengirim surat protes keras kepada pemerintah Amerika Serikat. Dewan Eropa, sebuah lembaga pengawas Eropa khusus masalah HAM bahkan telah membentuk komisi independen guna menyelidiki operasi ini. Parlemen sejumlah negara di Eropa telah mengirim surat meminta penjelasan Washington atas hal ini.
Hingga akhir pekan lalu belum ada jawaban resmi Amerika Serikat atas rentetan protes itu. Sejumlah pengamat masalah internasional di Eropa meramalkan Washington bakal menutup kuping. Para pengamat itu menunjuk perlakuan tak manusiawi di penjara Guantanamo, yang habis-habisan dimaki dunia, tapi Amerika cuek abis.
Pekan lalu, di tengah protes keras Eropa atas penerbangan-penerbangan rahasia itu, Condoleezza Rice, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, berkunjung ke Jerman, Belgia, Rumania, dan Ukraina. Kepada media massa, Rice tak membantah, tapi juga tak membenarkan, soal operasi rahasia ini. Ia hanya menegaskan bahwa negerinya akan terus mempertahankan kebijakan yang keras dalam memerangi terorisme.
Mestinya, bukan dengan cara-cara teror juga.
Wenseslaus Manggut (Washington Post, AFP, service.spiegel.de)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo