Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu malam di penghujung 1928. Dari kamp konsentrasi Tanah Merah yang sunyi dan terpencil, suara gamelan mengalun. Mulanya gesekan rebab, kemudian bunyi gambang, bonang, dan gendang. Terakhir, gong dengan vibrasi panjang.
Hampir setiap mejelang malam, gamelan itu memecah kesunyian Tanah Merah, Digul, Papua Barat itu. Gamelan Digul—begitu nama gamelan itu—adalah kreasi Pontjopangrawit selama ia menjadi tawanan politik di sana. Bentuknya seperti gamelan Jawa umumnya. Dan yang membuatnya istimewa adalah bahan dasarnya.
Ketika itu 1927-1928. Pontjopangrawit manusia kreatif. Ia menciptakan bejana-bejana bonang dari kaleng susu. Kendati, dalam perjalanannya, bonang kaleng susu itu diganti dengan rantang wadah makanan. Sementara kaleng-kaleng bekas sar_den dimanfaatkannya untuk rebab.
Ia mengumpulkan potongan logam, kawat, dan pintu-pintu tua yang tak terpakai, dan kulit binatang liar di hutan untuk membuat kendhang dan rebab. Ia juga membuat belanga tanah besar untuk gong gedhe kemodong—sepasang bilahan besi berpentol diikat di atas belanga tanah gema pada satu kotak kayu.
Gamelan Digul terdiri atas dua perangkat instrumen lengkap yang dilaras dalam sistem nada pentatonik: slendro dan pelog. Sistem nada itu mempunyai laras berpola titinada tinggi, biasa disebut tumbuk nem. Ini merupakan sistem nada yang timbul pada awal abad ke-20, dan umumnya dipakai di desa-desa di sekitar Surakarta, Jawa Tengah. Dan itu berbeda dari sistem nada tumbuk limo yang terutama dipakai pada gamelan-gamelan Keraton Surakarta.
Menurut etnomusikolog Sumarsam, secara fisik ada sedikit perbedaan antara gamelan Digul dan gamelan Jawa. Gong kemodhong Digul lebih kecil dari gong gamelan Jawa, dan tak digantung. Ia direbahkan di atas dua helai tali yang ditegangkan, dan di bawahnya diletakkan resonator dari gerabah. ”Meski begitu, suara yang dikeluarkan sangat baik dan bergelombang panjang,” kata Sumarsam seperti dikutip buku Gamelan Digul karya Margaret J. Kartomi.
Lalu bonang gamelan Digul yang terbuat dari rantang itu tak ber-pencon (tonjolan) seperti bonang gamelan Jawa. Suara yang dihasilkan cukup baik, tapi untuk nada-nada tinggi suara bonang Digul menjadi mati. ”Mungkin itu juga yang menyebabkan Pak Pontjo tak membuat bonang penerus,” ujar Sumarsam, yang sempat memimpin proyek perekaman gamelan itu di Universitas Monash, Australia, menerangkan.
Pontjopangrawit memang legenda, maestro yang terlupakan. Lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada 1893, Pontjopangrawit telah menjadi satu dari pangrawit atau musisi gamelan Keraton Surakarta Hadiningrat sejak usia 12 tahun.
Selama menjadi abdi dalem Sultan Paku Buwana X, Slamet Soekari—demikian nama asli Pontjopangrawit—berguru kepada sejumlah ahli karawitan terbaik di keraton. Slamet remaja belajar memainkan berbagai gending, juga menyerap banyak detail, arti, dan segi-segi karawitan dari bermacam upacara yang digelar di keraton.
Slamet memang berbakat. Sekitar 1912, Sultan menganugerahi Slamet jabatan menengah, raden, dan sebuah nama baru: Pontjopangrawit. Kata pangrawit merupakan jabatan keraton yang berarti abdi dalem karawitan keraton (niyaga) paling terkemuka. Setelah Paku Buwana X mangkat, semua pemilik pangkat raden diberi hak menamai diri sendiri sebagai raden lurah, posisi sederajat kepala desa.
Tapi dunianya berubah. Ia aktif dalam gerakan politik berhaluan kiri. Melalui organisasi Partai Komunis Indonesia, ia dan rekan-rekan menentang penjajahan. Ia ditangkap pemerintah Belanda dan dibuang ke Digul, tempat ia menciptakan gamelan itu. Ketika dipulangkan ke Jawa pada 1932, gamelannya tetap di Digul Atas. Dan gamelan itu, bersama sekitar 400 tahanan politik eks Digul, kemudian diboyong ke Australia oleh pemerintah Belanda pada 1943. Saat itu Belanda terdesak serangan pasukan Jepang ke Papua Barat, termasuk Digul.
Di Solo, ketika konservatori karawitan Indonesia dibuka, pada 1950, ia mengajar, menanamkan pengaruhnya yang mendalam dalam memainkan rebab dan gender.
Pontjopangrawit yang berorientasi kiri itu menjadi korban ketika peristiwa G30S meletus. Gamelan Digul diboyong ke Australia, dan sejak 1946 disumbangkan ke Museum Victoria. Gamelan itu tersimpan di sebuah tempat khusus di Jurusan Musik Universitas Monash, Australia, pada 1977. Dalam bukunya guru besar musik Universitas Monash, Margaret J. Kartomi, menulis: sejak 1977 gamelan Digul tak pernah dimainkan.
Menurut Kartomi, pada September 1999, sekitar 70 tahun sesudah pertama kali dibuat dan dilaras, gamelan Digul pernah dimainkan di Universitas Monash. Lalu pada Juli 2004, gamelan itu kembali dimainkan di tempat sama. Keduanya digelar untuk membuat rekaman dokumentasi gamelan unik itu. Hasil rekaman itu kemudian dikompilasi dalam satu album gamelan Digul yang diluncurkan di Jakarta pada pertengahan November lalu. Selain berisi gamelan Digul, album itu memuat juga permainan solo Pontjopangrawit menggesek rebab. Permainan yang amat memikat, mistis.
Wiranto Wijokusumo, murid Pontjopangrawit, kini 80 tahun, menyebut gurunya ”puncak empu gamelan abad ini”. Ia mengingat, ”Pak Pontjo sangat atraktif bila memainkan rebab, gender, siter, clempung, bonang, dan gambang.”
Selain sebagai musisi gamelan, Pontjopangrawit menguasai juga teknik membuat gamelan. Menurut Wiranto, Pontjopangrawit juga piawai dalam embat—menyelaraskan nada, sehingga yang membuat suara gamelan jadi indah. Ia belajar ilmu itu dari empu pembuat gamelan, Raden Ngabehi Yasa Pradangga, yang sekaligus sebagai kakak iparnya.
Etnomusikolog Rahayu Supanggah, Direktur Program Pascasarjana STSI Solo, sepakat. Hanya, keempuan Pontjo bukan dalam menciptakan komposisi gending. ”Ia maestro dalam praktek menabuh gamelan,” katanya. ”Dan untuk semua instrumen, dia sangat luar biasa.”
Atraktif, kata Supanggah, yang pernah beberapa kali menyaksikan permainan sang maestro. Ia biasa memainkan siter yang diletakkan di atas punggungnya, dengan kualitas suara dan nada tetap prima.
Yang jelas. Supanggah menambahkan, Pontjopangrawit orang yang athikan alias banyak akal dalam urusan gamelan. ”Tak mengherankan, biarpun dibuang ke Digul, Pontjo yang banyak akal itu bisa mencipatakan gamelan dari bahan-bahan seadanya.”
Nurdin Kalim, Imron Rosyid (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo