Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Departemen Komunikasi dan Informatika tengah berkejaran dengan waktu. Tenggat 28 Desember untuk menyusun Dewan Pengawas dan direksi TVRI sudah di depan mata. Namun, hingga pekan kedua Desember ini, alih-alih direksi, dewan pengawas yang bertugas memilih direksi pun masih belum terbentuk.
Padahal, peraturan pemerintah tentang lembaga penyiaran publik TVRI, yang memerintahkan pembentukan Dewan Pengawas dan direksi TVRI, sudah dibuat 18 Maret. Artinya, sembilan bulan telah berlalu, masih saja belum didapat. Bandingkan dengan Dewan Pengawas RRI, yang terbentuk hanya dalam waktu dua setengah bulan.
Pejabat Departemen Komunikasi tentu saja menolak dianggap bekerja lamban. Direktur Jenderal Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi, Widiadnyana Merati, mengungkapkan bahwa nama 15 orang calon anggota Dewan Pengawas yang disaring dari 73 pelamar telah dikirim ke Sekretariat Negara sejak dua bulan lalu.
Selanjutnya, setelah ditandatangani presiden, nama-nama itu akan diajukan ke Komisi Informasi DPR untuk diuji. Namun, hingga sekarang, rupanya persetujuan dari presiden belum juga turun. ”Penyebabnya tanyakan saja ke Sekneg, jangan tanya ke saya,” kata Widiadnyana.
Sekilas, persoalannya hanya masalah administrasi negara semata. Tapi Ketua Sub-Komisi Informasi dan Komunikasi DPR, Deddy Djamaluddin Malik, mengaku mendapat informasi lain. Sekretariat Negara, kata dia, sebenarnya sempat mengembalikan nama-nama usulan departemen itu.
Sebab, Departemen Komunikasi ditengarai telah memasukkan beberapa nama yang sebelumnya tidak ada dalam daftar calon yang lulus tes administrasi dan psikologi. Sekretariat Negara lantas mengembalikan usul itu untuk diperbaiki. ”Ada dua nama baru yang berasal dari pejabat tinggi Departemen Komunikasi dan Kepala Stasiun TVRI,” ujar seorang sumber.
Cerita tidak berhenti sampai di situ. Gagal di Sekretariat Negara, Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil lalu meminta DPR memberikan jatah satu orang wakil pemerintah di Dewan Pengawas. Wakil ini diminta dibebaskan dari pengujian. Menteri beralasan, kata Deddy, harus ada orang yang bisa dipegang pemerintah.
Permintaan itu ditolak DPR. Menurut Deddy, pertimbangan komposisi antara TVRI, masyarakat, dan pemerintah memang harus ada di dalam Dewan Pengawas. Tapi orang yang dipilih tetaplah harus memiliki ranking terbaik dalam pengujian, bukannya penunjukan. ”Kalau pemerintah mau, bukalah pendaftaran baru, menteri lalu ajukan calon, tapi tetap harus lewat fit and proper test,” tuturnya.
Kepada Tempo, Sofyan tidak membenarkan ataupun membantah adanya penambahan calon baru. Tapi ia mengungkapkan, calon anggota Dewan Pengawas yang diajukan pemerintah tetap berjumlah 15 orang. Komposisinya, empat orang untuk dipilih, dan satu orang ditunjuk sebagai wakil pemerintah.
Landasan hukumnya, menurut Menteri Sofyan, adalah peraturan pemerintah yang menyatakan Dewan Pengawas terdiri dari unsur pemerintah, TVRI, dan masyarakat. ”Wakil pemerintah berperan sebagai penjaga aset negara yang dikelola TVRI,” kata dia.
Tapi, rupanya, peraturan pemerintah tentang TVRI tidak menyebutkan bahwa wakil pemerintah boleh tidak diuji. Peraturan itu hanya menyebutkan anggota Dewan Pengawas berjumlah lima orang yang terdiri atas unsur TVRI, masyarakat, dan pemerintah. ”Permintaan itu tidak dapat diterima, semua calon harus diuji,” kata anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Sasa Djuarsa.
Selain berbagai kejanggalan itu, DPR juga mengeluhkan kualitas dan integritas pelamar. Anggota Komisi Informasi menilai para pelamar yang masuk, terutama dari unsur masyarakat, tidak memenuhi syarat. ”Tidak ada nama-nama beken yang mendaftar,” Deddy memberi alasan.
Pada awalnya, DPR sempat meminta pendaftaran dibuka kembali. Namun, pihak pemerintah menolak keinginan DPR. Alasannya, 15 nama yang dipilih sudah melewati tes administrasi dan psikologi. ”Sehingga nama-nama yang sudah dinyatakan lolos seleksi pendahuluan tetap dikirim ke presiden,” kata Dirjen Widiadnyana.
DPR akhirnya mengambil sikap tidak akan memenuhi kuota lima orang anggota Dewan Pengawas dalam pengujian nantinya. Paling banyak, kata Deddy, hanya tiga orang yang dipilih. Sedangkan dua posisi lainnya akan disisakan untuk pendaftaran tahap kedua.
Selanjutnya, untuk menambah kewibawaan Dewan Pengawas, DPR berupaya menarik tokoh-tokoh yang selama ini telah dikenal masyarakat. Sejumlah nama yang diincar antara lain sutradara Garin Nugroho dan pakar komunikasi UI, Effendi Ghazali.
Deddy membenarkan, tidak mudah menarik orang-orang tersebut menjadi anggota Dewan Pengawas. Apalagi gaji anggota Dewan Pengawas sebagai lembaga yang dibiayai negara diperkirakan relatif kecil. Sebagai gambaran, Ketua KPI ”hanya” digaji Rp 14,375 juta per bulan dan anggota KPI Rp 12,5 juta per bulan. ”Memang dibutuhkan orang-orang idealistis,” ujarnya.
Tantangan lainnya adalah, tugas besar telah menanti di depan mata anggota Dewan Pengawas. Tak hanya memilih, mengangkat, dan memberhentikan direksi, Dewan Pengawas juga bertugas menetapkan rencana induk, rencana kerja, anggaran tahunan, dan mengawasi pelaksanaannya.
Tak hanya itu, stasiun televisi pelat merah ini—yang mengudara pertama kali dalam siaran langsung pembukaan Asian Games IV di Stadion Utama Gelora Bung Karno 1962—terus menderita kerugian plus utang Rp 385 miliar. Selain itu, jumlah karyawannya sebanyak 6.000 orang juga dianggap terlampau banyak. Sedangkan anggaran TVRI yang diperoleh dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) juga minim. Tahun ini TVRI hanya kebagian Rp 250 miliar dari APBN, lebih rendah dari tahun lalu yang Rp 262 miliar.
Jumlah ini jelas jauh dari memadai. Manajemen TVRI pernah menghitung, minimal dibutuhkan uang Rp 460 miliar per tahun agar TVRI dapat membuat tayangan yang cocok dengan fungsinya sebagai lembaga penyiaran publik. Sebuah tantangan yang tidak ringan.
Garin agaknya tak berminat dengan tawaran berkantor di TVRI, namun bukan alasan gaji yang rendah dan keruwetan TVRI yang menjadi faktor penyebab keengganannya dicalonkan menjadi anggota Dewan Pengawas. Menurut sutradara film Daun di Atas Bantal dan Puisi Tak Terkuburkan ini, kesibukan berkarya membuat dia tidak mengirimkan lamaran. ”Kalaupun sekarang diminta menjabat, rasanya sulit,” ujar dia.
Sedangkan Effendi berterus-terang, sejak awal memang tidak berminat menjadi anggota Dewan Pengawas RRI ataupun TVRI. Alasannya, senada dengan Garin, adalah kesibukannya sebagai staf pengajar yang kelewat padat. Dewan Pengawas, dalam pandangannya, membutuhkan orang-orang yang bekerja dengan waktu penuh.
Efri Ritonga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo