Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kita Mungkin Akan Hidup Bersama Corona

Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Bidang Penelitian Translasional, Profesor David Handojo Muljono, mengatakan riset vaksin Merah Putih terus berjalan sesuai dengan rencana. Dengan teknologi protein rekombinan menggunakan strain virus corona yang dijumpai di Tanah Air, peneliti senior Eijkman dan pakar penyakit menular ini menilai vaksin yang dikembangkan lembaganya bakal lebih sesuai untuk orang Indonesia. Apalagi virus corona diperkirakan masih terus bermutasi. Tim peneliti Eijkman juga mengembangkan teknologi untuk mengukur kadar antibodi yang terbentuk setelah vaksinasi. Dengan begitu, efektivitas vaksin Covid-19 dapat terus dipantau dan diperbaiki. David juga memimpin tim riset nasional terapi plasma konvalesen untuk perawatan pasien Covid-19. Menurut dia, terapi plasma konvalesen bisa menjadi opsi jangka panjang selama vaksin dan obat Covid-19 belum tersedia.

28 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Profesor David Handojo Muljono menunjukkan Plaque reduction neutralization test (PRNT) saat ditemui di Laboratarium Lembaga Eijkman, Jakarta, Selasa, 17 November 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • David Handojo Muljono mengatakan pengembangan vaksin Merah Putih masih berjalan sesuai dengan rencana.

  • Tim peneliti Eijkman mengembangkan vaksin Covid-19 hanya menggunakan strain virus SARS-CoV-2 yang ditemukan di Indonesia.

  • Tim ilmuwan Eijkman juga mengembangkan teknologi untuk mengukur antibodi yang terbentuk setelah vaksinasi.

TIM peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman sudah menyiapkan pembuatan vaksin ketika Covid-19 merebak di Indonesia. Namun konsep pengembangan vaksin yang telah rampung digodok sejak akhir Maret lalu itu tidak bisa langsung dieksekusi. “Beli reagen dan medium untuk membiakkan virus, yang biasanya bisa seminggu, waktu itu satu bulan baru datang,” kata peneliti senior Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, David Handojo Muljono, dalam wawancara khusus dengan Tempo melalui konferensi video, Jumat, 13 November lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

David, 66 tahun, mengatakan kendala tersebut membuat tim riset Eijkman baru mulai menggunting materi genetik virus SARS-CoV-2—virus penyebab Covid-19—dan mengkloningnya pada Mei lalu. Karena vaksin produksi dalam negeri belum siap, ia menganggap wajar ketika pemerintah memutuskan berburu vaksin dari negara lain, termasuk bekerja sama dengan produsen vaksin Sinovac Biotech Ltd asal Cina. “Ada vaksin yang sudah hampir jadi, ya dibeli dulu, lalu diuji coba. Menurut saya, langkah itu ndak salah,” ujar klinisi dan pakar penyakit menular yang menjabat Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Bidang Penelitian Translasional tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersama empat perguruan tinggi kini sedang mengembangkan vaksin Covid-19 buatan dalam negeri bernama vaksin Merah Putih. Keempat perguruan tinggi tersebut adalah Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Airlangga. Setiap institusi mengembangkan vaksin dengan metode berbeda. Eijkman, misalnya, membuat bibit vaksin dengan teknologi protein rekombinan, tapi tidak meninggalkan platform virus utuh. Tim riset Eijkman juga mengembangkan teknologi untuk mengukur antibodi yang terbentuk setelah vaksinasi.

Kepada wartawan Tempo, Sapto Yunus, Mahardika Satria Hadi, Dody Hidayat, Abdul Manan, dan Nur Alfiyah, ahli hepatitis Eijkman ini menceritakan tantangan pengembangan vaksin Covid-19 hingga mutasi virus corona. David juga memimpin tim peneliti nasional terapi plasma konvalesen untuk pengobatan pasien Covid-19.

Anda dan tim peneliti Eijkman dilibatkan dalam pengembangan vaksin Merah Putih. Bagaimana perkembangannya?

Pengembangan vaksin Merah Putih masih sesuai dengan jadwal. Proses di hulu diawali dengan menentukan jenis vaksinnya. Ada jenis vaksin yang memakai virus utuh, menggunakan bagian dari bahan genetik virus, atau memakai virus vektor. Vaksin dari virus utuh prosesnya lebih gampang. Virusnya tinggal dimurnikan, dimatikan, diinaktivasi, lalu ditera kadarnya. Inilah vaksin Sinovac. Untuk vaksin Merah Putih, kami mengembangkan protein rekombinan tapi tidak meninggalkan platform virus utuh.

Apa perbedaan platform virus utuh dengan protein rekombinan?

Teknologi protein rekombinan itu bagian virus yang kira-kira bersifat antigenik, mampu menimbulkan antibodi, dipotong. Jadi tidak semua bagian virus dipakai. Vaksin jenis lain umumnya semua isi virus disuntikkan. Kalau vaksin Merah Putih hanya diambil fragmen genetik virus yang berguna untuk pembentukan antibodi dan reaksinya aman terhadap tubuh.

Mengapa vaksin Merah Putih dikembangkan dengan teknologi rekombinan?

Pertama, kita menggunakan sampel virus corona yang ada di Indonesia, bukan virus impor. Kedua, kita menggunakan teknologi lebih maju, yaitu hanya mengambil fragmen genetik virus yang berguna. Dari situ dibuat sebagai antigen, dipotong, lalu ditanam dan dititipkan pada vektor. Vektornya akan memproduksi protein yang mirip dengan protein pada spike (protein yang membentuk mahkota virus SARS-CoV-2). Ibarat kunci dan anak kunci, teknik rekombinan menembak spike sebagai tempat nyantolnya anak kunci. Jadi kuncinya tidak bisa masuk. Lalu timbul antibodi hanya terhadap kunci itu sehingga badan kita tidak dirangsang untuk membentuk antibodi yang berlebihan.

Apa pertimbangan menggunakan strain virus yang ditemukan di Indonesia?

Virus setiap kali menginfeksi manusia etnis tertentu kan beradaptasi. Dengan menggunakan strain virus Indonesia, harapannya vaksin yang dihasilkan lebih pas, lebih sesuai dengan sifat antigenesitasnya. Ibaratnya, kuncinya lebih pas, kita tidak pakai bentuk lain.

Apa kelebihan teknologi protein rekombinan untuk pembuatan vaksin ini?

Kalau terjadi mutasi pada virus, tinggal kita ganti. Dapurnya kan di sini. Mutasi itu hal wajar. Virus juga ingin hidup, lalu mengubah dirinya untuk menyesuaikan diri. Mutasi selalu ada. Dari studi molekuler, mutasi tidak terjadi pada daerah yang merupakan kunci untuk masuknya virus corona ke tubuh orang. Tapi, seandainya ada perubahan, teknologinya sudah kita kuasai. Kita tinggal membuat lagi rantai genetik yang sesuai dengan mutasi virusnya. Lalu dimulai dari awal lagi, uji klinis lagi. Teknologinya sama, sistemnya sudah ada.

Bagaimana mengetahui virus itu bermutasi?

Dari whole genome sequencing di bank data GISAID. Perjalanan virus corona dari Wuhan ke arah barat ataupun timur. Ke barat melalui daratan Asia sampai akhirnya mencapai Eropa. Itu melalui jutaan orang. Terjadi adaptasi sehingga pada waktu mencapai orang ke sejuta, virusnya sudah berbeda dengan virus sewaktu berangkat dari Wuhan. Sekarang ada banyak clade-nya, ada L, S, dan tiga macam G. Perubahan-perubahan itu sebaiknya diikuti dengan surveilans molekuler secara terus-menerus. Seperti halnya pada penyakit malaria ataupun tuberkulosis, begitu pula virus Covid-19. Para peneliti biomolekuler di dunia mengikuti tiap bulan bagaimana perkembangannya.

Apa yang bisa kita pelajari dari mutasi virus influenza?

Untuk flu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengantisipasi perubahan virus dan membuat ketentuan bahwa vaksin harus diperbarui setiap dua tahun. Seyogianya kita mengawasi mutasi virus corona dengan melakukan surveilans molekuler. Saya mengusulkan dibuat semacam konsorsium, mungkin oleh Menteri Riset dan Teknologi. Lembaga Eijkman, Universitas Airlangga, LIPI, serta Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan bisa melakukannya.

Apa yang patut diwaspadai dari mutasi SARS-CoV-2?

Menjadi perhatian kalau mutasinya terjadi di daerah spike virus. Tapi sejauh ini tidak karena spike lebih stabil. Ada mutasi 614 dan sebagainya, tapi belum masuk di daerah receptor-binding domain. Hanya, yang baru adalah tingkah laku virusnya berubah menjadi lebih cepat tumbuh dan efisien. Daya penularannya dilaporkan lebih cepat.

Tingkat keganasan virus bagaimana?

Sampai sekarang yang diamati oleh para ahli di Eropa dan negara-negara lain masih sama. Jadi (mutasi) tidak menambah virulensi virusnya.

Apa yang membuat virus SARS-CoV-2 berkembang pesat?

Karena penyebarannya cepat dan korbannya lebih banyak. Kalau soal mematikan, virus SARS lebih mematikan. Angka kematiannya 30 persen. Virus ebola juga. Menurut teori severity, makin ganas suatu penyakit, seperti ebola dan MERS, angka kematiannya makin tinggi tapi laju penyebarannya bisa direm karena penderitanya mati duluan. Kalau virus Covid-19 kan ada masa inkubasi, demam, penderitanya masih bisa berpindah dan menularkan ke orang lain.

Para ahli belum dapat memperkirakan sampai kapan pandemi Covid-19 berakhir. Dari pengalaman Anda menangani penyakit menular, berapa lama virus SARS-CoV-2 akan bertahan?

Banyak sekali orang berpendapat bahwa virus corona ini akan terus ada. Karena makin tidak ganas, dia makin lebih lama bertahan. Itu dogma epidemi. Makin dia seperti flu, makin awet. Ada kemungkinan kita akan hidup bersama virus ini. Mungkin mirip dengan hepatitis dan flu.

Dalam beberapa kasus, jenis virus yang semula mematikan akhirnya menghilang begitu saja sebelum ditemukan vaksinnya.

Kalau yang dimaksudkan virusnya akan hilang seperti flu burung, sepertinya tidak dalam waktu dekat karena angka pertambahan kasusnya (Covid-19) besar terus. Vaksin tetap dibutuhkan supaya kita tidak takut, ekonomi bisa jalan. Prosesnya dipercepat supaya orang yakin punya kekebalan.

Apakah tim riset berencana mempercepat pengembangan vaksin Merah Putih sebelum virus corona melemah?

Ini sudah jadi komitmen bahwa vaksin akan dibikin. Kami yang mengerjakan di hulu butuh waktu. Sedangkan sekarang ada vaksin yang langsung jadi. Ya sudah, dibeli dulu. Kalau nanti kita sudah mampu, ya ndak usah impor.

Benarkah uji klinis vaksin Merah Putih bisa dimulai pada awal 2021?

Iya, fase kesatu. Kami mulai dengan praklinis dan sudah melibatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta Majelis Ulama Indonesia. Jadi tidak menunggu setengah jadi baru lapor. Nanti membuang waktu lagi.

Tahapnya sudah sampai mana?

Dari segi praklinis atau hulu, kira-kira sudah 70-75 persen. Setelah jadi kandidat vaksin, nantinya kami serahkan ke PT Bio Farma.

Dengan mengerjakan sendiri dan memakai bahan baku virus di dalam negeri, apakah vaksin Merah Putih bakal lebih ekonomis saat diproduksi?

Namanya materi genetik, tinggal dikembangkan saja. Tentunya lebih murah dan bisa lebih banyak diproduksi. Tidak perlu impor dan sebagainya. Dari sudut teknologi, kita berkembang. Dari sisi kesesuaian, saya tidak bilang (vaksinnya) bagus atau enggak, tapi karakteristiknya lebih sesuai dengan orang Indonesia.

Vaksin yang dikembangkan di dalam negeri ini akan sama efektifnya dengan vaksin impor?

Uji klinis itu terstandar. Kaidah yang dipakai WHO dan FDA (BPOM Amerika Serikat) juga dipakai di sini.

Apakah masyarakat patut waswas terhadap kandidat vaksin yang disiapkan pemerintah sekarang?

Saya kira tidak perlu khawatir. Kita tunggu saja, mereka nanti melapor semua ke BPOM. Pasti diteliti. BPOM kita cukup jeli dan diakui ketat. Kalau itu sudah oke, saya kira tidak apa-apa.

Bagaimana Anda melihat pelaksanaan uji klinis fase ketiga vaksin Sinovac di Bandung?

Profesor Kusnandi Rusmil (Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Covid-19 dari Universitas Padjadjaran) lebih tahu. Menurut saya, tidak serta-merta ditandatangani izinnya, lalu vaksinasi bisa dimulai. Mesti dibicarakan juga sistem penyimpanan dan alat detektornya. Setelah disuntik vaksin, antibodinya juga mesti dites apakah keluar dan seberapa banyak. Lembaga Eijkman sedang mengembangkan teknologi untuk mendeteksi kadar antibodi yang sekarang belum ada yang bisa digunakan untuk keperluan umum.

Seperti apa cara kerjanya?

Eijkman mengembangkan teknologi PRNT (plaque reduction neutralization test). Kami selama ini memakainya untuk terapi plasma konvalesen. Tapi nanti juga akan kami pakai untuk memeriksa kadar antibodi seseorang yang terinfeksi Covid-19. Ini pertama kali di Asia Tenggara.

David Handojo Muljono saat memberi sambutan dalam acara Kick Off Meeting Uji Klinik Pemberian Plasma Konvalesen Sebagai Terapi Tambahan COVID-19 di Gedung Pelayanan Publik Balitbangkes, September 2020. Facebook.com/Puslitbang Sumber Daya & Pelayanan Kesehatan

Mengapa metode ini tidak digunakan sejak awal penanganan pandemi?

PRNT prosesnya lama, sulit, dan mahal. Karena itu, kami juga mengembangkan teknologi yang dapat dipakai di lapangan sehingga lebih mudah, aman, cepat, dan ekonomis. Dengan enzyme linked immunosorbent assay sebagai metode pengganti, kami bisa mengukur tingkat kekebalan individu ataupun masyarakat.

Uji klinis fase ketiga vaksin Sinovac masih berjalan. Apakah vaksin tersebut nantinya tidak bisa langsung digunakan seusai uji klinis?

Yang penting hasilnya segera dilaporkan ke BPOM untuk dievaluasi. BPOM akan memeriksa semua file, termasuk data dan para responden. Bukan hanya hasil uji klinis yang dievaluasi, tapi juga serious adverse event. Ada daftarnya, misalnya alergi. Penyuntikan vaksin kan random. Ada yang berisi vaksin, ada yang plasebo. Responden juga tidak tahu disuntik vaksin atau cairan kosong tanpa vaksin. Tapi semuanya tetap dipantau. Itu memang prosedur internasional.

Apa yang dipantau dari para responden uji klinis?

Ada kriterianya. Efek samping, efek segera, di samping menilai khasiat serta serious adverse event-nya. Seperti pembuatan obat baru. Biasanya yang dilihat responsnya, antibodinya berapa. Lalu apakah selama masa pemantauan tersebut terjadi reaksi.

Berdasarkan pengalaman Anda, berdasarkan data yang tersedia, seberapa meyakinkan vaksin Sinovac ini?

Yang melakukan uji klinis bukan hanya Indonesia, tapi juga Brasil dan Turki. Kecepatannya berbeda-beda. Saya tidak tahu timing-nya. Mungkin di sana lebih dulu. Perlu waktu sekitar tiga bulan untuk dievaluasi.

Untuk memberikan izin penggunaan vaksin, apakah BPOM harus menunggu persetujuan dari WHO?

Enggak, dong. BPOM yang pertama kali menilai. Ini kan lokal. Jadi izin edar di tiap negara berasal dari BPOM masing-masing. Untuk mendapat izin edar, harus melalui uji klinis.

Dari pengalaman Anda bertahun-tahun dalam riset pembuatan vaksin, pernahkah vaksin yang belum selesai risetnya disuntikkan ke masyarakat karena alasan kedaruratan?

Batas waktunya enggak dilanggar, kok. Mereka akan memenuhi itu. Setahu saya vaksin (Sinovac) ini sudah dikemas jadi. Bukan dikemas di sini. Lalu di sini tinggal melakukan randomisasi (uji klinis). Ada responden yang mendapat suntikan vaksin, ada yang tidak. Semua ada jadwalnya dan nanti dipertanggungjawabkan kepada publik, jurnal-jurnal ilmiah, dan regulator, yaitu BPOM dan lembaga lain.

Apakah WHO tidak dalam posisi menentukan vaksin yang dipakai suatu negara?

WHO memberi kemudahan dan bimbingan kepada suatu negara, tapi tidak sampai mencampuri urusan keputusan tentang vaksin, soal layak atau tidaknya. Itu kedaulatan kita.

Selain terlibat dalam riset vaksin, Anda memimpin tim penelitian terapi plasma konvalesen untuk terapi pasien Covid-19. Bagaimana prospeknya?

Dalam ketiadaan pengobatan yang baku, terapi plasma konvalesen merupakan opsi yang panjang. Kita memiliki populasi pasien yang banyak yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber donor (plasma). Tapi harus ada teknologi yang prekualifikatif untuk mengetahui kadar antibodi dengan cepat dan ekonomis.

Bagaimana tingkat keberhasilan terapi plasma konvalesen di Indonesia?

Risetnya belum selesai. Sebanyak 29 rumah sakit dilibatkan untuk uji coba. Proses uji klinisnya berbeda dengan vaksin. Untuk setiap 100 pasien diperlukan waktu sekitar tiga bulan pemantauan. Nanti, begitu uji klinis selesai, kami memberikan rekomendasi hasilnya. Kan, protokolnya juga belum diketahui.

Sebelum ada obat dan vaksin, seberapa efektif terapi plasma konvalesen menyembuhkan pasien Covid-19?

Kalau ada vaksin, tentu orang tidak perlu menunggu sakit. Untuk plasma konvalesen, mesti ada orang sakit dulu, lalu mendonorkan plasmanya. Kuncinya antibodi tadi. Kalau antibodi belum bisa diberikan secara aktif dengan vaksinasi, ya diberikan secara pasif. Tapi, kalau sudah ada vaksin, ya tidak perlu plasma konvalesen.


DAVID HANDOJO MULJONO | Tempat dan tanggal lahir: Magelang, Jawa Tengah, 30 Maret 1954 | Pendidikan: Dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya (1974-1981); Spesialis Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (1988-1993); Pendidikan Hepatologi di University of Sydney, Australia (1989); PhD Bidang Imunologi dan Virologi Molekuler, Jichi Medical University, Jepang (1996-2000); Profesor Akademi dari Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences serta Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (2011); Guru Besar Luar Biasa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar (2011); Honorary Professor dari Fakultas Kedokteran dan Kesehatan University of Sydney (2014) | Karier: Peneliti Senior dan Kepala Unit Hepatitis Lembaga Eijkman (sejak 1995), Kepala Laboratorium Hepatitis Lembaga Eijkman (sejak 1999), Kepala Laboratorium Penyakit Menular Lembaga Eijkman (sejak 2006), anggota Komite Penasihat Strategis dan Teknis Hepatitis untuk Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (2014-2016), Wakil Kepala Lembaga Eijkman Bidang Penelitian Translasional (sejak 2014) | Penghargaan: Medali Emas Ronpaku dari Kementerian Pendidikan Jepang (2000), Ksatria Bakti Husada Kartika dari Kementerian Kesehatan (2011), Satyalancana Karya Satya XXX dari Presiden RI (2012), Satria Medika Airlangga dari Universitas Airlangga (2013)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus