Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah negara menjatuhkan sanksi kepada pejabat militer Myanmar yang terlibat kudeta.
Tentara dan polisi Myanmar terus menekan demonstrasi dan memburu para pembangkang.
Indonesia sempat dilanda rumor mendukung junta militer.
KYAW Moe Tun tampak emosional dan terbata-bata saat menyelesaikan rangkaian kalimat terakhirnya. Duta Besar Myanmar untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa itu memohon kepada komunitas internasional untuk membantu mengakhiri kudeta militer di negerinya. Di hadapan 193 anggota Sidang Umum PBB di New York, Amerika Serikat, pada Jumat, 26 Februari lalu, dia meminta bantuan dunia untuk menghentikan aksi brutal tentara dan polisi terhadap rakyat Myanmar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di akhir pidatonya, Moe Tun lantas mengacungkan salam tiga jari, simbol gestur yang digunakan para demonstran Myanmar penentang kudeta militer. “Kembalikan kekuasaan pemerintahan kepada rakyat dan pulihkan demokrasi demi generasi muda kita,” kata Moe Tun, yang disambut dengan tepuk tangan dan pujian dari koleganya di ruang sidang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pidato itu membuka babak baru perlawanan di panggung politik dunia terhadap junta militer Myanmar. Pemerintahan Myanmar kini dikuasai oleh Dewan Administrasi Negara (SAC), yang dikendalikan Jenderal Min Aung Hlaing. Di PBB, Moe Tun menyebut dirinya sebagai perwakilan pemerintah sipil berdasarkan hasil pemilihan umum November 2020, yang dimenangi oleh Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partai pimpinan Aung Sang Suu Kyi.
Sejak kudeta bergulir, militer menahan Suu Kyi, presiden Win Mint, serta sejumlah petinggi partai dan pejabat negara. Tentara juga terus memberangus demonstrasi, termasuk dengan kekerasan dan tembakan. Selain itu, mereka menerapkan jam malam dan mematikan akses Internet. Militer pun membungkam media massa dan jurnalis. Setidaknya 4 korban tewas, lebih dari 100 orang terluka, dan sedikitnya 500 lainnya ditahan tentara selama aksi protes.
Perwakilan Khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, sudah mewanti-wanti agar tidak ada negara yang memberikan pengakuan, apalagi legitimasi, terhadap junta militer Myanmar. Dia juga meminta negara-negara “berpengaruh” mendesak militer agar mengizinkan pemantau independen melihat kondisi di negara itu. “Sayangnya, rezim itu memintaku untuk menunda kunjungan,” ujar Burgener, seperti dilaporkan Reuters.
Sejumlah negara berusaha menekan dan menjatuhkan sanksi terhadap junta. Presiden Amerika Serikat Joe Biden membuat perintah eksekutif berisi sanksi terhadap orang-orang yang dianggap terlibat dalam kudeta. Dia mendesak para jenderal untuk mengembalikan kekuasaan kepada para pemimpin sipil dan membebaskan mereka.
Washington juga menutup akses junta terhadap dana pemerintah Myanmar senilai US$ 1 miliar yang disimpan di Negeri Abang Sam. Amerika pun menerapkan larangan ekspor dan membekukan aset-aset yang dinilai bisa diambil junta. “Meski demikian, kami tetap memberikan dukungan untuk layanan kesehatan, kelompok sipil, dan bidang lain yang dapat membantu warga Myanmar,” kata Biden.
Massa yang tergabung dalam Jakarta Urban Poor Consortium melakukan aksi menolak kudeta yang dilakukan Militer Myanmar, di depan Kedutaan Besar Myanmar, Jakarta, 5 Februari 2021. TEMPO/Muhammad Hidayat
Kanada menjatuhkan sanksi terhadap sembilan pejabat militer Myanmar lewat Regulasi Ekonomi Spesial, yang menambah daftar 54 orang yang kena sanksi karena berhubungan dengan pelanggaran hak asasi manusia. “Kanada selalu bersama rakyat Myanmar untuk mendapatkan demokrasi dan hak asasi mereka,” ucap Menteri Luar Negeri Kanada Marc Garneau.
Kelompok negara G7, yaitu Amerika, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, dan Prancis, serta perwakilan Uni Eropa juga mengecam kudeta militer dan kekerasan yang dilakukan aparat terhadap demonstran. Dalam pernyataan yang dirilis pada Rabu, 24 Februari lalu, mereka mendesak tentara dan polisi Myanmar menghormati hak asasi manusia dan hukum internasional. “Menggunakan peluru tajam melawan orang tak bersenjata adalah hal yang tidak bisa diterima. Siapa pun yang menggunakan kekerasan dalam menghadapi aksi damai harus bertanggung jawab,” kata mereka.
Inggris juga memasukkan enam tokoh militer Myanmar ke daftar penerima sanksi. Dalam siaran pers dari Kedutaan Besar Inggris untuk Indonesia pada Jumat, 26 Februari lalu, petinggi militer yang diberi sanksi itu adalah Jenderal Min Aung Hlaing, Sekretaris SAC Letnan Jenderal Aung Lin Dwe, Sekretaris Bersama SAC Letnan Jenderal Ye Win Oo, Jenderal Tin Aung San, Jenderal Maung Maung Kyaw, dan Letnan Jenderal Moe Myint Tun. Ini menambah daftar 19 tokoh militer yang lebih dulu masuk daftar itu.
Sanksi yang diberikan adalah larangan bepergian ke Inggris Raya dan melarang institusi menangani dana atau sumber daya ekonomi mereka di Inggris. “Pesan saya kepada rakyat Myanmar sederhana: Inggris bekerja sama dengan mitra internasional kami untuk mendukung hak Anda atas demokrasi dan kebebasan berekspresi,” ujar Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab.
Para demonstran menuding Cina, yang banyak berbisnis dengan Myanmar, mendukung kudeta. Sejumlah analis, seperti dilaporkan Foreign Policy, menduga Negeri Panda berperan dalam membantu militer melakukan penyensoran dan diam-diam menyuplai senjata. Duta Besar Cina untuk Myanmar, Chen Hai, membantah hal tersebut. Menurut Chen, seperti dilaporkan Channel News Asia, Cina justru tidak ingin melihat kondisi politik seperti sekarang. Dia mengatakan bahwa Cina berusaha menjaga hubungan baik dengan militer dan pemerintah sipil Myanmar. Cina belum mengeluarkan pernyataan lebih serius selain menekankan pentingnya menjaga stabilitas di Myanmar. Meski demikian, delegasi Cina di PBB menyetujui pernyataan Dewan Keamanan, yang meminta para pemimpin politik dan aktivis Myanmar yang ditahan segera dibebaskan.
Para tetangga Myanmar yang tergabung dalam Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) justru belum satu suara soal kudeta. Mereka juga terikat prinsip ASEAN untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri negara anggotanya. Filipina, Kamboja, dan Thailand, yang sebelumnya pernah mengalami kudeta, menilai apa yang terjadi di Myanmar adalah masalah dalam negeri negara itu. Adapun Indonesia, Singapura, dan Malaysia sudah menyampaikan rasa prihatin dan meminta pihak yang berkonflik di sana berdialog mencari solusi damai.
Mantan Ketua Tim Pencari Fakta Krisis Rohingya, Marzuki Darusman, mengatakan Indonesia harus mengambil sikap yang tegas dalam merespons situasi di Myanmar. Indonesia dinilai bisa menjadi tumpuan ASEAN untuk menyelesaikan masalah ini karena negara-negara ASEAN justru seperti bersembunyi di balik punggung satu sama lain. Menurut dia, Indonesia memiliki posisi yang baik di lembaga-lembaga politik PBB, seperti Dewan Keamanan dan Dewan Hak Asasi Manusia. Apalagi, sebagai anggota Dewan Keamanan, Indonesia ikut bertanggung jawab terhadap konflik yang terjadi di dunia, termasuk di Myanmar. “Indonesia bisa memikul beban lebih besar kalau situasi di Myanmar berlarut-larut,” kata Marzuki.
Nama Indonesia sempat tercoreng ketika muncul kabar bahwa Jakarta mendukung rencana junta militer untuk menggelar pemilihan umum baru. Sikap ini dinilai sebagai dukungan kepada junta militer. Para penentang kudeta sempat menggelar protes di depan Kedutaan Besar Indonesia untuk Myanmar di Yangon pada Selasa, 23 Februari lalu.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, membantah kabar itu. Menurut Teuku, posisi Indonesia tak berubah. “Kami khawatir terhadap situasi di Myanmar dan mengingatkan kembali agar prinsip ASEAN digunakan dalam penyelesaian situasi di sana,” tutur Teuku pada Selasa, 23 Februari lalu. Indonesia, menurut dia, justru tengah berkonsultasi dengan menteri luar negeri negara anggota ASEAN untuk menangani situasi di Myanmar.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sudah membahas isu Myanmar ini saat berkunjung ke Brunei Darussalam dan Singapura, dua pekan lalu. Sebelumnya, dia membahas krisis Myanmar selama kunjungan Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin ke Indonesia pada awal Februari lalu. Dalam keterangan tertulis pada 24 Februari lalu, Retno mengaku telah berkomunikasi dengan menteri luar negeri sejumlah negara di ASEAN, Australia, Jepang, Amerika, Cina, Inggris, dan India serta Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB. Dia pun telah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Myanmar Wunna Maung Lwin dan delegasinya di Bangkok, Thailand. Dalam pertemuan itu juga hadir Perdana Menteri Thailand Don Pramudwinai.
Retno mengatakan Indonesia tidak akan berdiam diri demi menjaga perdamaian, stabilitas, dan kesejahteraan di kawasan Asia Tenggara. Soal Myanmar, kata Retno, posisi Indonesia adalah memprioritaskan keselamatan rakyat di sana. Karena itulah Indonesia akan terus menekankan pentingnya proses transisi demokrasi yang inklusif lewat dialog dan menghormati prinsip dalam Piagam ASEAN. “Indonesia akan bersama dengan rakyat Myanmar,” ujarnya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA (ASSOCIATED PRESS, MYANMAR FRONTIER, MYANMAR NOW, BBC)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo