Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Data lokasi jutaan pengguna aplikasi Muslim Pro mengalir ke badan militer Amerika Serikat.
Muslim Pro mengklaim telah berusaha melindungi privasi para pengguna aplikasinya.
Perusahaan pengembang aplikasi bisa meraup untung banyak lewat monetisasi data pengguna.
SUDAH lebih dari tiga tahun Rini Yuniarti menggunakan aplikasi Muslim Pro melalui telepon selulernya. Aplikasi itu membantu dia mengetahui jadwal salat, bacaan Al-Quran, serta lokasi masjid terdekat. Namun Rini memutuskan menghapus aplikasi itu setelah menerima kabar dari kawannya tentang berita dugaan penjualan data pengguna Muslim Pro, antara lain, kepada pihak militer Amerika Serikat. “Saya khawatir data saya disalahgunakan,” kata guru mengaji itu pada, Jumat, 27 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selanjutnya, Rini akan mencari aplikasi penyedia layanan ibadah umat Islam buatan lokal saja. Karena, “Setidaknya kita tahu siapa pembuatnya,” ujarnya. Lagi pula aplikasi serupa banyak dibuat oleh orang Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aplikasi Muslim Pro sedang kewalahan menghadapi sejumlah penggunanya. Selain memberikan penilaian negatif, mereka menyebutkan telah menghapus aplikasi itu dari gawai. Para pengguna bereaksi setelah laporan investigasi media online khusus teknologi, Motherboard, terbit pada Senin, 16 November lalu. Pada edisi itu, media di bawah bendera Vice tersebut mengungkap praktik penjualan data jutaan pengguna Muslim Pro kepada perusahaan jasa keamanan hingga militer Amerika Serikat.
Majelis Asy-Syura, yang mewakili 90 masjid di New York, Amerika Serikat, meminta jemaahnya menghapus aplikasi tersebut demi “keamanan dan privasi”. Badan advokasi muslim terbesar di Amerika, Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR), juga mengirimkan surat ke parlemen Amerika, meminta pembelian data aplikasi itu oleh militer diselidiki. Lembaga itu mendesak parlemen membuat aturan yang melarang badan pemerintah membeli data pengguna tanpa adanya surat perintah pengadilan.
Muslim Pro adalah salah satu aplikasi paling populer di kalangan umat Islam. Aplikasi yang dirilis perdana pada Ramadan 2010 itu telah diunduh hampir 100 juta kali di lebih dari 200 negara. Dengan aplikasi ini, pengguna bisa mengetahui jadwal salat, arah kiblat, hingga restoran penyedia menu halal ataupun masjid terdekat. Aplikasi buatan Bitsmedia, perusahaan teknologi asal Singapura, itu juga memiliki fitur teks dan audio Al-Quran.
Selain dari Muslim Pro, Motherboard menyebutkan militer Amerika mendapatkan data para pengguna sejumlah aplikasi, seperti penyedia layanan kencan Muslim Mingle dan pelacak badai. Aliran data dari aplikasi itu dimanfaatkan untuk memperoleh informasi yang lebih spesifik mengenai lokasi penggunanya. Babel Street, pengembang aplikasi Locate X yang berbasis di Amerika, memiliki akses ke data pengguna seperti ini. Perusahaan asal Amerika lain yang juga bisa mendapatkan data lokasi langsung dari aplikasi mitra mereka adalah X-Mode. Perusahaan ini juga disebut menjual data lokasi ke kontraktor hingga militer Amerika.
Kepala Komunitas Muslim Pro, Zahariah Jupary, membantah jika disebut menjual data pengguna. Untuk mengantisipasi, Jupary mengatakan Muslim Pro telah memutus kerja sama dengan rekanan penyedia data lokasi pengguna aplikasi. “Kami selalu berusaha mengambil langkah yang diperlukan untuk menjamin para pengguna bisa menjalankan ibadah dengan damai,” ucap Jupary seperti dilaporkan Middle East Eye.
Muslim Pro Indonesia juga menyebutkan laporan media soal penjualan data pengguna ke militer Amerika Serikat tidak benar. Dalam pernyataan tertulisnya pada Selasa, 17 November lalu, Muslim Pro menyatakan berkomitmen melindungi dan mengamankan privasi para penggunanya. “Demi menghormati rasa percaya jutaan pengguna Muslim Pro setiap hari, kami memutuskan hubungan kerja sama dengan semua data mitra, termasuk X-Mode.”
Dalam keterangan tertulis lain pada Jumat, 20 November, Muslim Pro menyatakan tidak pernah menyediakan data non-anonim kepada pihak ketiga. Mereka juga mendapatkan konfirmasi bahwa X-Mode telah menghentikan kerja sama dengan Sierra Nevada Corporation, perusahaan yang disebut sebagai kontraktor militer Amerika Serikat, jauh sebelum bekerja sama dengan Muslim Pro. “Kami telah melakukan tindakan investigasi penuh kepada berbagai pihak yang terlibat.”
Konsultan keamanan siber Teguh Aprianto mengatakan banyak negara sudah mengatur dengan ketat soal perlindungan data konsumen. Meski demikian, banyak perusahaan mengakali aturan itu dengan menjual data anonim. Praktik ini, menurut dia, membuat pengembang aplikasi seolah-olah berbuat lancung. “Ada perusahaan yang bisa mengubah data anonim itu menjadi data yang bisa diklasifikasi,” kata Teguh.
Teguh menyebutkan Muslim Pro juga melakukan praktik demikian. Aliran data dari Muslim Pro, menurut dia, memang tidak langsung ke militer Amerika karena melalui X-Mode. Teguh menambahkan bahwa Muslim Pro bisa memperoleh pemasukan hingga miliaran rupiah per bulan tergantung banyaknya jumlah pengguna aplikasi per hari. “Mereka sejak awal melakukan monetisasi aplikasi buatannya,” tutur Teguh, yang juga pendiri Ethical Hacker Indonesia.
Laporan Motherboard menyebutkan Komando Operasi Khusus Militer Amerika Serikat (USSOCOM), yang memiliki tugas kontraterorisme hingga pengintaian, membeli akses ke Locate X. Nilai pembelian lisensi tambahan untuk mengakses perangkat lunak Locate X dan aplikasi lain untuk analisis teks, Babel X, itu sebesar US$ 90.600 atau sekitar Rp 1,3 miliar.
Data yang dikumpulkan Locate X disebut berada dalam kategori anonim. Meski demikian, data anonim itu bisa diubah sehingga penggunanya bisa diketahui. Para pekerja Babel Street disebutkan kerap menggunakan data lokasi itu untuk “bermain-main”. Mereka dapat mengetahui lokasi yang pernah didatangi pengguna aplikasi berdasarkan informasi yang terkumpul dari berbagai perangkat dan melacak keberadaannya.
Juru bicara USSOCOM, Tim Hawkins, mengakui membeli data dari Locate X. Menurut dia, akses ke perangkat lunak itu dimanfaatkan untuk mendukung misi pasukan khusus di berbagai negara. Meski demikian, Hawkins menyatakan organisasinya patuh pada prosedur dan kebijakan untuk melindungi data pribadi, kebebasan sipil, serta hak warga Amerika sesuai dengan konstitusi dan hukum.
Adapun X-Mode mengumpulkan data lokasi dengan memanfaatkan sejumlah kode di dalam aplikasi yang biasanya digunakan para pengiklan—untuk mengiklankan produk atau jasanya kepada orang yang “tepat”. Pengembang aplikasi mengirimkan data ini ke X-Mode, yang kemudian mendapatkan bayaran berdasarkan berapa banyak penggunanya. Menurut situs X-Mode, aplikasi dengan 50 ribu pengguna aktif harian di Amerika Serikat bisa memperoleh pemasukan US$ 1.500 per bulan.
Dalam laporan CNN pada April lalu, Chief Executive Officer X-Mode Joshua Anton mengatakan perusahaannya melacak sekitar 25 juta perangkat di Amerika Serikat setiap bulan. Mereka juga mengumpulkan data dari sekitar 40 juta perangkat di berbagai negara di Eropa, Amerika Selatan, hingga kawasan Asia-Pasifik. Namun sejumlah pengembang aplikasi, seperti dilaporkan Motherboard, mengaku tak tahu siapa saja yang menggunakan data lokasi pengguna aplikasi mereka.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA (VICE, REUTERS, AL JAZEERA, ABC, STRAIT TIMES, BUSINESS INSIDER)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo