Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Vaksin Canggih untuk Infeksi

Vaksin Nusantara yang berbasis sel dendritik dianggap terlalu canggih untuk melawan infeksi virus Covid-19. Di negeri asalnya, vaksin sel dendritik digunakan untuk terapi kanker secara personal.

27 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivitas dalam laboratorium patologi di RSUP Kariadi Semarang./Angling/detik.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Vaksin Nusantara yang berbasis sel dendritik dianggap terlalu rumit dan mahal untuk mencegah infeksi virus Covid-19.

  • Vaksin Covid-19 yang sudah digunakan luas saat ini terbukti cukup baik menginduksi respons imum.

  • Vaksin sel dendritik mereplikasi sesuatu yang biasa terjadi dalam tubuh tetapi dilakukan di luar tubuh alias di dalam laboratorium.

YETTY Movieta Nency mendadak sontak tak mau berbicara. Anggota tim peneliti vaksin Nusantara yang sebelumnya mudah dimintai penjelasan mengenai vaksin untuk Covid-19 yang telah menyelesaikan uji klinis fase I itu menolak diwawancarai. Ia mengatakan klarifikasi dari tim peneliti sudah cukup banyak. “Imbauan dari peneliti pusat untuk sementara belum perlu mengakomodasi interview tambahan dulu. Saat ini peneliti sangat sibuk mempersiapkan laporan fase I dan biar fokus persiapan fase II,” tulis Yetty dalam pesan WhatsApp kepada Tempo, Selasa, 23 Februari lalu.

Peneliti pusat yang dimaksud Yetty adalah koleganya di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan. Balitbangkes bekerja sama dengan PT Rama Emerald Multi Sukses dalam uji klinis vaksin Nusantara, yang penandatanganan perjanjiannya disaksikan oleh Menteri Kesehatan kala itu, Terawan Agus Putranto, pada 22 Oktober 2020. Balitbangkes lalu menggandeng Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi, Semarang, tempat Yetty bekerja, untuk melakukan uji klinis fase I.

Kepala Balitbangkes Slamet mengakui pihaknya membiayai penelitian uji klinis fase I saat ditanyai wartawan dalam webinar di Jakarta, Jumat, 19 Februari lalu. Namun dia tak menyebutkan berapa dana yang dikucurkan. “Jawabannya iya, kami membiayai (uji klinis) fase I,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia menegaskan bahwa dana itu merupakan bentuk dukungan terhadap upaya menekan penyebaran virus corona. Sebelumnya, Yetty mengatakan vaksin Nusantara telah rampung menjalani uji klinis fase I. “Alhamdulillah, efek samping minimal, berjalan singkat, dan tak perlu pengobatan,” ujar Yetty, Kamis, 18 Februari lalu.

Tidak banyak informasi mengenai hasil uji klinis fase I yang dipublikasikan tim peneliti. Yetty hanya mengatakan jumlah subyek atau relawan dalam uji klinis tahap pertama itu 27 orang. Dalam wawancara dengan stasiun televisi nasional, Yetty menyatakan uji klinisnya telah terdaftar di situs Clinicaltrials.gov. Namun tak ada publikasi ataupun hasil uji klinis yang dicantumkan di situs uji klinis global milik National Library of Medicine, Amerika Serikat, itu. Pemutakhiran data terakhir dilakukan pada 27 Januari lalu.

Muhammad Karyana, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Balitbangkes, tak menjawab pertanyaan yang dikirimkan ke nomor akun WhatsApp-nya. Panggilan telepon juga tidak direspons. Karyana hanya mengirimkan tautan dan makalah-makalah peneliti lain mengenai imunoterapi vaksin sel dendritik. Menurut situs Clinicaltrials.gov, dalam penelitian bertajuk “Dendritic Cell Vaccine to Prevent COVID-19” itu, Karyana menjadi principal investigator dan pihak yang dapat dikontak.

Vaksin Nusantara merupakan salah satu vaksin berbasis sel dendritik untuk Covid-19 yang dikembangkan di dunia. Pengembangan vaksin sel dendritik ini terutama ditujukan untuk imunoterapi sel kanker. Salah satu pengembangnya adalah Aivita Biomedical Inc yang bermarkas di Irvine, California, Amerika Serikat. Aivita Biomedical Inc memberikan lisensi kepada PT Rama Emerald Multi Sukses untuk mengembangkan AV-COVID-19, vaksin sel dendritik Covid-19 miliknya, di Indonesia.

Di situs Aivitabiomedical.com terungkap bahwa perusahaan yang berdiri sejak 2016 itu sedang melakukan penelitian uji klinis fase II untuk vaksin kanker ovarium (AVOVA-1), uji klinis fase II buat vaksin kanker otak glioblastoma
(AV-GBM-1), dan uji klinis fase 1B untuk vaksin kanker kulit melanoma (AV-MEL-1). Belum ada informasi mengenai vaksin Aivita Biomedical Inc yang telah dikomersialkan.

Ahli biologi molekuler John Curtin School of Medical Research pada Australian National University di Canberra, Ines Atmosukarto, mengaku penasaran dan belum menemukan penjelasan rasional serta ilmiah mengapa tim pengembang AV-COVID-19 alias vaksin Nusantara menggunakan pendekatan sel dendritik. “Sudah terbukti bahwa vaksin yang diinjeksi langsung ke lengan orang cukup baik menginduksi respons imun,” ucap Ines melalui surat elektronik kepada Tempo, Jumat, 26 Februari lalu.

Intinya, Ines menambahkan, vaksin sel dendritik itu mereplikasi sesuatu yang biasa terjadi di dalam tubuh, tapi hal tersebut dilakukan di luar tubuh. Menurut Chief Executive Officer/Chief Scientific Officer Lipotek Pty Ltd itu, ketika vaksin Covid-19 yang telah digunakan luas saat ini disuntikkan ke otot lengan atas penerima vaksin, yang pertama menuju titik penyuntikan adalah sel dendritik. “Jadi untuk apa dilakukan di laboratorium?” ujarnya. “Untuk kanker memang itu diperlukan karena sel dendritik pasien kanker kurang optimal kerjanya. Maka diberi ‘bantuan’ di dalam laboratorium.” 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjanjian kerjasama uji klinik vaksin sel dendritik, antara Badan Litbang Kemenkes dan PT Rama Emerald yang disaksikan Menteri Kesehatan Terawan, Oktober 2020./litbang.kemkes.go.id

Ines menjelaskan bahwa sel dendritik, yang pertama kali ditemukan oleh Ralph Steinman pada 1973 dan karena itu dia diganjar Hadiah Nobel Kedokteran 2013, adalah bagian dari sistem imun bawaan yang senantiasa melakukan patroli di dalam tubuh untuk mendeteksi penyusup, seperti bakteri atau virus. Begitu menemukan penyusup, sel dendritik akan melahapnya, mengolah benda asing itu menjadi bagian-bagian yang kemudian dipapar di permukaannya. “Sel dendritik juga sibuk memproduksi sitokin yang tugasnya memberi peringatan kepada bagian lain dari sistem imun,” tutur Ines.

Ines mengingatkan, tujuan vaksin berbasis sel dendritik adalah menginduksi respons imun sel T atau limfosit T, kelompok sel darah putih yang memainkan peran utama dalam kekebalan seluler. Sel T akan mengenali sel kanker atau sel terinfeksi virus dan membunuhnya. Tapi sel T tidak bisa mencegah terjadinya infeksi. Yang mencegah infeksi adalah antibodi yang diproduksi oleh sel B (limfosit B). “Karena vaksin sel dendritik ditujukan untuk menstimulasi sel T, tidak jelas apakah pendekatan ini optimal untuk memicu produksi antibodi,” ucap Ines.

Yetty Movieta Nency menyatakan, berdasarkan pengamatan selama empat pekan, terjadi peningkatan antibodi pada subyek uji klinis fase I. Menurut dia, vaksin Nusantara memiliki efek samping minimal karena berasal dari sel yang diambil dari tubuh subyek. “Benda asing dibandingkan dengan yang dari tubuh itu kan beda. Ini dari darah kita diolah, lalu dimasukkan lagi,” katanya. Dia juga mengatakan harga vaksin Nusantara cukup terjangkau karena anggaran penyimpanan dan distribusi yang minimal. “Jika telah diproduksi massal, harga satu dosis vaksin Nusantara kira-kira US$ 10.”

Ines ragu terhadap klaim pembuatan vaksin Nusantara yang terkesan mudah dan murah itu. Sebaliknya, dia menyebutkan pembuatan vaksin berbasis sel dendritik sangat canggih alias ruwet dan mahal. Menurut Ines, vaksin sel dendritik membutuhkan laboratorium khusus yang memiliki izin Badan Pengawas Obat dan Makanan. Vaksin ini bersifat personal alias dibuat untuk perorangan. Selain itu, Ines menambahkan, diperlukan bahan vaksin seperti protein spike virus SARS-CoV-2, sitokin IL-4, dan GM-CSF yang tidak murah harganya. “Harga satu vial sitokin itu ratusan dolar. Jangan lupa, sel dendritik itu harus disimpan pada suhu minus 70 derajat Celsius.”

Ihwal harga vaksin Nusantara yang murah, Ines mengatakan hal itu bisa terjadi kalau ada pihak tertentu yang memberikan subsidi secara signifikan. Ines membandingkannya dengan harga vaksin Provenge (Sipuleucel-T)—vaksin sel dendritik komersial pertama di dunia untuk kanker prostat yang dibuat Dendreon Pharmaceuticals LLC—yang dilaporkan sebesar US$ 93 ribu. “Menariknya, perusahaan pengembang Provenge itu bangkrut dan pada 2015 dibeli oleh perusahaan lain,” ujar Ines.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny K. Lukito mengatakan pihaknya masih mengevaluasi hasil uji klinis fase I vaksin Nusantara. Menurut dia, tahap pengujian vaksin ini masih sangat panjang. “Kan, masih harus melewati fase I, II dan III. Jadi terlalu dini untuk pihak mana pun mengklaim khasiat dan keamanan saat ini,” kata Penny saat dihubungi, Jumat, 19 Februari lalu.



DODY HIDAYAT, FRISKI RIANA, JAMAL A. NASHR (SEMARANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus