Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Duo Datuk Menagih Faktur

Dua pejabat Majlis Amanah Rakyat Malaysia meminta suap dari pembelian properti di Australia. Modusnya dengan faktur tagihan biaya konsultasi dan perusahaan bodong.

9 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tim Operasi Carambola dari Polisi Federal Australia menggerebek sebuah rumah di Vermont South, Melbourne, pada Kamis akhir Juni lalu. Dari dalam rumah itu, polisi menyita komputer dan sejumlah dokumen. Mereka menggotong beberapa kardus berisi dokumen dan memasukkannya ke mobil yang terparkir di depan rumah.

Operasi Carambola dibentuk sebagai tanggapan atas hasil investigasi Fairfax Media tentang dugaan korupsi pejabat Malaysia di Negeri Kanguru yang bernilai jutaan dolar Australia. Ini pertama kalinya polisi federal menggelar operasi besar-besaran terkait dengan korupsi di bidang properti.

Fairfax Media merilis hasil investigasinya selama delapan bulan tentang terjadinya penggelembungan harga apartemen mahasiswa Dudley House di pinggiran Caulfield East, Melbourne. Jaringan media besar Australia itu melacak aliran dana mencurigakan, catatan pengadilan, dan dokumen perusahaan untuk mengungkap mengapa harga Dudley House begitu tinggi.

Mereka menemukan skema pembelian properti di Australia oleh Majelis Amanah Rakyat (MARA) milik pemerintah Malaysia melalui perusahaan-perusahaan bodong bebas pajak di British Virgin Islands dan Singapura. Hal itu menguntungkan sekelompok pejabat pemerintah negeri jiran tersebut dan pengusaha Cina-Malaysia, tapi membuat berang 150 pengusaha properti Australia.

Pembelian blok apartemen lima lantai di dekat Monash University pada 2013 itu mengejutkan para pengusaha properti. Apartemen tersebut terjual dengan harga Aus$ 22,5 juta atau sekitar Rp 225 miliar. Bahkan di pasar properti yang sedang ramai di Melbourne pun harga gedung yang dirancang seperti lemari IKEA itu masih dianggap aneh. Pengusaha properti menyebut harga sebesar itu "terlalu tinggi".

Apartemen Dudley House menjadi pusat penyelidikan transaksi mencurigakan itu. Penjualannya diduga menjadi bagian dari skema pencucian uang dan penyuapan global. Fairfax Media menemukan bahwa sebagian pejabat yang terlibat juga tersangkut pembelian properti lain di Australia senilai Rp 800 miliar.

Dengan menelusuri aliran dana pembelian properti itu, termasuk yang mengalir melalui sebuah perusahaan pembuat kue perkawinan di Singapura, Fairfax Media tiba pada nama sejumlah pejabat asing yang menggunakan Australia sebagai tempat pencucian uang.

****

KASUS ini tak akan terbongkar kalau John Bond, pengusaha pintu dan jendela di Melbourne, tidak cuap-cuap. Mantan pemain sepak bola berusia 53 tahun ini mendapat order untuk turut membangun Dudley House. Dia pun bermimpi bahwa bisnisnya bakal makin moncer dengan orderan ini.

Setelah berbulan-bulan bekerja, Bond bersama stafnya dan lusinan kontraktor lain menagih pembayaran. Tapi perusahaan pengembang menunda pembayarannya. "Mereka menundanya seminggu. Lalu sebulan. Kemudian enam bulan. Saya membatin bahwa sesuatu yang sangat salah telah terjadi. Mereka tampaknya tak akan pernah membayar kami," ujarnya kepada Fairfax Media.

"Mereka" itu adalah dua pengembang Melbourne, Chris Dimitriou dan Peter Mills, bersama dua rekanannya, pengusaha Malaysia Yusof Gani dan Ahmad Azizi. Mills adalah warga Melbourne yang pernah dipenjara karena terlibat korupsi korporat.

"Kami tahu mereka orang berpengaruh di balik layar, tapi saya tak pernah bertemu dengan mereka," kata Bond. "Yang saya tahu, mereka berkuasa di Malaysia." Bond dan para kreditor lain akhirnya membawa kasus ini ke Pengadilan Tinggi Victoria dan mulai terbongkarlah korupsi lintas negara itu.

Pada mulanya harga Dudley House hanya Rp 178 miliar. Mills dan para mitranya ingin menjualnya dengan harga sebesar itu. Erwan, putra Azizi yang gemar mengendarai mobil Porsche, membantu mereka untuk berhubungan dengan para pejabat MARA.

MARA adalah sebuah badan otonom di bawah Kementerian Kemajuan Luar Bandar dan Wilayah Malaysia yang didirikan pada 1 Maret 1966. Tujuan mulia badan ini adalah membantu warga Malaysia, khususnya di pedesaan, dalam perdagangan dan industri melalui pendampingan dan pelatihan. Badan yang didukung pejabat di negara-negara bagian Malaysia ini beroperasi di London, Washington, Jakarta, Dublin, Frankfurt, dan Sydney.

Ketika Erwan memperkenalkan sejumlah pejabat MARA kepada Mills dan kawan-kawan, harga properti itu tiba-tiba naik menjadi Rp 225 miliar. Menurut dokumen properti dan surat elektronik yang bocor, pejabat Malaysia itu meminta jatah Rp 47 miliar, yang merupakan selisih harga jual dan harga aslinya, sebagai jaminan agar duit MARA mengucur untuk membeli apartemen itu.

Dalam konferensi pers di Kuala Lumpur akhir Juni lalu, Chairman MARA Tan Sri Annuar Musa mengatakan Erwan bukan pengurus MARA, melainkan pengusaha dan direktur Thrushcross Land Holdings, yang terdaftar di British Virgin Islands, yang digunakan untuk membeli Dudley House. "Saya tak kenal mereka," ujar Annuar, merujuk pada Erwan dan direktur Thrushcross lainnya.

Odie Henzel, anggota staf firma hukum Pitcher Partner yang ditugasi firmanya meneliti kasus ini, menemukan sepucuk surat elektronik aneh di antara dokumen yang terkait dengan Dudley House. Surat bertanggal 8 Maret 2013 itu dikirim seseorang yang diduga bekerja untuk pejabat pemerintah Malaysia.

Surat itu menyatakan, sebagai balasan dari pembelian Dudley House oleh MARA, pembayaran sebesar "Aus$ 4,75 juta sebagai biaya perkenalan dan konsultansi" harus dikirim ke Thrushcross.

Suap tersebut dibayar melalui faktur palsu yang dikeluarkan perusahaan bayangan itu. Faktur itu menagih bayaran untuk jasa yang sebenarnya tak ada, seperti "nasihat profesional" serta "konsultasi dan biaya penasihat". Pengembang kemudian mengirim uang suap itu, yang pura-puranya untuk membayar faktur tersebut.

Dalam sidang di Pengadilan Tinggi Victoria tahun lalu, hakim bertanya kepada Mills apakah uang dari pembengkakan harga Dudley House digunakan untuk menyuap orang asing. "Yeah, saya pikir begitu," jawab Mills.

"Jika kami tak setuju pembayaran Aus$ 4,75 juta itu, kami tak akan mendapat pembelian tersebut," kata Dennis Teen, manajer Gani dan Azizi di Australia, dalam sidang yang sama.

Tak hanya menyuap, Teen juga membantu Gani dan Azizi menghindari pengawasan Dewan Peninjau Investasi Asing (FIRB) Australia. Dalam sepucuk surat, Teen menyarankan dua orang itu menyatakan bahwa investasi mereka kurang dominan dalam pembangunan Dudley House dan mendukung Teen sebagai pemegang saham mayoritas.

"Jumlah saham maksimum bagi setiap orang asing tanpa persetujuan FIRB adalah 15 persen," tulis Teen. Dia meminta duo Malaysia itu mengklaim saham mereka hanya 14 persen. "Saya setuju," jawab salah satu dari duo itu.

Untuk mencuci uang haram itu, suap dikirim ke Thrushcross, yang ternyata hanya perusahaan papan nama (shelf company) alias bodong. Fairfax Media melacak perusahaan misterius itu hingga bermuara ke sebuah toko kue di pasar Singapura. Di sana ada Hanna Kamruddin, yang tercantum sebagai Direktur Thrushcross.

Hanna ditunjuk menjadi direktur oleh Hishan Kamruddin, saudara lelakinya, yang suka menunggang motor gede Harley-Davidson. Waktu itu Hishan memperkenalkan Hanna kepada tiga orang yang membutuhkan sebuah perusahaan di luar negeri untuk membuka rekening bank. Hanna mau membantu mereka dengan imbalan Rp 10 juta. Saat itu, kata Hanna, "Aku begitu naif."

Hanna mengaku tak tahu identitas orang Malaysia yang membayarnya. Tapi dia ingat satu hal: mereka punya kaitan dengan sebuah badan pemerintah Malaysia.

Catatan-catatan perusahaan di Australia mengungkap lebih banyak lagi hubungan mereka dengan perusahaan-perusahaan asing yang dipimpin perempuan pembuat kue pengantin itu. Satu dari perusahaan itu diambil alih pejabat Malaysia: mantan politikus yang banting setir jadi Chairman MARA Inc, Datuk Mohammad Lan bin Allani, dan Chief Executive Officer MARA Datuk Abdul Halim Abdul Rahim.

Lan bin Allani dipilih sebagai Chairman MARA Inc pada April 2010. Pria 59 tahun ini mantan anggota parlemen dari wilayah Sulabayan. Sarjana hukum lulusan University of Buckingham, Inggris, ini juga Ketua Dewan Lahad Datu Flour Mill Sdn Bhd, pabrik tepung terigu yang produknya dijual di Jakarta dengan merek seperti Gerbang, Gatotkaca, dan Teko Merah.

Adapun Abdul Rahim terpilih sebagai CEO MARA pada April 2010. Pria 54 tahun ini akuntan bersertifikat keluaran Malaysian Institute of Accountants. Dia menjabat Direktur Eksekutif Lankhorst Bhd pada 2003 dan pernah bekerja di berbagai perusahaan Malaysia, seperti Bank Negara dan Antah Holdings Bhd.

Duo datuk itu ternyata tak hanya berulah dalam kasus pembelian Dudley House. National Oversight & Whistleblowers (NOW), badan nirlaba Malaysia untuk mendukung para whistleblower, mengungkapkan bahwa MARA ternyata juga membeli properti lain dengan harga tak wajar, seperti 333 Exhibition Street dan 51 Queen Street di Melbourne.

Direktur NOW Rafizi Ramli mencontohkan, MARA membeli gedung 333 Exhibition Street di Melbourne dengan selisih harga sampai Rp 90 miliar. Menurut Rafizi, gedung di kawasan komersial itu dibeli Quintessential Equity pada Oktober 2012 seharga Rp 220 miliar, baru kemudian dibeli MARA Inc pada Maret 2013 seharga Rp 310 miliar. Selisih harga sampai Rp 90 miliar dalam lima bulan dianggap tak wajar.

Rafizi juga mengungkap modus pembelian itu melalui rantai perusahaan bodong. Gedung di Exhibition Street dibeli melalui Powerwell Holdings milik Carlton Garden. Carlton adalah perusahaan yang dimiliki Peters Equity, anak perusahaan MARA.

Gedung di Queen Street juga dibeli dengan cara mirip. Gedung itu dibeli oleh Queville Pty Ltd milik Marinn Property Pte Ltd. Marinn adalah perusahaan yang dimiliki Vortex Holdings Limited, anak perusahaan MARA.

"Penggunaan perusahaan berbeda-beda ini mencurigakan. Anda pasti heran bagaimana dua pembelian ini terjadi, sedangkan keduanya punya holding sampai ke Singapura," kata Rafizi, yang juga Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Rakyat.

Annuar Musa mengaku tak tahu-menahu soal suap melalui anak perusahaan investasi MARA. "Kami akan bekerja sama dengan aparat berwenang untuk menyelidiki kasus ini dan tak akan membiarkan ada yang tak diungkap," ujarnya.

Kamis pekan lalu, Annuar mengumumkan bahwa Lan bin Allani dan Abdul Rahim dibebastugaskan dari jabatan mereka selama investigasi kasus ini berlangsung. Dia mengatakan keputusan keluar setelah Dewan MARA menemukan informasi mencurigakan atas pembelian properti itu menyusul adanya laporan sementara dan pengakuan dari pejabat MARA Inc. Dewan juga menunjuk PricewaterhouseCoopers untuk mengaudit investasi MARA Inc.

Kurniawan (fairfax Media, The Age, The Star, The Malaysian Insider)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus